Anak Muda Teruskan Perjuangan Kami

Thursday, August 21, 2008

...Veteran sebagaimana berulang-ulang kami nyatakan,
bukanlah bekas pejuang, bukan pula jago kapuk.
Kamu adalah tetap pejuang dan tetap prajurit revolusi.
Bahkan kamu harus tetap menjadi pelopor perjuangan rakyat
sepanjang masa..

INILAH amanat tertulis yang dibuat Ir Soekarno dalam peringatan Hari Veteran 10 Agustus 1965. Pesan ini dibuat dalam ejaan bahasa Indonesia lama yang huruf-hurufnya sudah memudar karena dimakan usia. Catatan selembar kertas ini dibingkai dan digantung di dinding Kantor Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), lantai 11 Plaza Semanggi Jakarta.
Tapi bagi Karim Adhi Sasmita, Edi Rustaman, Lakaenda, Haris Hariyanto, Hj Maisaroh, Gani, dan Hammado ini, veteran adalah mereka yang paling tahu kepahitan sebuah perang. Tidak pernah membayangkan mereka yang kini menetap di Batam ikut bersama prajurit-prajurit lain memperebutkan Irian Barat dan mempertahankan daerah-daerah lain menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dari penguasaan penjajah Belanda maupun Jepang.
Meskipun hanya sebagai prajurit Marinir (dulu KKO), petugas Palang Merah Indonesia, anggota kesatuan lainnya, perjuangannya yang kala itu bersama rekan-rekan seperjuangan, murni untuk negara. Sama seperti prajurit lain, yang bahkan kehilangan anggota tubuh mereka adalah untuk mempertahankan negara.
Karim Adhi Sasmita, Ketua Markas Cabang (Macab) Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), Batam berharap perjuangan mereka mempertahankan NKRI janganlah sia-sia. Jangan seperti Timor Timur yang lepas dari NKRI tanggal 20 Mei 2002, setelah memperoleh kedaulatan dari PBB dan resmi lepas dari Indonesia.
Menerima kenyataan ini, pejuang-pejuang yang pernah berjuang hingga rela kehilangan tangannya atau bagian tubuh yang lain sangat sedih. Besar jasa-jasa veteran bukan hanya dalam memperebutkan kemerdekaan, tetapi juga mempertahankan kemerdekaan itu. Generasi muda harus meneruskan perjuangan pejuang. Perjuangan memang tidak harus dengan senjata.
”Itu dulu, the man behind the gun, sekarang sudah the man behind the brain. Anak muda harus memaksimalkan pemikiran untuk meneruskan perjuangan bangsa,” ujar Karim dalam kegiatan Batam Forum yang digelar Batam Pos Rabu (14/8) lalu.
Pada kesempatan itu, Karim menuturkan keberhasilan KKO yang didirikan oleh Bung Karno saat mengusir penjajah. Panji KKO ”Jalesu Bumi Yamko Jaya Mae” (justru di laut dan di darat kita berjaya) yang terpatri dalam jiwa terus membakar semangat para pejuang hingga titik darah penghabisan. Bahkan, semangat itu tak luntur sampai sekarang dari jiwa mereka.
Edi Rustaman misalnya, pejuang Dwikora dan Trikora ini ditunjuk Soekarno menjadi Komandan Ganyang Malaysia (Kogam) pada konfrontasi Indonesia-Malaysia 3 Mei tahun 1964 - 11 Agustus 1966 dan menjadi pelatih pasukan lokal. ”Bangga rasanya menerima kepercayaan itu dari Bung Karno,” ungkap Edi berapi-api.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja adalah sebuah perang mengenai masa depan pulau Kalimantan, antara Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966.
Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai ”boneka” Britania.
Soekarno juga mencetuskan Dwikora dan Trikora untuk mengambil hak Indonesia yang saat itu masih dijajah Belanda. Alhasil Trikora, pada tahun 1961 berhasil mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI. ”Kami yang ditugaskan penyerangan ke Irian Barat,” ujar Edi Rustaman.
