Suasana siang di pelabuhan Beton Sekupang sungguh sangat menyengat, Rabu (1/10) lalu. Panas dan gersang sudah merupakan cuaca yang akrab ditemui di sana. Kapal Motor (KM) Kelud milik Pelni baru tiba dan langsung bersandar di dermaga. Puluhan pria berseragam kuning langsung berlari merangsek masuk ke dalam kapal saat ABK mulai membuka pintu kapal, yang ada di dek (kelas) ekonomi.
Tak lama kemudian mereka pun keluar berhamburan dari dalam kapal dengan membawa berbagai jenis barang milik penumpang. Sebagian lagi membawa barang penumpang masuk ke dalam kapal. Mereka membawanya dengan berbagai cara. Mulai di pundak, di tenteng dan di jinjing hingga diseret. Mereka seperti berlomba siapa yang paling banyak membawa barang.
Sekilas orang mungkin memandang pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang berat, namun di tengah kondisi ekonomi yang cukup sulit membuat orang tidak memikirkan pekerjaan lain untuk mencari ganti pekerjaan yang dinilai sebagian orang berat ini. Mereka hanya berharap penumpang membeli jasa mereka.
Begitulah kehidupan yang dijalani Robinson Tambunan tukang angkat barang (porter) di pelabuhan Beton Sekupang. Sudah delapan tahun ia menekuni pekerjaan sebagai tukang angkut barang. Tak hilang dari ingatan, tanggal 13 Maret 2000 adalah awal pertama kali ia mengawali pekerjaan itu. ”Saya tak bisa melupakannya, itulah sejarah hidup saya, dan pekerjaan pertama kali tiba di Batam,” kata Robinson.
Saat mengikuti Robinson bekerja mengangkut barang di pelabuhan, tubuhnya berpeluh keringat. Baju seragam berwarna kuning bertambah cerah karena keringatnya. Sesekali ia menyeka keringat dengan tangan. Rabu (1/10) jumlah penumpang tidak begitu banyak sekitar 400 penumpang.
Sedikitnya penumpang mengharuskan porter bekerja sebentar saja. Karena sebagian penumpang juga mengangkat barangnya sendiri keluar dari kapal. Meski sebentar bekerja, namun Robinson masih bisa ceria. Ia masih mendapat penghasilan lumayan meski penumpang sedikit.
”Puji Tuhan, hari ini masih bisa dapat Rp150 ribu. Padahal hari ini sudah Lebaran, lumayan lah,” ujar Robinson saat ditemui usai bekerja di sebuah warung dekat pelabuhan di Sekupang. Saat itu, dia bersama seorang anak kecil. ”Ini adalah anak saya yang pertama,” katanya sembari merangkul anak yang terlihat cekatan itu.
Tak lama kemudian ia berusaha mengeluarkan dan menghitung uang hasil dari peluh keringatnya hari itu. Ia pun menyisihkan uang tiga lembar pecahan Rp 50 ribu dijadikan satu lipatan. ”Uang ini nanti saya berikan buat istri saya,” urai ayah tiga anak ini yakni Ruben Christian (8), Ryan (6), dan Reinhard (3) ini.
Dari warung tersebut Robinson berencana kembali ke rumahnya sebuah ruli di Kampung Baru. Di ruli itulah dia tinggal bersama tiga anaknya dan istrinya, Ruminda Naibaho (37), yang bekerja menjaga warung yang sekaligus rumahnya.
Bekerja sebagai porter kata lelaki 38 tahun asal Tapanuli Utara ini penghasilannya tidak menentu. Bahkan pernah tidak membawa penghasilan ke rumah sama sekali. Ia mengenang begitu sedihnya kalau saat bekerja tidak mendapat hasil apa-apa. ”Saya pernah mengalaminya. Entah kenapa penumpang banyak saat, tapi penumpang tidak ada yang mau barang bawaaanya saya angkat,” katanya.
Persoalan seperti ini kata dia juga kerap dialami oleh porter lain. ”Teman-teman juga pernah mengalami hal yang sama. Mungkin di sanalah Tuhan bekerja, kalau rezeki sudah ditentukan oleh Dia,” tambahnya. Tapi seminggu menjelang Lebaran ini jumlah penumpang kapal Pelni meningkat, sehingga penghasilan mereka mengalami peningkatan juga. Bahkan di hari H sekalipun, mereka masih bisa mendapatkan penghasilan.
”Ya. Lumayan lah,” singkatnya.
Robinson mengaku berat badannya yang hanya sekitar 60 kilogram, tapi kadang dia harus memanfaatkannya untuk memanggul barang hingga 90-100 kilogram. Memang sangat berat, tapi tak ada pilihan pekerjaan lain lagi. Biasanya, usai melakoni pekerjaannya, para porter duduk menikmati minuman dingin sekedar melepas dahaga dan lelahnya mengangkat barang penumpang.
Begitu juga dengan Robinson saat diikuti Batam Pos setelah dirinya selesai bekerja. Di kursi kayu sebuah warung di luar pelabuhan, Robinson bersandar. Tubuhnya meleleh perlahan seperti lilin yang membakar diri demi cahaya bagi anak-anaknya. ”Semua ini demi anak-anakku. Saya tidak ingin mereka bernasib sama seperti diriku,” tuturnya.
Robinson pun harus pintar-pintar mencari pelanggan menjaga penghasilannya tetap ada, meski bersaing dengan puluhan porter lainnya. Sekarang dia sudah memiliki beberapa pelanggan. ”Kalau tidak ada pelanggan bakal tidak dapat apa-apa, kadang juga sudah ada yang main telepon,” katanya.
Mereka adalah pedagang yang rutin mengirimkan barang dagangannya ke Jakarta maupun Medan. Sehingga setiap kapal datang, ia tidak perlu kuatir lagi tidak membawa uang ke rumah.
Dari langganan itu pula, dibantu penghasilan dari warung istrinya, Robinson bisa menutupi biaya sekolah Ruben Christian dari taman kanak-kanak (TK) hingga sekarang sekolah di SD Advent Blok IV Nagoya. Bisa dibilang biaya sekolah anak-anaknya dari uang didapatkannya mengangkat barang di pelabuhan ini.
Meski bekerja berat sebagai tukang angkut barang, namun masih ada tersimpan rasa bangga dalam dirinya. Anaknya Ruben yang kini duduk di kelas 2 mampu meraih juara II di kelas. Berat beban di pundak saat angkat barang sepertinya hilang kalau sudah ingat anak-anak.
