Jalan Panjang Para Penyapu Jalan

Saturday, September 27, 2008

Berkutat dengan pekerjaan tak mengenakkan, berbagai bau busuk serta sampah setiap pagi ditambah dengan upah yang seadanya terpaksa dilakukan Nahwan, demi menopang roda kehidupan. Sekelumit kisah dari penyapu jalan yang mendapatkan sarapan “sampah” setiap paginya.
Siang di bawah terik matahari Batam Pos menemukan wajah lusuhnya. Tubuhnya terlihat masih kuat mulai digerus usia. Tiga puluh dua tahun sudah usia menggerogoti wajah mudanya. Memakan habis ototnya. Membungkukkan tulang punggung dari badan tegarnya.
Nahwan, begitu panggilan akrabnya. Kehidupannya sebagai tukang sapu jalanan di daerah Lippo Bank Nagoya, Pelita hingga Jodoh membuatnya akrab dengan pelbagai kendaraan, yang tentu tak pernah mampu dimilikinya. Sekadar berkhayal punya pun mungkin ia tak sanggup. Berada di dalam mobil hanya beberapa menit untuk mencoba pedal gas mungkin juga terasa aneh baginya.
Sosok pendiam ini capek menjalani rel panjang kehidupannya. Ia bosan pada kemiskinan yang membelit. Namun dia tak sanggup lari dari kemiskinan yang terus saja menguntit perjalanan hidupnya.
Nahwan menjadi penyapu jalan sejak tahun 2005. Saat itu, ia digaji harian sekitar Rp25 ribu per hari. Sekarang, ia sudah mendapatkan gaji bulanan. Besarnya, Rp960 ribu atau sesuai dengan UMK Batam. Uang itu, ia terima dari Dinas Kebersihan Kota Batam. Sudah tiga tahun Nahwan menerima upah dari instansi pemerintah tersebut. Meski tak mencukupi memenuhi kebutuhan keluarganya, Nahwan tetap setia pada pekerjaan itu. Karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya selain itu.
”Yang penting dapat uang buat makan,” ujar ayah dari satu anak ini.
Lelaki kelahiran Purbolinggo, Jawa Tengah ini tinggal di rumah liar (ruli) Seraya Bawah RT05/RW01, Nagoya, Batam. Penyangga rumah Nahwan pun hanya setinggi tanaman jagung. Di tengah bangunan-bangunan tinggi Nahwan hidup serba kekurangan. Potongan-potongan tripleks yang menempel pada setiap kayu penyanggah rapuh itu menjadi saksi tentang pahitnya kehidupannya. Untung saja pemilik lahan belum meributkan soal lahan ini.
”Kalau sampai digusur, entah akan tinggal di mana,” ujarnya.
Rumah seluas 3 x 3 meter itu dihuni bersama adek dari keponakannya. Istrinya, Rosiawaty, 25 tahun, dan anaknya, Rizal, 3 tahun, terpaksa tinggal di kampung karena tak mampu menghidupi ala kadarnya di Batam.
Penghasilannya dari menyapu jalan sampai sekarang adalah yang menjadi sumber kehidupan istri dan anaknya di kampung. Nahwan sering berpikir kenapa kemiskinan tak juga pergi darinya. Dia sedih jika memikirkan itu. Matanya menerawang jauh bersama angin bertiup kencang menjatuhkan daun-daun pepohonan.
Debu-debu jalanan beterbangan melewati bulu-bulu matanya dan melilipkan matanya. Bising knalpot kendaraan semakin akrab menderu-deru. Dalam keramaian, Nahwan menjalani hidupnya dari hari ke hari. Sorot matanya yang tajam mencoba menelisik jauh makna hidup.
Ketegarannya mencoba menghancurkan dinding keangkuhan dan kerasnya hidup. Dengan otot muda yang kian melembek dia ingin mendobrak pintu menuju singgasana megah dan masuk ke dalamnya. Aku di sini, di hadapannya, kian mengerti bongkahan demi bongkahan kesabaran kian luluh.
Rasa sedih selalu menghampirinya, khususnya setiap bulan Ramadan yang sudah tiga kali dilaluinya tanpa keluarga. Sedih, apalagi saat malam takbiran, kangen dengan keluarga dan ingin pulang berkumpul bersama mereka. Tapi niat itu tak kesampaian karena uang tak cukup. Meski bertaut dengan kekurangan dan kemiskinan, Nahwan masih bangga dengan dirinya, karena selama puasa tidak satu hari pun yang bolong.
”Saya sering menangis sendiri. Apalagi, dengar suaranya di telepon yang selalu bilang bapak kapan pulang? Makin sedih, karena dia yang dulu saya tinggal masih usia enam bulan kini sudah bisa bicara. Saat itu saya hanya membesarkan hati mengatakan inilah hidup,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Tiga tahun tahun terakhir, Nahwan selalu melayani hidupnya di rumah sendiri. Mulai memasak, mencuci, memikul belasan ember air dari sumur untuk digunakan sore hingga malam. Semua dikerjakan olehnya subuh-subuh sebelum pergi bekerja. Saat pagi baru merekah itulah, Nahwan meninggalkan rumahnya. Berbekal sapu bergagang panjang di bahu, sekop dan plastik di tangan, ia berangkat ke simpang Lippo Bank Nagoya untuk menyapu jalan.
Kesenangan sesaat bisa mereka rasakan pada subuh hari tersebut ketika berjalan rame-rame bersama 20 penyapu jalan lainnya yang tinggal berkedakatan di ruli Seraya. Setelah itu rasa sedih itu akan kembali menggelayut di pikiran mereka.