Selain ke Irian Barat, Edi yang juga pasukan pendarat ini ditugaskan lagi ke Sulawesi Utara Manembo-nembo, Pelabuhan Bitung. Saat itu pasukan yang ditugaskan kesana satu batalyon lengkap dengan panser ampibi dengan menggunakan kapal KRI Teluk Wojo dan dikomando Let KKO Suparyono (Alm). Selain kapal KRI Teluk Wojo, ada juga pasukan kapal KRI Macan Tutul.
Kapal mereka terus digempur meriam belanda, hingga KRI Macan Tutul hancur dan tenggelam di laut Arafuru. Rekan-rekan banyak yang tenggelam, hanya sedikit yang selamat. Satu prajurit yang selamat dari kapal KRI Macan Tutul sampai sekarang adalah Jamani, yang kini jadi Komandan Satpam di PT Bintang Jaya Sentosa. ”Nih merinding saya ingat kejadian itu,” ujar Edi dengan mata berkaca-kaca sambil menunjukkan bulu halus ditangannya.
Lakaenda (79) veteran Dwikora memiliki tugas penting pada tahun 1964. Tugasnya rahasia. Lakaenda bersama rekannya bertugas mengirimkan bom waktu, granat dan informasi ke Singapura, yang saat itu dijajah Inggris. Bagi Indonesia Singapura adalah saudara, untuk itulah pejuang dari Indonesia ditugaskan membantu 12.000 tentara Singapura mengusir Inggris. Untuk itulah Presiden Soekarno menginginkan Singapura masuk ke Indonesia melalui jalan politik, bukan dengan cara perang.
Menurut Lakaenda pengiriman setiap barang ke Singapura selalu disembunyikan dalam karet getah. Mereka pakai kode untuk masing-masing pengiriman. Untuk bom waktu dengan kode kelapa muda, granat dengan kode nenas, informasi penting kepada teman di Singapura dengan sapu tangan dan angkat celana sebelah kanan selutut turun ke darat.***
Dalam tugas itu kata Lakaenda banyak rekan-rekannya yang tewas di tengah laut karena ditembak mati oleh tentara Inggris. Tapi mereka sangat senang, karena bom waktu yang dibawa mereka berhasil menghambat Inggris masuk ke Singapura. ”Karena jembatan Merdeka Singapura yang menjadi penghubung ke Singapura berhasil kita hancurkan dengan bom waktu,” kenangnya.
Pahitnya pengalaman ini juga dirasakan oleh Maisaroh (80) memiliki tugas sebagai petugas medis. Perjuangan istri dari (alm) RA. Manaf (Komandan Korem Bengkulu tahun 1973) ini lebih banyak bertugas di Palembang saat Jepang memasuki wilayah itu tahun 1942-1944. Pengalaman pahit dirasakan lulusan akper dari RS Benteng Palembang ketika Jepang mengusir ratusan pasien mereka dari RS Benteng keluar dari Kota Palembang. Mereka pun mencari perlindungan ke hutan dan menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam.
Dari ratusan pasien, hanya sedikit yang selamat. Sebab ditengah jalan, peluru meriam dari kapal-kapal tentara penjajah dari sungai Musi terus menghantam. Mayat pun bergelimpangan. ”Korban ada yang tangan atau kakinya putus dan lainnya. Saya tidak bisa membayangkan kengerian waktu itu,” ujar ibunda dari Danlanal Batam, Letkol Faisal ini.
Sementara anggota Tentara Rakyat Indonesia Angkatan Muda Rakyat Indonesia (TRI Amris) tahun 1942, Hammado mengatakan bertugas mencari tempat istirahat dan mengirimkan logistik makanan kepada para pejuang yang sedang beristirahat. ”Itulah perjuangan saya,” ujar Hammado yang kini sehari-hari berkebun ini.
Namun pada dasarnya, para veteran mengaku perjuangan mereka perlu mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat. ”Kita tidak mengharap lebih, tapi bentuk iklasnya seperti apa terserah. Selama ini perhatian pemerintah masih kurang?” aku mereka. Sebelumnya, pihaknya masih pernah mendapat bingkisan bila perayaan 17 Agustus. “Itu kita terima sebagai ungkapan penghargaan. Tapi sekarang ungkapan terima kasih kepada pejuang itu tidak lagi ada sekarang,” katanya. ***