”Walau saya porter tapi saya bangga anak-anak saya pintar di sekolah,” katanya pria yang sempat bekerja sebagai sopir metromini di Jakarta tahun 1994 ini dengan bangga. Kehidupan di pelabuhan diakuinya memang sangat keras. Bahkan sering berbenturan dengan perkelahian.
Apalagi persaingan antar porter muncul akibat mulai adanya kebebasan bagi porter-porter mengambil ‘daerah jajahan’ tanpa diatur pembagiaannya setiap blok, padahal jika ada pengaturan setiap blok dengan jumlah tertentu tentu persaingan kecil itu bisa dihindari.
Sebagai porter yang bertanggung jawab dengan keluarga, ia selalu berusaha menghindar dari masalah itu. Di pelabuhan kata dia, kekerasan harus dilawan dengan kelembutan. ”Ini trik saya menghindari terjadi perkelahian,” katanya.
Di lokasi kerja diakuinya beberapa kejadian yang selalu mengundang terjadi kekerasan padanya. Namun semua ia hadapi dengan kelembutan. “Pengalaman saya yang mendidik saya begitu. Karena saya sudah lama hidup di lingkungan keras seperti ini. Kalau dihadapi dengan kekerasan juga akan berakhir tidak baik. Kita sendiri yang rugi,” tambahnya.
Dan inilah yang disampaikan Robinson kepada Roni dan Roganda, adik-adiknya, yang juga bekerja sebagai porter di pelabuhan Beton Sekupang. Diusianya yang semakin menanjak tua, Robinson berharap tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya. Maka dari itu di saat kapal tidak masuk Batam, ia mencoba mencari penghasilan lain dengan membantu orang lain melakukan sesuatu.
Harapan cita-cita untuk anak-anaknya juga tidak muluk-muluk. Robinson ingin anaknya bisa belajar les bahasa Inggris dan komputer serta bisa meneruskan belajar ilmu pengelasan (welder) setelah SMA.
”Di usia sekarang apalah yang bisa diangkat dengan tenagaku, uang yang kuhasilkan pun hanya mampu sekolahkan anak sampai disana. Semua itu berjalan baik sampai sekarang karena berkat Tuhan,” ujarnya.
Jumlah porter di pelabuhan Beton Sekupang memang lumayan banyak, semua mengenakan pakaian seragam kaos kuning. Banyak di antara mereka hanya duduk menunggu pembeli yang hendak memakai jasanya. ***
Read More..
Read more!
Porter pun Mencari Langganan
Friday, October 10, 2008Posted by budianto78 at 3:20 AM 0 comments
Labels: berita
Kerapu pun Ogah Kawin Sedarah
Saturday, October 4, 2008Tim Batam Forum Batam Pos, Rabu (25/9) lalu bertandang ke Balai Pengelolaan Agribisnis Otoria Batam (BPA-OB) yang berkantor di Jalan KH Ahmad Dahlan Kelurahan Tanjung Riau, Sekupang. Di sini, kami terlibat diskusi dan melihat langsung pembibitan ikan.
Dialog tersebut dihadiri langsung oleh Kepala BPA-OB, Tato Wahyu didampingi Site Building Bidang Perikanan BPA-OB, Wisnu. Pada awal dialog yang tidak begitu formal itu Tato menjelaskan BPA-OB memiliki misi di Kota Batam untuk mengembangkan usaha agribisnis (produk/jasa) dan meningkatkan investasi dalam bidang pertanian, perikanan dan peternakan.
Meski struktur tanah di Batam tergolong bukan subur, namun BPA-OB tetap meningkatkan potensinya bidang pertanian, kebun tanaman hias, tanaman berorientasi ke komersil dan peternakan.
Dari beberapa usaha tersebut yang menjadi perhatian BPA-OB adalah pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan pulau Batam untuk dapat dikembangkan menjadi suatu aktivitas riil agribisnis yang dapat mendorong peningkatan ekonomi di tingkat masyarakat.
Untuk itu, pada tanggal 27 Februari 2004 bertempat di BPA-OB telah ditandatangani perjanjian kerja sama di bidang pertanian dan perikanan antara Kepala BPA-OB dengan Teknologi Budidaya Pertanian.
Beberapa hasil kerja sama diantaranya adalah pelaksanaan pengkajian dan penerapan teknologi budidaya kerapu di perairan Nguan yang kemudian diikuti dengan pelaksanaan panen perdana, penerapan teknologi pendederan dan penggelondongan benih kerapu dalam sistem bak; perbaikan sistem hatchery di BPA-OB.
Dan sampai saat ini penerapan teknologi untuk peningkatan bibit unggul pada kerapu masih terus berlanjut. BPA-OB cukup sadar bahwa kualitas benih rendah masih menjadi batu sandungan terbesar yang menghambat laju perkembangan budidaya perikanan nasional. Padahal, kunci sukses budidaya sangat tergantung pada ketersediaan benih unggul.
Tanpa dukungan benih yang mencukupi dengan kualitas prima, target peningkatan produksi agribisnis perikanan akan terancam gagal.
Karenanya BPA-OB selalu fokus untuk peningkatan mutu bibit unggul, seperti yang dilakukan pada ikan jenis kerapu bebek belakangan ini.
Maklum sekarang ini, kerapu bebek sangat bernilai mahal dan lebih mahal daripada kerapu jenis lainnya.
Permintaan kerapu bebek sangat tinggi di negara-negara maju. Bahkan Singapura, Taiwan dan Hongkong mengimpor kerapu bebek dalam jumlah besar. Melihat peluang itu, seiring dengan misi tadi, BPA-OB pun menginginkan produksi kerapu bebek dengan mutu bagus bisa diproduksi secara massal oleh nelayan Batam. ”Batam merupakan kota terdekat dengan negara pengimpor Kerapu tersebut. Didukung transportasi yang mudah juga menjadikan bisnis ikan kerapu menjanjikan, selain harganya juga sangat mahal,” tuturnya.
Riset untuk mendapatkan bibit unggul kerapu bebek yang prima pun dilakukan di laboratorium BPA-OB di Tanjung Riau. Sampai saat ini bibit yang dapat baru pada tingkat F2. Tato mengatakan bibit kerapu ini dibagi tiga bagian, yakni F1, F2 dan F3.
Ia menjelaskan bibit kerapu F1 memiliki sistem kekebalan sangat lemah dan gampang terserang penyakit dan benihnya mudah mati jika dipindah ke air yang berbeda. Sehingga sulit untuk dikembangkan dan hasilnya kurang memuaskan karena genetikanya juga kurang bagus. Selama ini kerapu jenis F1 inilah yang beredar di pasar.