Penghasilan bekerja dari pukul 05-00 hingga 10.00 WIB bagi Nahwan tidaklah cukup dengan kehidupan yang serba mahal di Batam. Nahwan pun mencari penghasilan sampingan dengan cara mengumpulkan barang bekas. Usai pulang menyapu jalan, ia mengumpulkan kaleng-kaleng dan karton-karton bekas untuk dijual kembali kepada pengumpul. Ia mendapat penghasilan dari sekitar Rp 20 ribu per hari. Bahkan, di hari libur pun ia tetap bekerja.
Hari itu juga, sebuah kaleng bekas ia masukkan ke kantong baju seragam kerjanya. ”Kaleng-kaleng ini saya jual untuk menambah penghasilan. Tapi di bulan puasa ini saya jarang turun, fisik tidak kuat,” ujarnya sembari menunjukkan kaleng minuman kaleng tersebut.
Meski bekerja keras, namun Nahwan mengakui kalau ia masih sering menjadi langganan mengutang kepada rekan-rekan sekerjanya jika ingin mengirimkan uang ke kampung. ”Kami selalu giliran mengutang sesama teman kalau mau mengirim ke kampung. Itupun bisanya Rp 500 ribu. Tapi di bulan Ramadan ini rasanya sulit, tapi harus, kasihan si kecil jadi harus di bela-belain,” ungkapnya.
Harapan satu-satunya dia ingin bisa pulang kampung tapi rencana itu belum bisa diwujudkannya tahun ini. ”Tapi kalau anak sudah mau masuk sekolah, saya pasti pulang,” ujarnya.
Ia juga berharap kepada pemerintah agar memperhatikan nasib mereka. Setidaknya upah pekerja kasar bisa sama dengan kebutuhan hidup layak (KHL). Sehingga di tahun-tahun berikutnya mereka bisa menabung untuk ongkos pulang ke kampung.
Dengan UMK sekarang, Nahwan mengaku hanya bisa makan ala kadarnya. Hari-hari ia lalui dengan makan dengan lauk tahu dan sayur toge. ”Beli Rp 5 ribu sudah bisa bertahan sampai setengah bulan. Kalau bosan, tinggal petik daun singkong di tengah jalan begitulah setiap hari,” ujarnya. Tiga tahun sudah Nahwan berkutat dengan derita, debu, dan sampah. Jalan-jalan juga semakin panjang. Tugas mereka pun semakin bertambah. ”Awal-awalnya sih capek. Tapi sekarang sudah terbiasa,” katanya.
Nahwan mengaku dia ke Batam sudah sejak tahun 1995. Setibanya di kota industri ini menjadi buruh bangunan. Ia hanya bertahan enam bulan dengan pekerjaan keras itu. Kemudian ia beralih profesi bekerja di penginapan Gajah Mada dan berpindah lagi ke Karaoke Mutiara sebagai tukang parkir. Begitulah kehidupan Nahwan saat itu, bekerja serabutan, yang penting bisa makan.
Waktu tak juga mengubah nasibnya, profesi sebagai buruh bangunan pun ia geluti selama tiga tahun. ”Ruko di Tembesi sebagian adalah hasil kerja saya,” ujarnya tersenyum. Kerinduannya pada kampung halaman membuatnya pulang tahun 1998. Kapal Pelni bernama Rinjani adalah satu-satunya alat tranportasi paling murah saat itu ke Jakarta. Itupun harus berangkat dari Tanjungpinang dengan ongkos Rp 60 ribu sampai di Jakarta dan diteruskan naik bus ke kampung halamannya di Purbolinggo.
Di tahun yang sama Nahwan pun kembali lagi ke Batam. Pekerjaannya juga serabutan selama tiga tahun tapi tak jauh dari buruh bangunan dan tukang sapu. Karena kesusahan terus membelitnya, tahun 2001 ia pun hijrah ke Jakarta. Disana juga dia tak lepas dari kerja kasar, sebagai tukang las. Tak lama dia disana dia pun pulang kampung dan menikahi seorang gadis bernama Rosiawaty. Enam bulan setelah kelahiran Rizal anaknya, akhir tahun 2005 Nahwan pun memutuskan meninggalkan istri dan anaknya ke Batam hingga sekarang. Di kota metropolis ini Nahwan terus mengadu nasib dan berharap ada perubahan.
Mulyadi, penyapu jalan lainnya hanya berharap pemerintah yang paling berharga ke depannya adalah dengan meningkatkan penghasilan mereka sama dengan kebutuhan hidup layak di Batam. Dia mengakui upah yang mereka terima sekarang belum juga layak. Bahkan warga rumah liar Pasir Indah Batuaji ini yang baru pulang dari kantor Dinas Kebersihan Kota Batam mengaku baru mengajukan permohonan pinjaman. ”Saya tak punya uang, jadi pinjam ke koperasi,” katanya.
Pinjaman yang dia ajukan ke koperasi Dinas Pasar itu dinilai cukup besar. Itupun tidak utuh diterima karena dipotong biaya administrasi. Bahkan temannya sampai terkaget-kaget ketika Mulyadi menyebut nominalnya sebesar Rp 2 juta. Setiap bulan, Mulyadi harus mengembalikan dengan sistem mencicil sebesar Rp 550 ribu. ”Uang nanti mau saya kirim buat keluarga di kampung,” ujarnya.
Mulyadi yang asal Semarang ini sudah bertugas selama 18 tahun. Sudah lima tahun dia tak pernah pulang ke Semarang. Sehari-hari dia mendapat tugas menyapu sampah dari simpang Barelang hingga markas Brimob. Dia hanya berharap perhatian pemerintah dapat meningkat untuk mereka. Memang dari tahun ke tahun, gaji mereka naik sesuai dengan pergerakan UMK. Ada saat-saat mereka mendapatkan bonus, seperti saat Batam meraih Adipura tahun lalu. Nahwan dan Mulyadi bersama 410 petugas lainnya mendapatkan bunus Rp 200 ribu dari Pemko Batam. ”Wali Kota juga memberi bantuan hanya belum kami terima. Kalau mau puasa, kami juga dapat beras dan sembako. Kami juga dapat THR. Ini adalah bentuk perhatian dan kami sangat menghargainya,” katanya. ***





