Operasi Pasien dengan Peralatan Seadanya

Thursday, August 21, 2008

Kisah Srikandi di Medan Perang

Pahitnya perjuangan melawan penjajah ini juga dirasakan oleh Maisaroh (80). Ibu dari 13 anak ini pada perjuangannya memiliki tugas berat sebagai petugas medis. Perjuangan istri dari (alm) RA. Manaf (pangkat terakhir Komandan Korem Bengkulu tahun 1973) tersebut lebih banyak bertugas di Palembang. Sebelumnya Maisaroh memang tinggal di Jambi, karena ikut orang tuanya yang saat itu bertugas sebagai Kepala Kantor Pos. Namun tak lama dari itu, orang tuanya dipindah tugaskan ke Palembang. Dan Maisaroh pun ikut pindah ke Palembang dan langsung masuk akademi keperawatan di Rumah Sakit Benteng Palembang.
Setelah lulus dari sekolahnya, Maisaroh bertugas sebagai mantri mewakili dokter dan langsung membantu mengobati para pejuang yang terluka. Pengalaman pahit mulai dirasakan Maisaroh ketika Jepang masuk Palembang tahun 1942-1944. ”Kami diusir dan harus keluar dari Kota Palembang,” katanya.
Ia mengatakan jumlah mereka yang harus mengungsi mencapai ratusan orang. Saat itu mereka bingung mencari perlindungan. Tujuan satu-satunya adalah hutan. Untuk sampai di hutan, kata Maisaroh mereka harus menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam.
Seingat Misaroh dari ratusan pasien yang mengungsi, hanya sedikit yang selamat. Sebab ditengah jalan, peluru meriam dari kapal-kapal tentara penjajah di sungai Musi terus menghantam. Mayat pun bergelimpangan dan banyak korban yang kehilangan anggota tubuhnya. ”Korban ada yang tangan atau kakinya putus dan lainnya. Saya tidak bisa membayangkan kengerian waktu itu mengoperasi tangan seorang pasien dengan peralatan seadanya,” ujar ibunda dari Danlanal Batam, Letkol Laut Muhammad Faisal ini.
Perjuangan Maisaroh saat itu sangat berat, apalagi hanya dia satu-satunya wanita yang bisa membawa mobil. Sehingga untuk membawa para pasien yang terluka dari lokasi peperangan hingga ke rumah sakit kadang harus dilakukan sendiri. ”Waktu itu hanya saya yang bisa membawa mobil. Maklum waktu itu kami sudah punya mobil,” katanya.
Pengalaman menarik juga yang tak pernah dilupakannya. Yakni pernikahannya dengan almarhum suaminya, RA. Manaf. Menurut Maisaroh, pernikahan mereka tanpa perkenalan dan pacaran. ”Begitu dikenalin bapak hari itu langsung dinikahkan,” katanya. Sedihnya, setelah menikah, Maisaroh harus ditinggalkan oleh suaminya karena harus pergi bertempur. Maisaroh baru bisa ketemu suaminya setelah tiga bulan. ”Itu pun dapat kabarnya sedang sakit, tapi alhamdulillah kami masih sempat menjalani hidup bahagia,” katanya.***