Sementara kerapu F2 sudah bagus namun sepenuhnya belum kebal. Karena itu BPA-OB terus mengembangkan risetnya untuk mendapatkan kerapu F3, yang dipastikan bibit paling bagus.
”Bibit ini yang sedang kita ciptakan karena kebal penyakit dan cuaca dan pertumbuhan cepat. Makanya kita terus melakukan riset di laboratorium,” ungkap Tato.
Tato Wahyu tak menampik kenyataan pembudidaya ikan air laut sampai saat ini masih terkendala dengan kualitas benih. Penurunan kualitas benih-benih ikan air laut memang terus terjadi. Para pembudidaya juga sangat sulit mendapatkan benih-benih yang berkualitas prima.
”Tengok saja para pembudidaya di pulau-pulau yang ada di Batam yang hingga kini masih kesulitan memperoleh benih ikan kerapu (bebek) berkualitas,” tuturnya.
Selama ini kata Tato, para nelayan budidaya saat membeli bibit sangat jarang peduli dengan asal usul ikan. Padahal, secara tidak langsung persoalan genetika pada bibit unggul sangat perlu diperhatikan karena hal tersebut bisa mempengaruhi pada perkembangan ikan itu sendiri.
Persoalan inilah yang tidak diinginkan dialami para nelayan budidaya yang ada di Batam. Untuk itu BPA OB pun bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk melakukan pengembangbiakan bibit unggul paling bagus. ”Sehingga ke depan bibit unggul ini bisa di produksi secara massal dan dinikmati oleh para nelayan,” tukasnya.
Lantas, bagaimana mendapatkan benih F3 itu? Wisnu menjelaskan sejak dini BPA OB dan BPPT sudah mencegah perkawinan bibit atau induk yang sedarah (inbreeding). Inbreeding bisa menyebabkan benih semakin buruk. Karenanya pencegahan dilakukan dengan memberi PIN number (nomor seri) pada setiap punggung induk.
Memang lanjut Wisnu untuk mendapatkan F3 membutuhkan waktu. “Dari benih sampai induk membutuhkan waktu 2 tahun jadi bibit. Tapi kita yakin bibit F3 itu akan kita dapatkan dan bisa diproduksi secara massal.” ujarnya. ***
. Sekarang baru dapat keturunan dari F2. Jika sudah dapatkan F3 pasti akan kita launching,” tuturnya.
Investasi budidaya ikan kerapu ini memang untuk jangka panjang. Sebab untuk panennya dengan bobot berat per ekor 6 Ons harus menunggu dua tahun. Beda dengan kerapu macan yang panennya lebih cepat. Tapi lamanya menunggu hasil itu memang sesuai dengan harganya. ”Untuk satu kilo kerapu bebek saja harganya mencapai Rp500 ribu. Makanya ini adalah ikan paling mahal. Buat nelayan ini menguntungkan,” katanya.
Selain pengembangan budidaya ikan kerapu, BPA-OB juga membangun pusat hatchery, retail ikan hias dan kolam pemancingan. ***
Read More..
Read more!
Posted by budianto78 at 12:01 AM 0 comments
Labels: berita
BPA - OB Usul Perda Tentang Hewan Ternak
Rumah Potong Hewan (RPH) tak sekadar menjamin keamanan pangan tetapi juga menjanjikan keuntungan. RPH juga merupakan salah satu unit usaha yang sangat penting dalam menjaga kehalalan pangan yang beredar di masyarakat.
Di dalam RPH itu terdapat salah satu tahap yang cukup kritis ditinjau dari segi kehalalan, yaitu proses penyembelihan hewan. Proses tersebut sangat menentukan halal atau tidaknya daging atau bagian lain dari hewan (lemak, tulang, bulu, jeroan dsb.) yang dihasilkan.
RPH perlu memiliki sebuah komitmen yang kuat untuk menghasilkan sembelihan yang halal. Komitmen ini perlu dijabarkan dalam bentuk peraturan daerah. ”Karena itulah kita mengusulkan pembuatan peraturan daerah (Perda) untuk itu, temrasuk untuk alokasi hewan ternak,” kata Tato, Kepala BPA-OB.
Jika suatu peraturan daerah telah ada maka memproduksi sembelihan halal tidak perlu lagi diragukan karena akan dijalankan sebagaimana telah di atur dalam hukum positif di Indonesia.
Ketika pihak RPH telah memutuskan bahwa sembelihan yang dihasilkannya adalah halal, maka seluruh proses yang terjadi, mulai dari pemilihan hewan, proses penyembelihan sampai pengiriman produk kepada pelanggan haruslah sesuai dengan aturan halal.
Rumah potong hewan (RPH) halal hanya diperuntukkan bagi hewan halal. RPH tersebut tidak boleh menyelenggarakan penyembelihan atau penanganan hewan yang tidak halal. RPH halal juga harus terletak di lokasi yang terpisah sama sekali dengan tempat pemrosesan hewan yang tidak halal.
Menurut Tato, dalam perda tersebut juga tidak hanya mengatur tentang tempat pemotongannya. Tetapi juga ke depan semua peternak yang ada di kota Batam akan disatukan di daerah Sei Temiang.
Mulai pemeliharaan, penggemukan hingga pemotongan akan dilakukan disana. Sehingga peternak tidak ada lagi yang berpencar-pencar dan memotong hewan semaunya dan dimana saja tanpa diketahui kehalalannya.
Lokasi pemeliharaan dan penggemukan hewan di Sei Temiang kata Tato, masih cukup luas dan mampu menampung semua jenis hewan yang sekarang ada di Batam.
Untuk itulah, BPA-OB mengusulkan adanya perda tersebut agar lokasi itu dikembalikan kepada fungsinya. Sejak Otorita Batam berdiri, sebuah instalasi ternak sapi langsung dibangun di Sei Temiang. (ray)
Kala itu, mantan Presiden Soeharto langsung mengirimkan sebanyak 300 ekor sapi untuk proses pemeliaraan serta penggemukan.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Sekarang lokasi ini kini digunakan pada saat-saat tertentu saja seperti untuk penampungan hewan sebelum di potong.
”Kita hanya ingin hal itu difungsikan ke semula,” katanya. ***
Read More..
Read more!
Posted by budianto78 at 12:00 AM 0 comments
Labels: berita
Tanaman Komersil Lebih Berhasil
Friday, October 3, 2008Dinamika pembangunan yang terus bergerak maju di Pulau Batam sebagai kawasan industri maupun perdagangan telah mampu memberikan kesempatan kerja pada 180 ribu tenaga kerja. Kegiatan tersebut juga telah memberikan pendapatan bagi pekerja. Namun kegiatan sub sektor industri dan perdagangan belum mampu menyerap keseluruhan potensi pencari kerja.