Dua kali sudah kota Batam menyandang gelar kota terbersih. Dan dua kali itu juga kota industri ini mendapat penghargaan. Semua itu tidak terlepas dari kegigihan dan tanggung jawab para penyapu jalanan. Begitulah Wakil Wali Kota Ria Saptarika menyanjung para penyapu jalan. Masih segar diingatan, kegembiraan jelas terpancar dari wajah ratusan penyapu jalan, ketika Piala Adipura diarak Juli 2008 lalu. Para penyapu jalan secara beramai-ramai mengarak Piala Adipura berkeliling Kota Batam.
Termasuk Nahwan mengaku ikut dalam arak-arakan itu. ”Itu kebanggaan yang tak terhingga nilainya dari hasil kerjanya selama tiga tahun,” katanya.
Bahkan setibanya di Kantor Wali Kota, para penyapu jalan bersorak-sorai sambil mengangkat Piala Adipura. Begitu juga dengan Wakil Wali Kota Batam, Ria Saptarika. Ria mengatakan, Piala Adipura itu harus terus dipertahankan. ”Kita bangga karena kinerja penyapu jalan, penggali parit dan drainase, membuahkan hasil. Kerja keras semuanya membuat Batam mendapat Piala Adipura. Saya berterimakasih kepada pahlawan kebersihan ini,” kata Ria.
Saat itu juga, Pemko Batam memberi penghargaan kepada lima orang mewakili pengangkut sampah, penyapu jalan, pengelola sampah, dan petugas dari Puskesmas. Mereka dianggap berjasa untuk kebersihan Batam.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Batam, Azwan dengan bangga mengatakan, Batam menempati peringkat kedua setelah Pekanbaru. Tim Adipura memberi nilai 74,77 Pekanbaru, Batam 73,07, dan Padang diposisi ketiga dengan poin 73,01. Bahkan sebagai bentuk perhatian pemerintah pada nasib penyapu jalan dengan mengasuransikannya. Ada dua jenis asuransi, yakni jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua. ”Semua petugas kebersihan kita masukkan asuransi, agar nasib mereka bisa lebih terjamin,” paparnya. *** Read More.. Read more!

