Jalan Panjang Para Penyapu Jalan

Saturday, September 27, 2008

Berkutat dengan pekerjaan tak mengenakkan, berbagai bau busuk serta sampah setiap pagi ditambah dengan upah yang seadanya terpaksa dilakukan Nahwan, demi menopang roda kehidupan. Sekelumit kisah dari penyapu jalan yang mendapatkan sarapan “sampah” setiap paginya.
Siang di bawah terik matahari Batam Pos menemukan wajah lusuhnya. Tubuhnya terlihat masih kuat mulai digerus usia. Tiga puluh dua tahun sudah usia menggerogoti wajah mudanya. Memakan habis ototnya. Membungkukkan tulang punggung dari badan tegarnya.
Nahwan, begitu panggilan akrabnya. Kehidupannya sebagai tukang sapu jalanan di daerah Lippo Bank Nagoya, Pelita hingga Jodoh membuatnya akrab dengan pelbagai kendaraan, yang tentu tak pernah mampu dimilikinya. Sekadar berkhayal punya pun mungkin ia tak sanggup. Berada di dalam mobil hanya beberapa menit untuk mencoba pedal gas mungkin juga terasa aneh baginya.
Sosok pendiam ini capek menjalani rel panjang kehidupannya. Ia bosan pada kemiskinan yang membelit. Namun dia tak sanggup lari dari kemiskinan yang terus saja menguntit perjalanan hidupnya.
Nahwan menjadi penyapu jalan sejak tahun 2005. Saat itu, ia digaji harian sekitar Rp25 ribu per hari. Sekarang, ia sudah mendapatkan gaji bulanan. Besarnya, Rp960 ribu atau sesuai dengan UMK Batam. Uang itu, ia terima dari Dinas Kebersihan Kota Batam. Sudah tiga tahun Nahwan menerima upah dari instansi pemerintah tersebut. Meski tak mencukupi memenuhi kebutuhan keluarganya, Nahwan tetap setia pada pekerjaan itu. Karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya selain itu.
”Yang penting dapat uang buat makan,” ujar ayah dari satu anak ini.
Lelaki kelahiran Purbolinggo, Jawa Tengah ini tinggal di rumah liar (ruli) Seraya Bawah RT05/RW01, Nagoya, Batam. Penyangga rumah Nahwan pun hanya setinggi tanaman jagung. Di tengah bangunan-bangunan tinggi Nahwan hidup serba kekurangan. Potongan-potongan tripleks yang menempel pada setiap kayu penyanggah rapuh itu menjadi saksi tentang pahitnya kehidupannya. Untung saja pemilik lahan belum meributkan soal lahan ini.
”Kalau sampai digusur, entah akan tinggal di mana,” ujarnya.
Rumah seluas 3 x 3 meter itu dihuni bersama adek dari keponakannya. Istrinya, Rosiawaty, 25 tahun, dan anaknya, Rizal, 3 tahun, terpaksa tinggal di kampung karena tak mampu menghidupi ala kadarnya di Batam.
Penghasilannya dari menyapu jalan sampai sekarang adalah yang menjadi sumber kehidupan istri dan anaknya di kampung. Nahwan sering berpikir kenapa kemiskinan tak juga pergi darinya. Dia sedih jika memikirkan itu. Matanya menerawang jauh bersama angin bertiup kencang menjatuhkan daun-daun pepohonan.
Debu-debu jalanan beterbangan melewati bulu-bulu matanya dan melilipkan matanya. Bising knalpot kendaraan semakin akrab menderu-deru. Dalam keramaian, Nahwan menjalani hidupnya dari hari ke hari. Sorot matanya yang tajam mencoba menelisik jauh makna hidup.
Ketegarannya mencoba menghancurkan dinding keangkuhan dan kerasnya hidup. Dengan otot muda yang kian melembek dia ingin mendobrak pintu menuju singgasana megah dan masuk ke dalamnya. Aku di sini, di hadapannya, kian mengerti bongkahan demi bongkahan kesabaran kian luluh.
Rasa sedih selalu menghampirinya, khususnya setiap bulan Ramadan yang sudah tiga kali dilaluinya tanpa keluarga. Sedih, apalagi saat malam takbiran, kangen dengan keluarga dan ingin pulang berkumpul bersama mereka. Tapi niat itu tak kesampaian karena uang tak cukup. Meski bertaut dengan kekurangan dan kemiskinan, Nahwan masih bangga dengan dirinya, karena selama puasa tidak satu hari pun yang bolong.
”Saya sering menangis sendiri. Apalagi, dengar suaranya di telepon yang selalu bilang bapak kapan pulang? Makin sedih, karena dia yang dulu saya tinggal masih usia enam bulan kini sudah bisa bicara. Saat itu saya hanya membesarkan hati mengatakan inilah hidup,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Tiga tahun tahun terakhir, Nahwan selalu melayani hidupnya di rumah sendiri. Mulai memasak, mencuci, memikul belasan ember air dari sumur untuk digunakan sore hingga malam. Semua dikerjakan olehnya subuh-subuh sebelum pergi bekerja. Saat pagi baru merekah itulah, Nahwan meninggalkan rumahnya. Berbekal sapu bergagang panjang di bahu, sekop dan plastik di tangan, ia berangkat ke simpang Lippo Bank Nagoya untuk menyapu jalan.