Artinya diperlukan suatu alternatif yang dapat memberikan kesempatan untuk dapat maju dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang belum bekerja dan yang tinggal di pulau. Secara tidak langsung hal ini bisa mengurangi kesenjangan sosial.
Letak geografis Batam yang strategis berada pada perlintasan perdagangan dan jaringan keuangan internasional belum dioptimalkan. Maka ada peluang pengembangan pasar potensial produk-produk pertanian yang berasal dari kawasan Batam Rempang dan Galang (Barelang).
Hal ini dapat dilihat dari jumlah investasi dalam bidang perikanan, pertaninan dan peternakan di kota Batam hanya sekitar 1 persen dari total investasi yang ditanamkan. Dari sektor agribisnis hanya berkisar 1,6 persen, sedangkan 70 persen lebih adalah industri.
Melihat ini, Badan Pengelolaan Agribisnis yang didirikan Otorita Batam mengembangkan bidang ini, untuk peningkatan usaha mikro dalam bidang pertanian. Bahkan, BPA-OB mengajak masyarakat dan bisa dikerjasamakan dengan investor.
Saat ini pihaknya sedang kembangkan pertanian hidroponik, semi konvesional (irigasi tetes) tanaman holtikultura, tanaman hias, tabu lampot, perkebunan buah-buahan unggulan/ wisata agro dan industri rumah tangga pertanian.
Selain itu, BPA-OB juga sedang mengembangkan tanaman berorientasi ke komersil.
Cara-cara pertanian ini juga sudah ditularkan kepada petani yang ada di Kota Batam, melalui bidang pendidikan dan pelatihan (diklat).
”Pengembangan pertanian satu ini sudah menuai hasil,” tutur Tato, sembari menunjukkan pohon tomat dan paprica hasil tanaman hidroponik di daerah pengembangan tanaman tersebut.
Sementara waktu pelatihan diadakan setiap dua bulan yang diadaptasikan dengan kebutuhan peserta.
”Kita melakukan pelatihan ini secara reguler, dan disesuaikan dengan tren bisnis yang sedang in,” akunya.
Dalam hal ini BPA-OB juga menjalin kerjasama dengan Institut Pertanian Bogor, BPPT, Deptan dan sebagainya. ”Bahkan dari luar negeri seperti Malaysia guna memenuhi standar kualitas lulusan diklat,” tambahnya.
Dari segi sarana dan prasarana kata Tato, BPA-OB menyediakan lahan pertanian (kawasan industri pertanian terpadu) seluas 60 hektare di Sei Temiang.
Unit Green House 2.400 m2. ”BPA-OB adalah patner kerjasama investasi dan melayani kebutuhan calon investor dan masyarakat luas untuk mengembangkan usahanya dalam bidang agribisnis,” katanya. ***
Read More..
Read more!
Posted by budianto78 at 11:58 PM 0 comments
Labels: berita
Mak Wik dan 3.500 Batang Kue rokok
MENJELANG lebaran, warga pasti sibuk membuat kue. Tidak terkecuali dengan Mak Wik. Bahkan Mak Wik terbilang punya kesibukan yang cukup padat. Kenapa tidak? Wanita kelahiran Bawean, Kabupaten Gresik Jawa Timur ini membuat kue bukan hanya untuk keluarganya saja.
Banyak masyarakat yang suka dengan kue, opor, ketupat dan sejenis makanan lebaran lainnya hasil buatan tangannya. Pesanan pun menggunung. Yang datang bukan hanya tetangga, dari luar lingkungan rumahnya juga ada. Berikut sekelumit kisah Mak Wik si pembuat kue dan makanan lainnya yang dilakukannya setiap tahun saat menjelang perayaan Idul Fitri.
SAMBIL duduk di sebuah kursi santai di dapur rumahnya yang tak begitu luas di kawasan Bengkong Permai Blok B no 19, tangan perempuan berusia 44 tahun itu bergerak lincah meracik semua bahan-bahan untuk membuat kue. Bahan sudah ditimbang, terigu sudah diayak dan bahan lainnya sudah ditakar sesuai porsinya. Kamis (25/9) siang itu, Mak Wik ingin melanjutkan pekerjaannya, membuat kue salju.
Tapi ia menunda membuatnya menunggu cetakan kue ketemu. Saat Batam Pos hadir dirumahnya, ibu dari enam anak ini baru saja selesai membuat kue nastar. Lalu Mak Wik pun mengajak untuk melihat bagian dapur tempat membuat kue-kue enak yang sudah dikenal banyak orang itu.
Sambil merapikan adonan kue salju yang sudah dikerjakan, Mak Wik pun bercerita panjang lebar. Di sekitarnya banyak jenis bahan-bahan untuk membuat beraneka macam kue-kue. Hampir seluruh meja di dapur itu tertutupi bahan-bahan tadi. Lantai semen dapur itu juga hampir setengah luasnya tidak luput dari macam bahan-bahan baku pembuat kue lainnya.
Di dekat pintu dapur, sebuah oven tradisional yang terletak diatas kompor masih terasa hangat. Dari oven itulah Mak Wik baru saja mengeluarkan kue nastar yang terakhir. Ia baru saja menyelesaikan kue nastar sekitar satu kilo gram. “Sebelumnya banyak yang selesai, dan sudah diambil orangnya,” katanya.
Tak ketinggalan juga Mak Wik meminta Batam Pos untuk mencicipi kue nastar buatannya. Ia meminta untuk meyakinkan apakah kue buatannya itu benar-benar enak atau tidak. Karena memang tidak puasa, kue nastar itu pun dicicipi. Mak Wik hanya senyum-senyum dan mengucapkan terima kasih, ketika Batam Pos menyampaikan pendapat kue buatannya memang benar-benar enak.
Untuk menjaga citra rasa kue buatannya, Mak Wik mengaku tidak pernah melibatkan anak-anaknya secara langsung dalam meracik adonan kue. Termasuk suaminya yang sudah lama melihatnya melakukan itu. “Itu pesanan orang, jadi anak- anak saya minta bantu-bantu saja,” akunya.
Sekalipun sudah berusia hampir setengah abad, ibu enam anak yang lahir dengan nama Nawiyah ini masih menampakkan sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Sebentar-sebentar ia mengembangkan senyum ketika berbicara ngalor-ngidul tentang cara membuat kue-kue tersebut.
Namun kelelahan dari raut wajahnya jelas terlihat. Maklum Mak Wik sejak Ahad (21/9) selalu sibuk mengerjakan kue-kue pesanan banyak orang. Kerja mulai subuh dan baru selesai sore hari, kemudian dilanjutkan malam hari hingga terkadang hingga saur.