Membidik Potensi Zakat dengan Program

Roadshow dialog Batam Forum Batam Pos terus berlanjut. Pekan lalu tepatnya, Kamis (18/9) lalu, bertatap muka dengan pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya Batam (MRB).
Dari hasil dialog ini diketahui masih banyak masyarakat yang belum menyalurkan zakatnya. Untuk itu pengurus LAZ MRB pun melakukan berbagai hal-hal yang kreatif mengajak masyarakat untuk berzakat.
Inovasi pengembangan zakat tidak lagi menjadi dominasi LAZ di ibu kota. Berbagai daerah juga sudah melakukannya. Tujuannya adalah mendorong perkembangan zakat sehingga bisa diharapkan bisa mengentaskan kemiskinan. Salah satu LAZ yang melakukan inovasi pengembangan produk adalah Masjid Raya Batam (MRB).
Bagi lembaga aksi sosial ini, inovasi pengembangan penting dilakukan. Hal itu karena pengembangan zakat sama dengan pengembangan berbagai sektor lain. Tanpa inovasi, zakat memang tetap berkembang, tapi tidak pesat. Karena itu, inovasi perlu digalakkan bagi seluruh lembaga amil. Dengan demikian, zakat di Indonesia bisa tumbuh dan berkembang secara pesat.
Menurut Wakil Direktur Opersional LAZ MRB, Syarifuddin ST salah satu inovasi pengembangan zakat adalah dengan menerapkan orang tua asuh by request sebagai penyaluran zakat yang disampaikan oleh masyakat. Produk ini menjadi unggulan dari 10 program LAZ MRB. ”Sampai saat ini jumlah anak asuh yang sudah tersantuni melalui program ini adalah 320 (dhuafa) mulai dari tingkat SD hingga SMA,” tutur Syarifuddin.
Program orang tua asuh ini sengaja dikembangkan untuk memudahkan masyarakat lebih percaya akan penyaluran zakatnya kepada yang bermanfaat. Program ini sendiri melibatkan para muzakki dengan cara bisa me-request, memilih, memesan anak yang diinginkan sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga anak asuh tersebut.
Sebelum memilih LAZ MRB akan menyerahkan daftar list anak asuh kepada orangtua asuh untuk dipilih sesuai keinginan. Orang tua asuh cukup memberikan santunan tunai kepada siswa senilai Rp100 ribu perbulannya. Dan santunan ini langsung diterima oleh (orangtua) siswa sendiri.
”Program ini sudah jadi solusi bagi para dhuafa yang kesulitan pada biaya pendidikan anaknya. Dengan santunan itu, mereka sudah bisa membeli kebutuhan bersekolah,” papar Syarifuddin.
Disamping itu, lanjutnya, dari Rp100 ribu yang diterima (orangtua) siswa langsung dipotong Rp5 ribu untuk bimbingan belajar anak dan Rp 10 ribu untuk tabungan. ”Setiap tabungan dapat diambil akhir tahun,” tuturnya.
Dalam pengelolaan zakat ini, kata Syarifuddin LAZ MRB sangat tegas. Misalnya jika (orangtua) siswa penerima santunan tidak membayarkan uang sekolahnya, maka LAZ MRB akan langsung menghentikan santunannya. ”Karena itu kita selalu cek kepada kepala sekolah anak penerima santunan, jadi tidak main-main,” katanya.
Para orang tua asuh juga dapat mengetahui perkembangan akademik anak asuhnya dengan menerima foto copy rapor atau nilai evaluasi semester dari sekolah yang dikirimkan oleh LAZ. Setiap orang tua asuh pada program ini punya keterikatan kontrak selama satu tahun dengan mengisi lembar kesediaan menjadi orang tua asuh.
Selama satu tahun berjalan anak asuh pada umumnya meraih rangking di sekolah dan mendapat beasiswa dari Takaful.
Tidak hanya itu, anak-anak asuh ini juga dituntun sampai mendapat pekerjaan. ”Kami yakin program ini akan mendapat respons positif dari masyarakat. Mereka akan terdorong untuk terus beribadah setelah melihat keberhasilan daripada program ini,” katanya.
Dalam penyaluran zakat kata Syarifuddin, LAZ MRB tidak menemuni kendala yang berarti. ”Kendalanya hanya pada pengumpulan zakat. Sebab itu, kita selalu terus sosialisasi kepada masyarakat agar menyampaikan zakatnya. Khususnya karyawan perusahaan agar salurkan zakat profesinya,” tambahnya.
Mengingat masih banyak yang belum menyalurkan zakat, Syarifuddin menyampaikan ada empat cara mudah dalam berzakat melalui LAZ MRB. Yakni kolektif di perusahaan, tunai di kantor LAZ MRB, transfer via rekening dan layanan jemput zakat (lezat). Sedangkan untuk program zakat fitrah LAZ MRB tidak ada karena sifatnya langsung dibagikan karena untuk memberi makan. ”Kami ingin memudahkan masyarakat menyalurkan zakatnya,” ucapnya. *** Read More.. Read more!

LAZ Juga Ingin Berbuat

Adanya kebijakan pemerintah pusat meleburkan LAZ ke Badan Amil Zakat (BAZ) beberapa waktu lalu mendapat penolakan dari pihak LAZ. Pihak LAZ berasalan bahwa LAZ juga ingin berbuat untuk masyarakat. Apalagi tidak ada salahnya melepas LAZ sendiri menjalankan programnya. Karena pada intinya LAZ sudah berjalan dengan baik.
Bahkan seluruh program LAZ yang dijalankannya juga membuahkan hasil yang positif. Lagipula kata Syarifuddin, apakah BAZ sanggup menjalankan program tersebut. ”Kita (LAZ) juga ingin berbuat. Semestinya pemerintah harus memberikan dukungan agar LAZ semakin maju, bukan meleburnya,” tuturnya sembari mengatakan bahwa LAZ Batam sudah berjalan dengan baik sejak berdiri tiga tahun lalu.
Buktinya, dari Rp 85 juta yang diterima LAZ MRB setiap bulannya langsung disalurkan pada sembilan program lainnya yang produktif. Yakni program beasiswa, produktif mandiri, sehat dhuafa, santunan nafagah, aksi tanggap arurat (ATD), bimbingan muallaf, tenaga da’i/da’iah, asrama hinterland, dan layanan jenazah gratis. Dua program tambahannya adalah khitanan anak sholeh (khas), qurban by request.
Paling menarik adalah program asrama hinterland. Saat ini LAZ MRB sudah punya dua asrama untuk anak-anak hinterland yang bersekolah di kota Batam. Masing-masing untuk siswa SMA Negeri 1 Batam dari hinterland berlokasi di rumah susun (rusun) Sekupang dan untuk anak SMA Negeri 5 Batuaji di Kavling Lama Batuaji. Setiap asrama diawasi oleh guru dari masing-masing sekolah yang juga tinggal bersama mereka.
Sementara penyaluran zakat untuk program beasiswa disalurkan dengan cara membayar biaya sekolah anak-anak yang berhak menerimanya. Dan setiap pembayaran uang sekolah itu langsung disampaikan LAZ MRB langsung kepada pihak kepala sekolah.
Dana paling besar penyalurannya adalah untuk program mobil jenazah. Dalam satu bulan itu, kata Syarifuddin, mobil jenazah layanan gratis ini telah mengantar sebanyak 85 jenazah dari berbagai agama ke TPU. Sejak diluncurkan Januari 2008 lalu, dana operasional yang telah dikeluarkan sudah mencapai Rp 20 juta. ”Pengeluaran rata-rata perbulan antara Rp2-3 juta,” katanya.
LAZ MRB juga memberikan modal kepada kaum dhuafa untuk membuka usaha kecil-kecilan. Dengan dana sebesar Rp1,5 juta yang diterima diharapkan kaum dhuafa yang menerima modal ini bisa melanjutkan hidupnya. Untuk modal sekecil itu, kata Syarifuddin, biasanya digunakan untuk membuka usaha gorengan.
Dalam program ini, pihak LAZ juga tidak pernah membiarkan dhuafa hanya menerima modal begitu saja. Sebelum diterima, dhuafa diberi pelatihan dengan mendatangkan ahli dalam bidang usaha dan ekonomi.
Pada intinya LAZ MRB ingin usaha yang dijalankan dhuafa harus produktif. ”Kita bersyukur tingkat keberhasilan rata-rata 75 persen,” tukasnya. Read More.. Read more!

