Merah Putih Berkibar Capek Terasa Hilang

Thursday, August 21, 2008

DERU suara bising kendaraan bermotor ditambah panas terik matahari, membikin siapapun tidak betah dan nyaman. Apalagi kalau hal itu dirasakan saat menunggu seseorang di perempatan jalan lampu merah. Tapi inilah yang dilakukan oleh Asikin dalam beberapa hari ini di perempatan jalan Simpang Kara, Batam Centre. Pria kelahiran 53 tahun silam ini, bahkan sembilan hari sudah menjajakan dagangannya di sana.
Asikin adalah seorang pedagang musiman. Dan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus, salah satu momentum yang dimanfaatkannya, untuk berjualan tiang dan bendera merah putih. Bahkan jauh-jauh sebelum hari H, Asikin sudah mempersiapkannya. Mulai tiang, bendera, cat serta lainnya.
Kamis (14/8) siang, cuaca begitu panas saat Batam Pos menemui Asikin di lapaknya. Asikin terlihat sedang sibuk mengecat beberapa kayu yang dijadikan tiang bendera. Ia mengecatnya dengan warga kebanggaan Bangsa Indonesia, Merah Putih. Di atas merah di bawa putih. Ia terlihat enjoy, tanpa memedulikan terik matahari yang membuat kulitnya yang hitam bertambah hitam.
’’Mau beli apa, mas,” ujarnya kepada Batam Pos dengan senyuman lalu menghentikan aktivitasnya. Setelah Batam Pos mengenalkan diri, Asikin pun mengerti. Dan ia pun kembali melanjutkan aktivitasnya. Sambil memoles kayu-kayu dengan kuasnya, Asikin pun mulai bercerita.
Asikin mengaku sudah mengecat tiang bendera yang terbuat dari kayu itu sejak pukul 06.00 WIB pagi. Tapi, puluhan tiang masih terlihat belum selesai diwarnai. Selama dua jam pertama Batam Pos bersamanya, tak seorang pun pembeli yang datang. Sungguh berat, di tengah panas terik matahari seperti itu, belum ada pembeli setidaknya penambah semangat.
Menurut Asikin, para penjual bendera ini umumnya dipekerjakan dengan sistem upahan. Asikin mengaku ada empat tempat dan satu di antaranya dijaga oleh anaknya. Selain berjualan bendera, Asikin juga berjualan tiang bendera yang terbuat dari kayu dan bambu. Agustusan kali ini adalah yang ke dua kalinya Asikin berjualan bendera di Simpang Kara, Batam Centre.
Tahun ini dia menjual tiang bendera sebanyak 150 buah dan bendera sekitar 500 buah dengan berbagai jenis ukuran. Tiang dan bendera-bendera tersebut dijual dengan sistem upah. Artinya, Asikin diberi kerja menjaga dagangan, dengan sistem upah Rp500 ribu selama berjualan 10 hari dengan jam kerja 24 jam dalam sehari.
”Rp500 ribu kita sudah terima bersih. Sementara biaya untuk makan, minum dan rokok kita potong dari hasil penjualan,” katanya.
Untuk satu bendera kecil ukuran 8 X 10 sentimeter dijual Rp3.000. Sementara untuk ukuran sedang, Asikin mengaku menjual Rp15.000 dan untuk ukuran yang lebih besar dijual seharga Rp 20.000 per buah. ”Harga sudah ditentukan pemilik barang, jadi saya bagaimana caranya biar cepat laku saja,” ujarnya.
Asikin mengaku sudah tujuh hari jualan serta menginap di tempat itu. Ia juga jarang pulang ke rumah, kecuali untuk salin pakaian. Artinya, tiga kali itu pula ayah empat anak ini mandi. “Kalau sudah terasa gatal baru diganti, ya...tiga hari sekali lah salin,” ujar warga Tembesi Pos ini.
Dalam 10 hari jualan, Asikin mengaku tidurnya tidak teratur. Maklum saat sedang terlelap tidur pun, ada saja pembeli yang datang membangunkannya. Tidak hanya itu, satu peristiwa yang tak pernah dilupakannya. Saat dia sedang tertidur, hujan turun deras. Dia pun buru-buru memindahkan tempat tidurnya ke halte dekat ia berjualan. Tapi karena beratapkan langit, Asikin sempat basah.
”Mengingat kejadian itu memang menyedihkan. Sebab punya rumah kontrakan, tapi harus tidur di emperan,” kenang Asikin yang tidak lulus sekolah dasar.
Ia mengaku mau menjalani profesi itu, karena butuh uang sebagai tanggung jawab pada keluarga. Anak Asikin yang paling kecil duduk di bangku sekolah dasar masih butuh biaya. Ia tidak ingin anak-anaknya bernasib sama seperti dirinya; buta huruf sampai sekarang. “Saya hanya bisa tulis nama saja,” ujar pria kelahiran Dusun Puhun, Cibingbin, Kuningan, Jawa Barat ini.
Menurutnya, penjualan tiang dan bendera tahun ini jauh menurun drastis dibanding tahun 2007. Sebab tiga hari sebelum hari H, bendera sudah banyak yang beli. Bahkan kala itu, ia menambah pesanan bendera sampai tiga kali. ’’Tahun lalu, jam 12 siang kita sudah dapat Rp500 ribu. Sekarang, bapak lihat sendiri, dua jam duduk, hanya satu pembeli,” akunya.
Tahun ini penjualan bendera jauh menurun. Katanya, penurunan itu disebabkan banyak saingan. Ada yang menjual bendera dengan berkeliling menggunakan gerobak dan sepeda motor, ada yang mangkal di pinggir jalan bahkan hingga dijual seperti model asongan di perempatan lampu merah. ”Pedagang yang sama banyak mas, apalagi yang keliling,” kata Asikin dengan dialek Sunda yang kental.
Penurunan omzet penjualan juga terjadi pada tiang bendera. Tahun lalu, pada periode yang sama yakni dua hari sebelum hari H, Asikin bisa menjual tiang bendera sampai 150 buah. Tapi tahun ini menurun, sampai periode yang sama, tiang bendera yang terjual belum ada mencapai 100 batang. ”Mungkin mereka masih simpan yang tahun lalu,” katanya.
Umumnya, pelanggan Asikin adalah warga perumahan, perkantoran, dan perusahaan di sekitar Batam Centre, serta pengendara sepeda motor dan mobil. Meski kurang tidur dan terjadi penurunan penjualan, Asikin tetap terlihat bahagia. ”Prinsipnya saya bekerja itu ikhlas. Selain itu, melihat banyak bendera berkibar seperti ini, rasanya gimana gitu, capeknya terasa hilang dan semangat lagi,” ucap Asikin sambil menunjuk puluhan tiang dan bendera yang disusun rapi di pinggir jalan.
Hasil penjualan perhari setelah dikurangi biaya operasional, kata Asikin langsung dijemput pemilik barang setiap pukul 24.00 WIB. Hasil penjualan tahun 2007 lalu jauh lebih besar. Dan setoran selama 10 hari berjualan kepada pemilik barang mencapai Rp 5 juta. Lantas bagimana dengan tahun ini? suami dari Tarki, 48, ini mengaku pesimis.
”Wah tahun ini barangkali belum tentu dapat segitu, abis tujuh hari kerja ini yang saya setor itu baru sekitar Rp1,6 juta saja,” katanya sehari-hari berprofesi sebagai penjual ice cream keliling ini.***