Misalnya, saat membuat kue nastar terakhir waktu itu. Kata dia sudah mengerjakan kue nastar terakhir itu sejak subuh pukul 04.00 WIB dan baru selesai pukul 13.30 WIB. Banyaknya kue dan beraneka macam membuat Mak Wik sering begadang, demi mengejar target agar pesanan selesai tepat waktu. Untuk membuat badannya segar bekerja di pagi hari, kadang habis saur, Mak Wik tidur sebentar. “Ini sudah biasa, jadi capeknya tidak terasa,” katanya.
Ia mengaku masih banyak pesanan lain yang belum dikerjakan. Ada sekitar empat macam kue yang belum dikerjakan. Salah satunya kue salju. “Pesanan-pesanan ini harus diselesaikan secepatnya,” kata Nawiyah, yang lebih dikenal dengan sebutan Mak Wik, ketika ditemui siang itu di sela-sela kesibukannya.
Selain membuat kue-kue kering, ternyata Mak Wik terkenal juga dengan masakan seperti membuat ketupat, opor ayam dan masalah lainnya. Bahkan saking dipercaya dengan keahlian memasaknya, Mak Wik pernah diminta memasak tiga ekor kambing untuk sebuah acara.
Melakoni menerima pesanan membuat kue-kue dan ketupat serta opor ayam menjelang hari raya Idul Fitri sudah berjalan sejak tiga tahun yang lalu.
”Awalnya bikin kue untuk keluarga saja. Selanjutnya banyak orang pesan setelah merasakan kue dan ketupat hasil buatanku,” ungkapnya.
Ia mengaku ilmu membuat kue-kue dan opor ayam tersebut di dapat dari belajar sendiri dari orang. ”Saya tanya-tanya terus bikin sendiri di rumah. Kadang kalau gak ngerti saya ajak bikin kue di rumah, jadi saat itu juga saya belajar,” katanya.
Suatu kejadian ketika membuat kue ada yang tak pernah bisa dilupakannya. Ketika itu ia ingin membuat kue Norwegia. Seluruh kue tersebut saat dimasukin ke oven langsung meluber. Hasilnya tidak sesuai harapan dan akhirnya kue itu terbuang begitu saja.
Namun hal itu tidak membuatnya kalah semangat untuk ingin tahu membuat kue tersebut. Setelah bertanya kepada orang yang lebih tahu, akhirnya dia mahir sampai sekarang. Untuk menambah ilmu membuat kue, Mak Wik tak segan-segan belajar dari orang lain, seperti membuat kue lapis. ”Sekarang saya bisa buat kue lapis, hanya tidak ada alatnya,” akunya.
Kue-kue kering seperti nastar, coco krunch, norwegia, salju, bawang bilis, bolu-bolu kecil, kue bijan, kue rokok, peyek dan lainnya merupakan kue khas yang disuguhkan di hari raya Idul Fitri sudah tidak asing lagi. Setiap tahun Mak Wik mendapat pesanan membuat kue-kue tersebut.
Tahun ini pesanan untuk kue kering memang cukup banyak. Bahkan sebagian pesanan minta bantu adiknya. Bahan yang digunakan juga jauh lebih besar dibanding tahun sebelumnya. Dari hanya beberapa kilogram tepung beras, tahun ini menghabiskan lebih banyak.
Paling banyak memesan kue kering adalah jenis kue rokok sampai 3.500 batang, kemudian peyek dengan aneka rasa sampai 12 tupperware besar. Ia mengatakan semua pesanan untuk kue kering yang tertinggal empat jenis lagi sudah harus selesai Sabtu (27/9).
Sebab esok harinya, perempuan yang menginjakkan kakinya di Batam sejak tahun 1979 ini sudah harus belanja untuk pesanan membuat ketupat dan opor ayam. Belanja bahan-bahan untuk ketupat dan opor ini harus lebih cepat karena sulit mencarinya saat menjelang lebaran.
”Apalagi ada yang minta opor ayam kampung. Semua saya minta ambil pesanan mereka saat malam takbiran. Nah, kalau tak selesai kan gak enak ama yang pesan,”ucapnya.
Sejak tiga tahun lalu, keahlian membuat kue ini pun menjadi penopang keluarga Mak Wik, selain penghasilan dari suaminya sebagai pekerja bangunan. Bahkan sejak itu, setiap hari Mak Wik membuat kue untuk dijual di sekolah-sekolah. Kue-kue buatannya dititip di kantin sekolah. Selain itu, Mak Wik juga melayani pesanan kue jika ibu-ibu wiritan.
”Setiap hari titip kue sampai 600 biji di kantin-kantin sekolah. Ini sudah jadi kerja saya sehari-hari,” tuturnya.
Citranya sebagai pembuat kue yang dikenal enak itu berbuah order yang bagus. Selama beberapa tahun Mak Wik merasa telah memetik buah dari keputusannya menjadi pembuat kue. Hal itu dia imbangi dengan peningkatan kualitas dan keragaman produknya.
Dia serius belajar secara otodidak mengenai pembuatan kue. Dia rupanya juga punya kepekaan bisnis yang brilian. Selama itu, dia terus mengembangkan ilmunya mengem bangkan kue-kue tradisional dan diminati banyak orang. Untung dari menjual kue itu memang tidak begitu besar.
”Untungnya tipis, yang penting mulus dan beramal, apalagi ini di bulan suci,” tuturnya.
Ternyata dengan tangan dingin Mak Wik, usaha kecil ini semakin dikenal oleh masyarakat Bengkong dan sekitarnya, bahkan sampai daerah lain di Batam. Dari bisnis kecil-kecilan inilah, Mak Wik bersama suaminya berhasil menyekolahkan ke-enam anaknya.
Meski ada untung kecil-kecilan dari bisnis kue tersebut, namun Mak Wik bersama Udin lebih mementingkan pendidikan anak-anaknya daripada memperbaiki rumahnya yang sudah enam tahun tidak mendapat sentuhan. Memang, rumah seluas ukuran kavling itu sudah terbuat dari batu permanen dengan beratapkan beton.
Hanya kondisi bangunannya masih terlihat baru setengah jadi. Jendela masih tertutup triplek, bagian dapurnya pun belum sepenuhnya kelar. Semua bangunan itu merupakan sentuhan tangan suami Mak Wik, yang menyisihkan waktunya sedikit demi sedikit.
”Sudah enam tahun rumah ini belum dilanjutkan setelah pembangunan pertama,” tuturnya.