Target di Ramadan Rp2 Miliar

Dengan tema “Hidup Gemilang Zakat” di tahun 2008 ini, LAZ MRB menargetkan penerimaan zakat di bulan Ramadan in sekitar Rp 2 miliar. Sampai sekarang yang terkumpul baru sekitar ratusan juta. “Tapi kita optimis bisa mencapai target tersebut saat puncak Ramadan nanti,” tuturnya.
Dalam tiga tahun LAZ MRB hingga kini telah membukukan penerimaan dana sebesar Rp 2.071.616.833. Rinciannya di tahun 2005 berhasil terkumpul Rp 359.995.689, di tahun 2006 berhasil terkumpul Rp 547.830.649, dan di tahun 2007 berhasil terkumpul Rp 1,163.790.495.
”Tidak hanya sederetan angka. Tapi itu sudah menjadi bukti peningkatan 112,3 persen dari penerimaan tahun sebelumnya. Tapi kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan masih jauh dari harapan kita semua,” kata Direktur LAZ MRB Kiagus Rozali.
Terutama lanjutnya, dalam hal penerimaan dana zakat yang masih jauh dari potensi yang ada di Batam.
Kisaran potensi zakat yang ada di Batam sendiri sesungguhnya bisa mencapai sekitar Rp 30 miliar per tahun. Namun kenyataannya baru sekitar Rp 10 miliar saja pertahun.
Beberapa cara telah dilakukan LAZ MRB mencapai target itu. Yakni dengan sosialisasi ke instansi pemerintah, perusahaan, melalui iklan di media massa, media elektronik, spanduk, brosur, leaflet, sampai pada pembukaan konter-konter di mall pada bulan suci Ramadan ini.
”Kita juga sudah salurkan dalam berbagai bentuk kemasan yang benar-benar produktif disebut diatas tadi. Dari pengalaman ini juga kita untuk bekerja lebih ekstra meningkatkan sosialiasi, pelayanan, serta kreatifitas layanan kepada muzakki dan mustahik,” tutur Kiagus. Read More.. Read more!

Palang Merah Indonesia Batam Kini Berbenah Diri

Saturday, September 13, 2008

Setelah menggelar dialog dengan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di Sagulung, Batam Forum Batam Pos meneruskan roadshow dialognya, Kamis (11/9) dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Kota Batam. Banyak hal menarik yang perlu diketahui dari organisasi (PMI Batam) yang dirintis Mayjen (Purn) Soedarsono Darmosuwito (alm) tahun 1990 itu.
Selama 17 tahun mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat di pulau Batam, PMI Batam telah banyak melakukan kegiatan kemanusiaan. Namun di usianya tersebut, PMI Batam menyadari masih merasa kurang akan pelayanan terhadap masyarakat.
“Keterlambatan mendapatkan informasi dan pemberian bantuan untuk korban bencana, membuat kami merasa kecil. Karena itu, kami akan selalu evaluasi diri dan akan berperan aktif menjadi lebih baik,” ujar Ketua PMI Cabang Batam, Sri Sudarsono dalam dialog Batam Forum Batam Pos, Kamis (11/9). Hadir dalam dialog itu adalah Kepala Unit Transfusi Darah Cabang Dr Trihalati Machdar. Tato Wahyu Wakil Ketua PMI, dan Herry Sekretaris Cabang dan beberapa pegawai PMI Cabang Batam.
Dokter Trihalati Machdar menambahkan partisipasi masyarakat masih tergolong rendah dalam mendonorkan darah. Hal itu bisa dilihat kebanyakan dari pendonor rutin. Misalnya, dari anggota Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) Batam.
Sekarang ini PMI masih mengharapkan PDDI, jika mereka kehabisan stok di bank darah. “Kalau stok PMI kurang, kita langsung menghubungi PDDI. Biasanya PDDI langsung menurunkan anggotanya mendonorkan darah,” kata Dr yang akrab dipanggil dokter Ati ini.
Di Batam kata dokter Ati, permintaan pasien akan darah tergolong cukup tinggi. Dalam sebulan PMI selalu mendistribusikan darah kepada pasien (masyarakat) yang membutuhkan hingga 600 kantong.
Sehingga jarang darah yang bertahan selama 35 hari itu sampai terbuang. Ternyata dari 600 kantong tersebut yang paling banyak membutuhkan adalah ibu yang sedang melahirkan (pendarahan), penyakit lain dan terakhir adalah kecelakaan lalu lintas.
“Tapi sejauh ini antara supplies dengan demand terhadap darah masih terbilang seimbang,” ungkapnya.
Kecuali di bulan ramadan ini, semestinya kegiatan donor menjadi bulan berkah. Namun tidak bagi pasien yang membutuhkan darah. Justru di bulan yang suci ini persediaan darah di PMI sedang menipis. Banyak pendonor menunda melakukan donor di bulan puasa ini. Kecuali beberapa hari ini dari warga Tionghoa yang mau mendonorkan darah secara perorangan.
Selama ramadan, orang yang mau mendonorkan darahnya tidak banyak. Jumlahnya baru empat orang saja. Angka ini jauh berbeda dengan angka di hari-hari biasa. “Sekarang ini (bulan puasa) pendonor agak berkurang, karena banyak yang kuatir dengan kondisi tubuhnya. Padahal sebenarnya sih tidak masalah,” ungkap dokter yang juga bertugas di RS Otorita Batam ini.
Meski sudah lama berdiri di Kota Batam, namun eksistensi PMI di masyarakat masih kerap dipertanyakan. Perta­nyaan yang muncul, antara lain; Apakah PMI menjual darah? Kenapa ada pu­ngutan PMI? Terkait hal ini memang tidak dipungkiri oleh dokter Ati.
Namun, semua itu PMI lakukan bukan untuk mencari keuntungan. Melainkan demi melancarkan kinerja PMI agar bisa berperan dan bermanfaat di tengah-tengah masyarakat. Sebab, sampai saat ini partisipasi pemerintah daerah (Pemda) mendukung pendanaan untuk
PMI juga sama sekali tidak pernah ada.
Meski tidak ada anggaran dari APBD yang dialokasikan kepada PMI, tetapi mau tidak mau, PMI tetap menjalankan misinya; kemanusiaan. Misalnya, saat pasien miskin tidak mampu membayar sepenuhnya, PMI tetap saja menolong memberikan darah yang dibutuhkan.
Namun PMI tidak mau mendidik masyarakat menghilangkan rasa tanggungjawabnya. Untuk itu PMI tidak memberikan darah yang dibutuhkan pasien secara cuma-cuma. “Paling tidak pasien bayar seadanya,” ungkap dokter Ati. Masyarakat masih banyak yang tidak mengerti mengapa PMI melakukan itu.
Perlu diketahui lanjut dokter Ati, setiap kantong darah membutuhkan biaya. Mulai membeli kantong darah yang harganya Rp 40 ribu perkantong. Kemudian membeli ekstra puding seperti telur, kacang hijau dan lainya sebagai pengembalian gizi kepada pendonor.
Selain itu juga butuh biaya pemeriksaan darah pendonor apakah mengidap penyakit seperti HIV, diabetes, dan penyakit lainnya.Semuanya harus diperiksa sebelum darah didonorkan kepada orang lain. “Berprasangka boleh saja tapi menurut
saya mungkin mereka belum mengerti,” katanya.
Bahkan untuk menutupi biaya keluar sekecil mungkin terpaksa harus diupayakan PMI dengan berbagai cara. Salah satunya melakukan kerjasama dengan orang-orang yang melakukan bakti sosial. Misalkan jika perusahaan si A melakukan bakti sosial, PMI meminta perusahaan itu menyediakan makanan pengganti gizi untuk si pendonor. “Ini kami lakukan agar tetap exist membantu masyarakat,” ujarnya.

Memang kata dokter Ati, dulu PMI disubsidi dari Departemen Kesehatan (Depkes). Harga kantong dari Rp 40 ribu perkantong setelah disubsidi menjadi seharga Rp 23.000. Sedangkan untuk satu kantong darah dihargai Rp 150 ribu. Namun begitu subsidi itu dicabut yang beralaskan otonomi daerah menyebabkan harga daerah perkantong menjadi Rp 268.000 perkantong.*** Read More.. Read more!