Ia masih sangat bersyukur enam orang anaknya punya semangat dalam pendidikan. Anak pertama mereka setelah lulus dari SMA langsung memilih bekerja agar bisa membantu keluarga. Sedang anak keduanya sedang kuliah di Politeknik Batam dan empat lainnya sedang duduk dibangku sekolah.
”Selagi anak-anak punya kemauan belajar, mereka selalu dukung untuk pendidikannya. Tapi dari awal saya tegaskan tidak boleh neko-neko, sebab harus mengerti ekonomi orangtua,” ungkapnya. Beruntung sampai saat ini anak-anaknya masih mengerti dengan kondisi ekonomi mereka dan tidak banyak neko-neko. ***
Read More..
Read more!
Posted by budianto78 at 11:43 PM 0 comments
Labels: berita
Jalan Panjang Para Penyapu Jalan
Saturday, September 27, 2008Berkutat dengan pekerjaan tak mengenakkan, berbagai bau busuk serta sampah setiap pagi ditambah dengan upah yang seadanya terpaksa dilakukan Nahwan, demi menopang roda kehidupan. Sekelumit kisah dari penyapu jalan yang mendapatkan sarapan “sampah” setiap paginya.
Siang di bawah terik matahari Batam Pos menemukan wajah lusuhnya. Tubuhnya terlihat masih kuat mulai digerus usia. Tiga puluh dua tahun sudah usia menggerogoti wajah mudanya. Memakan habis ototnya. Membungkukkan tulang punggung dari badan tegarnya.
Nahwan, begitu panggilan akrabnya. Kehidupannya sebagai tukang sapu jalanan di daerah Lippo Bank Nagoya, Pelita hingga Jodoh membuatnya akrab dengan pelbagai kendaraan, yang tentu tak pernah mampu dimilikinya. Sekadar berkhayal punya pun mungkin ia tak sanggup. Berada di dalam mobil hanya beberapa menit untuk mencoba pedal gas mungkin juga terasa aneh baginya.
Sosok pendiam ini capek menjalani rel panjang kehidupannya. Ia bosan pada kemiskinan yang membelit. Namun dia tak sanggup lari dari kemiskinan yang terus saja menguntit perjalanan hidupnya.
Nahwan menjadi penyapu jalan sejak tahun 2005. Saat itu, ia digaji harian sekitar Rp25 ribu per hari. Sekarang, ia sudah mendapatkan gaji bulanan. Besarnya, Rp960 ribu atau sesuai dengan UMK Batam. Uang itu, ia terima dari Dinas Kebersihan Kota Batam. Sudah tiga tahun Nahwan menerima upah dari instansi pemerintah tersebut. Meski tak mencukupi memenuhi kebutuhan keluarganya, Nahwan tetap setia pada pekerjaan itu. Karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya selain itu.
”Yang penting dapat uang buat makan,” ujar ayah dari satu anak ini.
Lelaki kelahiran Purbolinggo, Jawa Tengah ini tinggal di rumah liar (ruli) Seraya Bawah RT05/RW01, Nagoya, Batam. Penyangga rumah Nahwan pun hanya setinggi tanaman jagung. Di tengah bangunan-bangunan tinggi Nahwan hidup serba kekurangan. Potongan-potongan tripleks yang menempel pada setiap kayu penyanggah rapuh itu menjadi saksi tentang pahitnya kehidupannya. Untung saja pemilik lahan belum meributkan soal lahan ini.
”Kalau sampai digusur, entah akan tinggal di mana,” ujarnya.
Rumah seluas 3 x 3 meter itu dihuni bersama adek dari keponakannya. Istrinya, Rosiawaty, 25 tahun, dan anaknya, Rizal, 3 tahun, terpaksa tinggal di kampung karena tak mampu menghidupi ala kadarnya di Batam.
Penghasilannya dari menyapu jalan sampai sekarang adalah yang menjadi sumber kehidupan istri dan anaknya di kampung. Nahwan sering berpikir kenapa kemiskinan tak juga pergi darinya. Dia sedih jika memikirkan itu. Matanya menerawang jauh bersama angin bertiup kencang menjatuhkan daun-daun pepohonan.
Debu-debu jalanan beterbangan melewati bulu-bulu matanya dan melilipkan matanya. Bising knalpot kendaraan semakin akrab menderu-deru. Dalam keramaian, Nahwan menjalani hidupnya dari hari ke hari. Sorot matanya yang tajam mencoba menelisik jauh makna hidup.
Ketegarannya mencoba menghancurkan dinding keangkuhan dan kerasnya hidup. Dengan otot muda yang kian melembek dia ingin mendobrak pintu menuju singgasana megah dan masuk ke dalamnya. Aku di sini, di hadapannya, kian mengerti bongkahan demi bongkahan kesabaran kian luluh.
Rasa sedih selalu menghampirinya, khususnya setiap bulan Ramadan yang sudah tiga kali dilaluinya tanpa keluarga. Sedih, apalagi saat malam takbiran, kangen dengan keluarga dan ingin pulang berkumpul bersama mereka. Tapi niat itu tak kesampaian karena uang tak cukup. Meski bertaut dengan kekurangan dan kemiskinan, Nahwan masih bangga dengan dirinya, karena selama puasa tidak satu hari pun yang bolong.
”Saya sering menangis sendiri. Apalagi, dengar suaranya di telepon yang selalu bilang bapak kapan pulang? Makin sedih, karena dia yang dulu saya tinggal masih usia enam bulan kini sudah bisa bicara. Saat itu saya hanya membesarkan hati mengatakan inilah hidup,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Tiga tahun tahun terakhir, Nahwan selalu melayani hidupnya di rumah sendiri. Mulai memasak, mencuci, memikul belasan ember air dari sumur untuk digunakan sore hingga malam. Semua dikerjakan olehnya subuh-subuh sebelum pergi bekerja. Saat pagi baru merekah itulah, Nahwan meninggalkan rumahnya. Berbekal sapu bergagang panjang di bahu, sekop dan plastik di tangan, ia berangkat ke simpang Lippo Bank Nagoya untuk menyapu jalan.
Kesenangan sesaat bisa mereka rasakan pada subuh hari tersebut ketika berjalan rame-rame bersama 20 penyapu jalan lainnya yang tinggal berkedakatan di ruli Seraya. Setelah itu rasa sedih itu akan kembali menggelayut di pikiran mereka.
Penghasilan bekerja dari pukul 05-00 hingga 10.00 WIB bagi Nahwan tidaklah cukup dengan kehidupan yang serba mahal di Batam. Nahwan pun mencari penghasilan sampingan dengan cara mengumpulkan barang bekas. Usai pulang menyapu jalan, ia mengumpulkan kaleng-kaleng dan karton-karton bekas untuk dijual kembali kepada pengumpul. Ia mendapat penghasilan dari sekitar Rp 20 ribu per hari. Bahkan, di hari libur pun ia tetap bekerja.