PMI Disubsidi Dana Pribadi

Dalam usianya yang telah memasuki 17 tahun, PMI Batam memang mengalami ke­maju­an. Salah satunya dari kantor yang dulu menumpang di RS Budi Kemuliaan (RSBK), kini sudah memiliki kantor menetap di Jl Imam Bonjol Komplek Sakura Anpan A-1 Nagoya, Batam.
Mereka sudah menempati dua tahun gedung tersebut. Dari gedung itu, PMI Batam melakukan berbagai kegiatan. Antara lain penanggulangan bencana alam/konflik di saat Tsunami di Aceh dan pengiriman bantuan gempa di Yogjakarta.
Selanjutnya pelayanan sosial dan kesehatan masyarakat, pelayanan transfusi, program palang merah remaja (PMR), program korps sukarela (KSR) dan Tenaga sukarela (TSR), promosi dan publikasi.
Tidak hanya itu, PMI Batam juga memberikan pelatihan pertolongan pertama di perusahaan-perusahaan di Batam. “Ada 15 perusahaan yang karyawannya sudah kita berikan pelatihan ini,” tutur Ketua PMI Cabang Batam, Sri Sudarsono dalam dialog Batam Forum Batam Pos, Kamis (11/9).
Dalam menjalankan semua program kegiatan mulia tersebut, PMI tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah daerah. Bahkan setelah subsidi di stop oleh PMI pusat, PMI Batam hanya mendapat bantuan dana sebesar Rp 5 juta dari kotak amal.
Melihat opersional PMI yang sangat besar, ini jelas sangat kurang. Tapi setidaknya bantuan itu sudah membantu meringankan membayar 15 orang pegawai di PMI. Pihaknya juga sudah sering menyampaikan agar pemda setempat baik pemerintah provinsi maupun kota Batam bisa membantu.
Namun sampai sekarang hal itu belum juga membuahkan hasil. “Gedung palang merah yang dijanjikan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah sampai sekarang belum juga terealisasi,” kata Sri.
Sementara di Tanjungpiang, PMI Provinsi yang belakangan terbentuk sudah mendapat perhatian pemerintah provinsi. Anggaran pembangunan gedungnya juga sudah dialokasikan.
Bagaimana dari Pemko Batam? Spontan Sri Sudarsono mengatakan,” Jangan ngomong Pemko-lah, capek. Mestinya peranan palang merah bisa dihargai. “Kita sudah terbukti saat tsunami di Aceh. Setidaknya peran kita dihargai,” ucapnya.
Kepedulian pemerintah pada PMI baru terlihat di Bengkalis dan Pekanbaru. Hanya saja PMI daerah tersebut kurang maksimal dalam bekerja. Sehingga dana yang dialokasikan pemerintah dari APBD untuk PMI meereka harus dikembalikan lagi ke kas negara.
“Tapi di Batam hal seperti ini belum ada. Padahal dari segi anggaran Batam sangat mampu,” katanya. Dari segi bantuan pendanaan bulan dana juga kurang mendapat renspon dari masyarakat dan pemerintah.
Padahal bulan dana yang sekali dalam setahun ini semestinya pemerintah bisa memotong Rp 1000 dari gaji pegawai untuk program kemanusiaan. “Saya pikir tidak berat, dan hal ini juga pernah satu kali dilakukan di Batam dan berhasil, tapi sekarang tidak ada lagi,” katanya.
Sri juga berencana membangun kantor PMI yang bertaraf internasional yang bernilai Rp 9 miliar. Ia mengatakan PMI Batam harus mampu berbuat di tingkat yang lebih tinggi. Read More.. Read more!

Cintai Fakir Miskin, Santuni Anak Yatim

Berbagi Bersama di Bulan Ramadan

Udara panas terasa semakin menusuk seiring siang yang merayap perlahan. Matahari seperti berada diatas kepala. Sepeda motor yang kutumpangi berjalan pelan, begitu mendekati sebuah rumah berkontruksi batu permanen. Rumah yang berlokasi di jalan Ranai no 45, Bengkong Polisi itu berdesain sederhana.

Bangunan yang berdiri di seberang jalan sebuah mesjid itu agak mencolok dibanding bangunan lain di sekitarnya. Warna dindingnya hijau muda, dua lantai. Ukuran bangunan memang tidak begitu luas dibanding bangunan yang tampak berderet dan berjejal di sana.

Papan nama dengan panjang sekitar 30 centimeter membuatnya tidak menarik perhatian. "Panti asuhan Assakinah" begitu bunyi tulisan utama pada papan yang berdiri di samping rumah. Ya, itulah panti asuhan Assakinah yang didirikan dan dikelola oleh Hj Suahida Hajar bersama keluarganya.

Disanalah anak-anak dengan beragam latar belakang orangtuanya meninggal ditampung. Siang itu, sayup-sayup terdengar suara anak-anak sedang yasinan. Tak lama kemudian mereka terhenti.

"Kita baru saja selesai yasinan (berdoa) untuk orang-orang yang meminta didoakan," ungkap Egi dan Syahrial, anak panti di rumah itu. Ya, Egi dan Syahrial adalah dua orang di antara 24 anak yatim piatu yang dititip ibunya di panti asuhan itu.

Syahrial (10) mengaku tak ingat sudah berapa lama tinggal di rumah itu. Sebab, Syahrial telah dibina di sekolahkan dan ditampung di panti asuhan tersebut sejak kecil. "Bapaknya meninggal dalam kejadian kebakaran beberapa waktu lalu," singkat bunda Suhaida tanpa merinci kejadian itu.