Hari itu juga, sebuah kaleng bekas ia masukkan ke kantong baju seragam kerjanya. ”Kaleng-kaleng ini saya jual untuk menambah penghasilan. Tapi di bulan puasa ini saya jarang turun, fisik tidak kuat,” ujarnya sembari menunjukkan kaleng minuman kaleng tersebut.
Meski bekerja keras, namun Nahwan mengakui kalau ia masih sering menjadi langganan mengutang kepada rekan-rekan sekerjanya jika ingin mengirimkan uang ke kampung. ”Kami selalu giliran mengutang sesama teman kalau mau mengirim ke kampung. Itupun bisanya Rp 500 ribu. Tapi di bulan Ramadan ini rasanya sulit, tapi harus, kasihan si kecil jadi harus di bela-belain,” ungkapnya.
Harapan satu-satunya dia ingin bisa pulang kampung tapi rencana itu belum bisa diwujudkannya tahun ini. ”Tapi kalau anak sudah mau masuk sekolah, saya pasti pulang,” ujarnya.
Ia juga berharap kepada pemerintah agar memperhatikan nasib mereka. Setidaknya upah pekerja kasar bisa sama dengan kebutuhan hidup layak (KHL). Sehingga di tahun-tahun berikutnya mereka bisa menabung untuk ongkos pulang ke kampung.
Dengan UMK sekarang, Nahwan mengaku hanya bisa makan ala kadarnya. Hari-hari ia lalui dengan makan dengan lauk tahu dan sayur toge. ”Beli Rp 5 ribu sudah bisa bertahan sampai setengah bulan. Kalau bosan, tinggal petik daun singkong di tengah jalan begitulah setiap hari,” ujarnya. Tiga tahun sudah Nahwan berkutat dengan derita, debu, dan sampah. Jalan-jalan juga semakin panjang. Tugas mereka pun semakin bertambah. ”Awal-awalnya sih capek. Tapi sekarang sudah terbiasa,” katanya.
Nahwan mengaku dia ke Batam sudah sejak tahun 1995. Setibanya di kota industri ini menjadi buruh bangunan. Ia hanya bertahan enam bulan dengan pekerjaan keras itu. Kemudian ia beralih profesi bekerja di penginapan Gajah Mada dan berpindah lagi ke Karaoke Mutiara sebagai tukang parkir. Begitulah kehidupan Nahwan saat itu, bekerja serabutan, yang penting bisa makan.
Waktu tak juga mengubah nasibnya, profesi sebagai buruh bangunan pun ia geluti selama tiga tahun. ”Ruko di Tembesi sebagian adalah hasil kerja saya,” ujarnya tersenyum. Kerinduannya pada kampung halaman membuatnya pulang tahun 1998. Kapal Pelni bernama Rinjani adalah satu-satunya alat tranportasi paling murah saat itu ke Jakarta. Itupun harus berangkat dari Tanjungpinang dengan ongkos Rp 60 ribu sampai di Jakarta dan diteruskan naik bus ke kampung halamannya di Purbolinggo.
Di tahun yang sama Nahwan pun kembali lagi ke Batam. Pekerjaannya juga serabutan selama tiga tahun tapi tak jauh dari buruh bangunan dan tukang sapu. Karena kesusahan terus membelitnya, tahun 2001 ia pun hijrah ke Jakarta. Disana juga dia tak lepas dari kerja kasar, sebagai tukang las. Tak lama dia disana dia pun pulang kampung dan menikahi seorang gadis bernama Rosiawaty. Enam bulan setelah kelahiran Rizal anaknya, akhir tahun 2005 Nahwan pun memutuskan meninggalkan istri dan anaknya ke Batam hingga sekarang. Di kota metropolis ini Nahwan terus mengadu nasib dan berharap ada perubahan.
Mulyadi, penyapu jalan lainnya hanya berharap pemerintah yang paling berharga ke depannya adalah dengan meningkatkan penghasilan mereka sama dengan kebutuhan hidup layak di Batam. Dia mengakui upah yang mereka terima sekarang belum juga layak. Bahkan warga rumah liar Pasir Indah Batuaji ini yang baru pulang dari kantor Dinas Kebersihan Kota Batam mengaku baru mengajukan permohonan pinjaman. ”Saya tak punya uang, jadi pinjam ke koperasi,” katanya.
Pinjaman yang dia ajukan ke koperasi Dinas Pasar itu dinilai cukup besar. Itupun tidak utuh diterima karena dipotong biaya administrasi. Bahkan temannya sampai terkaget-kaget ketika Mulyadi menyebut nominalnya sebesar Rp 2 juta. Setiap bulan, Mulyadi harus mengembalikan dengan sistem mencicil sebesar Rp 550 ribu. ”Uang nanti mau saya kirim buat keluarga di kampung,” ujarnya.
Mulyadi yang asal Semarang ini sudah bertugas selama 18 tahun. Sudah lima tahun dia tak pernah pulang ke Semarang. Sehari-hari dia mendapat tugas menyapu sampah dari simpang Barelang hingga markas Brimob. Dia hanya berharap perhatian pemerintah dapat meningkat untuk mereka. Memang dari tahun ke tahun, gaji mereka naik sesuai dengan pergerakan UMK. Ada saat-saat mereka mendapatkan bonus, seperti saat Batam meraih Adipura tahun lalu. Nahwan dan Mulyadi bersama 410 petugas lainnya mendapatkan bunus Rp 200 ribu dari Pemko Batam. ”Wali Kota juga memberi bantuan hanya belum kami terima. Kalau mau puasa, kami juga dapat beras dan sembako. Kami juga dapat THR. Ini adalah bentuk perhatian dan kami sangat menghargainya,” katanya. ***
Dua kali sudah kota Batam menyandang gelar kota terbersih. Dan dua kali itu juga kota industri ini mendapat penghargaan. Semua itu tidak terlepas dari kegigihan dan tanggung jawab para penyapu jalanan. Begitulah Wakil Wali Kota Ria Saptarika menyanjung para penyapu jalan. Masih segar diingatan, kegembiraan jelas terpancar dari wajah ratusan penyapu jalan, ketika Piala Adipura diarak Juli 2008 lalu. Para penyapu jalan secara beramai-ramai mengarak Piala Adipura berkeliling Kota Batam.