Bunda Suhaida tidak ingin Syahrial mengenang masa pahit itu kembali. Apalagi di saat bulan ramadan seperti ini. Karena ibunya tidak mampu untuk membiayai akhirnya Syahrial dititipkan ke bunda.

Kini Syahrial sudah punya kehidupan baru. Dia sudah memiliki teman baru di Assakinah. Seperti Egi, Rehan, dan Doni yang sudah kelas tiga. Masing-masing Bunda sekolahkan. Agar tidak lagi seperti orang-orang terlantar yang kebanyakan membuang waktunya di jalan. Dia sudah punya harapan dan masa depan baru.

Syahrial juga mengaku jarang pulang ke rumah ibunya di Tanjunguma. Pulang pada saat-saat tertentu saja. Seperti lebaran dan hari besar lainnya. Ia mengaku lebih betah di Assakinah. Lebih nyaman, damai, banyak teman, dan lainnya. Tidak seperti saat ikut ibunya, yang bekerja sibuk mencari penghidupan sebagai pengupas bawang.

"Saya jarang pulang, saya lebih betah disini," ujar Syahrial yang pintar silat ini sembari tertunduk malu-malu.

Begitu juga dengan Nagawa alias Bintang Paris (10). Anak dari keturunan WN Jepang dari Medan ini juga merasa betah tinggal di Assakinah bersama teman-teman seusianya. "Rumah ibu dekat sini, tapi saya jarang ke rumah ibu," jawabnya.

Sama halnya dengan Doni, Egi, Rehan, Agus, Nurlina, dan lainnya. "Di sini semua ditanggung bunda, kita tinggal belajar," tambah Doni yang ditampung sejak usia empat tahun. Selain sekolah dasar, putra maupun putri lainnya adalah pelajar setingkat SLTP dan SMA. Angkatan kedua ini berharap bisa kelak seperti 17 orang seniornya yang telah bisa mandiri.

Di panti asuhan yang didirikan Suhaida tahun 1998, keluarganya harus berjibaku menghidupi anak-anak ini mulai dari makan, pendidikan hingga bisa mandiri. Di bulan ramadan ini, kata Suhaida, berkah yang mereka dapat memang bertambah.

"Banyak masyarakat minta didoakan. Mereka merasa doa anak yatim lebih tulus, dan ini berkah bagi anak yatim," sambung Suhaida Hajar, 49, yang akrab dipanggil bunda di panti asuhan itu.

Tapi paling banyak justru dari luar non muslim. Ini patut disyukuri, kecintaan sesama umat beragama sudah terasa. Di bulan ramadan ini, Suhaida yang juga sering Tausiyah ke mesjid-mesjid ini mengajak umat islam untuk mencintai fakir miskin.

Bulan ramadan, katanya, juga menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan ketakwaan dan mempertebal keimanan kepada Allah SWT. "Kita tingkatkan usaha untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT. Cintailah fakir miskin dan santuni anak yatim. Niscaya Allah akan memberikan lebih dari yang diminta," ungkap istri Umar Harun Siregar (53) ini .

Mengenang kembali, tak jarang Suhaida harus marah dan mendidik anak-anak lebih displin. Maklum katanya, kebanyakan dari mereka anak-anak putus sekolah dan terlantar di jalanan. Awalnya memang berat. Tapi berkat didikan displin tadi, dari kehidupan yang keras telah kembali ke kehidupannya.

"Saya sangat berterima kasih kepada Amy dan keluargaku yang mengurus mulai makan, pakaian hingga mendidik mereka di rumah. Termasuk guru-guru yang saya datangkan
mengajari mereka di rumah," tukasnya.

Sepulang dari sekolah, masing-masing anak mendapat kegiatan ekstrakurikuler. Mulai dari bola kaki, renang, latihan rebana, puisi dan lainnya. Namun yang rutin adalah setelah shalat Szuhur, anak-anak harus yasinan. Kemudian ada yang tidur siang, mengerjakan PR sekolah dan lainnya.

"Saya tidak ingin dunia lain lebih dahulu yang mengambil jalan hidup mereka. Sebelum diambil, lebih baik saya mengambil mereka lebih awal dan mendidiknya di jalan yang baik," tutur ibu dari empat anak yakni Mofirah S, Akmalia S, Sidiq S dan Habibie Siregar ini.

Sampai saat ini, kebutuhan anak panti masih dari orang-orang yang mau menderma, donatur, dan pemerintah. Baru-baru ini Dinsos Pemprov Kepri juga baru memberikan bantuan untuk belanja untuk 20 orang anak panti asuhan.

Tak jarang mereka kekurangan dana untuk menutupi biaya. Dan kekurangan biasanya ditutupi dari penghasilan bunda Suhaida sebagai berjualan baju-baju muslim dan jualan nasi. Untuk makan memang tidak pernah putus. Biaya sekolah memang diskon 25 persen. Tapi masih terasa berat dengan buku-bukunya.

"Saya mengakalinya dengan mengasuransikan masing-masing anak pada pendidikan. Sehingga bila jatuh tempo bisa membantu biaya sekolahnya," paparnya. Berkah (amplop) di ramadan juga mereka tabung dan jika perlu bisa diambil setiap saat. *** Read More.. Read more!