Termasuk Nahwan mengaku ikut dalam arak-arakan itu. ”Itu kebanggaan yang tak terhingga nilainya dari hasil kerjanya selama tiga tahun,” katanya.
Bahkan setibanya di Kantor Wali Kota, para penyapu jalan bersorak-sorai sambil mengangkat Piala Adipura. Begitu juga dengan Wakil Wali Kota Batam, Ria Saptarika. Ria mengatakan, Piala Adipura itu harus terus dipertahankan. ”Kita bangga karena kinerja penyapu jalan, penggali parit dan drainase, membuahkan hasil. Kerja keras semuanya membuat Batam mendapat Piala Adipura. Saya berterimakasih kepada pahlawan kebersihan ini,” kata Ria.
Saat itu juga, Pemko Batam memberi penghargaan kepada lima orang mewakili pengangkut sampah, penyapu jalan, pengelola sampah, dan petugas dari Puskesmas. Mereka dianggap berjasa untuk kebersihan Batam.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Batam, Azwan dengan bangga mengatakan, Batam menempati peringkat kedua setelah Pekanbaru. Tim Adipura memberi nilai 74,77 Pekanbaru, Batam 73,07, dan Padang diposisi ketiga dengan poin 73,01. Bahkan sebagai bentuk perhatian pemerintah pada nasib penyapu jalan dengan mengasuransikannya. Ada dua jenis asuransi, yakni jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua. ”Semua petugas kebersihan kita masukkan asuransi, agar nasib mereka bisa lebih terjamin,” paparnya. ***
Read More..
Read more!
Posted by budianto78 at 2:33 AM 0 comments
Labels: berita
Membidik Potensi Zakat dengan Program
Roadshow dialog Batam Forum Batam Pos terus berlanjut. Pekan lalu tepatnya, Kamis (18/9) lalu, bertatap muka dengan pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya Batam (MRB).
Dari hasil dialog ini diketahui masih banyak masyarakat yang belum menyalurkan zakatnya. Untuk itu pengurus LAZ MRB pun melakukan berbagai hal-hal yang kreatif mengajak masyarakat untuk berzakat.
Inovasi pengembangan zakat tidak lagi menjadi dominasi LAZ di ibu kota. Berbagai daerah juga sudah melakukannya. Tujuannya adalah mendorong perkembangan zakat sehingga bisa diharapkan bisa mengentaskan kemiskinan. Salah satu LAZ yang melakukan inovasi pengembangan produk adalah Masjid Raya Batam (MRB).
Bagi lembaga aksi sosial ini, inovasi pengembangan penting dilakukan. Hal itu karena pengembangan zakat sama dengan pengembangan berbagai sektor lain. Tanpa inovasi, zakat memang tetap berkembang, tapi tidak pesat. Karena itu, inovasi perlu digalakkan bagi seluruh lembaga amil. Dengan demikian, zakat di Indonesia bisa tumbuh dan berkembang secara pesat.
Menurut Wakil Direktur Opersional LAZ MRB, Syarifuddin ST salah satu inovasi pengembangan zakat adalah dengan menerapkan orang tua asuh by request sebagai penyaluran zakat yang disampaikan oleh masyakat. Produk ini menjadi unggulan dari 10 program LAZ MRB. ”Sampai saat ini jumlah anak asuh yang sudah tersantuni melalui program ini adalah 320 (dhuafa) mulai dari tingkat SD hingga SMA,” tutur Syarifuddin.
Program orang tua asuh ini sengaja dikembangkan untuk memudahkan masyarakat lebih percaya akan penyaluran zakatnya kepada yang bermanfaat. Program ini sendiri melibatkan para muzakki dengan cara bisa me-request, memilih, memesan anak yang diinginkan sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga anak asuh tersebut.
Sebelum memilih LAZ MRB akan menyerahkan daftar list anak asuh kepada orangtua asuh untuk dipilih sesuai keinginan. Orang tua asuh cukup memberikan santunan tunai kepada siswa senilai Rp100 ribu perbulannya. Dan santunan ini langsung diterima oleh (orangtua) siswa sendiri.
”Program ini sudah jadi solusi bagi para dhuafa yang kesulitan pada biaya pendidikan anaknya. Dengan santunan itu, mereka sudah bisa membeli kebutuhan bersekolah,” papar Syarifuddin.
Disamping itu, lanjutnya, dari Rp100 ribu yang diterima (orangtua) siswa langsung dipotong Rp5 ribu untuk bimbingan belajar anak dan Rp 10 ribu untuk tabungan. ”Setiap tabungan dapat diambil akhir tahun,” tuturnya.
Dalam pengelolaan zakat ini, kata Syarifuddin LAZ MRB sangat tegas. Misalnya jika (orangtua) siswa penerima santunan tidak membayarkan uang sekolahnya, maka LAZ MRB akan langsung menghentikan santunannya. ”Karena itu kita selalu cek kepada kepala sekolah anak penerima santunan, jadi tidak main-main,” katanya.
Para orang tua asuh juga dapat mengetahui perkembangan akademik anak asuhnya dengan menerima foto copy rapor atau nilai evaluasi semester dari sekolah yang dikirimkan oleh LAZ. Setiap orang tua asuh pada program ini punya keterikatan kontrak selama satu tahun dengan mengisi lembar kesediaan menjadi orang tua asuh.
Selama satu tahun berjalan anak asuh pada umumnya meraih rangking di sekolah dan mendapat beasiswa dari Takaful.
Tidak hanya itu, anak-anak asuh ini juga dituntun sampai mendapat pekerjaan. ”Kami yakin program ini akan mendapat respons positif dari masyarakat. Mereka akan terdorong untuk terus beribadah setelah melihat keberhasilan daripada program ini,” katanya.
Dalam penyaluran zakat kata Syarifuddin, LAZ MRB tidak menemuni kendala yang berarti. ”Kendalanya hanya pada pengumpulan zakat. Sebab itu, kita selalu terus sosialisasi kepada masyarakat agar menyampaikan zakatnya. Khususnya karyawan perusahaan agar salurkan zakat profesinya,” tambahnya.
Mengingat masih banyak yang belum menyalurkan zakat, Syarifuddin menyampaikan ada empat cara mudah dalam berzakat melalui LAZ MRB. Yakni kolektif di perusahaan, tunai di kantor LAZ MRB, transfer via rekening dan layanan jemput zakat (lezat). Sedangkan untuk program zakat fitrah LAZ MRB tidak ada karena sifatnya langsung dibagikan karena untuk memberi makan. ”Kami ingin memudahkan masyarakat menyalurkan zakatnya,” ucapnya. ***
Read More..
Read more!
Posted by budianto78 at 2:30 AM 0 comments