Kesenangan sesaat bisa mereka rasakan pada subuh hari tersebut ketika berjalan rame-rame bersama 20 penyapu jalan lainnya yang tinggal berkedakatan di ruli Seraya. Setelah itu rasa sedih itu akan kembali menggelayut di pikiran mereka.
Penghasilan bekerja dari pukul 05-00 hingga 10.00 WIB bagi Nahwan tidaklah cukup dengan kehidupan yang serba mahal di Batam. Nahwan pun mencari penghasilan sampingan dengan cara mengumpulkan barang bekas. Usai pulang menyapu jalan, ia mengumpulkan kaleng-kaleng dan karton-karton bekas untuk dijual kembali kepada pengumpul. Ia mendapat penghasilan dari sekitar Rp 20 ribu per hari. Bahkan, di hari libur pun ia tetap bekerja.
Hari itu juga, sebuah kaleng bekas ia masukkan ke kantong baju seragam kerjanya. ”Kaleng-kaleng ini saya jual untuk menambah penghasilan. Tapi di bulan puasa ini saya jarang turun, fisik tidak kuat,” ujarnya sembari menunjukkan kaleng minuman kaleng tersebut.
Meski bekerja keras, namun Nahwan mengakui kalau ia masih sering menjadi langganan mengutang kepada rekan-rekan sekerjanya jika ingin mengirimkan uang ke kampung. ”Kami selalu giliran mengutang sesama teman kalau mau mengirim ke kampung. Itupun bisanya Rp 500 ribu. Tapi di bulan Ramadan ini rasanya sulit, tapi harus, kasihan si kecil jadi harus di bela-belain,” ungkapnya.
Harapan satu-satunya dia ingin bisa pulang kampung tapi rencana itu belum bisa diwujudkannya tahun ini. ”Tapi kalau anak sudah mau masuk sekolah, saya pasti pulang,” ujarnya.
Ia juga berharap kepada pemerintah agar memperhatikan nasib mereka. Setidaknya upah pekerja kasar bisa sama dengan kebutuhan hidup layak (KHL). Sehingga di tahun-tahun berikutnya mereka bisa menabung untuk ongkos pulang ke kampung.
Dengan UMK sekarang, Nahwan mengaku hanya bisa makan ala kadarnya. Hari-hari ia lalui dengan makan dengan lauk tahu dan sayur toge. ”Beli Rp 5 ribu sudah bisa bertahan sampai setengah bulan. Kalau bosan, tinggal petik daun singkong di tengah jalan begitulah setiap hari,” ujarnya. Tiga tahun sudah Nahwan berkutat dengan derita, debu, dan sampah. Jalan-jalan juga semakin panjang. Tugas mereka pun semakin bertambah. ”Awal-awalnya sih capek. Tapi sekarang sudah terbiasa,” katanya.
Nahwan mengaku dia ke Batam sudah sejak tahun 1995. Setibanya di kota industri ini menjadi buruh bangunan. Ia hanya bertahan enam bulan dengan pekerjaan keras itu. Kemudian ia beralih profesi bekerja di penginapan Gajah Mada dan berpindah lagi ke Karaoke Mutiara sebagai tukang parkir. Begitulah kehidupan Nahwan saat itu, bekerja serabutan, yang penting bisa makan.
Waktu tak juga mengubah nasibnya, profesi sebagai buruh bangunan pun ia geluti selama tiga tahun. ”Ruko di Tembesi sebagian adalah hasil kerja saya,” ujarnya tersenyum. Kerinduannya pada kampung halaman membuatnya pulang tahun 1998. Kapal Pelni bernama Rinjani adalah satu-satunya alat tranportasi paling murah saat itu ke Jakarta. Itupun harus berangkat dari Tanjungpinang dengan ongkos Rp 60 ribu sampai di Jakarta dan diteruskan naik bus ke kampung halamannya di Purbolinggo.
Di tahun yang sama Nahwan pun kembali lagi ke Batam. Pekerjaannya juga serabutan selama tiga tahun tapi tak jauh dari buruh bangunan dan tukang sapu. Karena kesusahan terus membelitnya, tahun 2001 ia pun hijrah ke Jakarta. Disana juga dia tak lepas dari kerja kasar, sebagai tukang las. Tak lama dia disana dia pun pulang kampung dan menikahi seorang gadis bernama Rosiawaty. Enam bulan setelah kelahiran Rizal anaknya, akhir tahun 2005 Nahwan pun memutuskan meninggalkan istri dan anaknya ke Batam hingga sekarang. Di kota metropolis ini Nahwan terus mengadu nasib dan berharap ada perubahan.
Mulyadi, penyapu jalan lainnya hanya berharap pemerintah yang paling berharga ke depannya adalah dengan meningkatkan penghasilan mereka sama dengan kebutuhan hidup layak di Batam. Dia mengakui upah yang mereka terima sekarang belum juga layak. Bahkan warga rumah liar Pasir Indah Batuaji ini yang baru pulang dari kantor Dinas Kebersihan Kota Batam mengaku baru mengajukan permohonan pinjaman. ”Saya tak punya uang, jadi pinjam ke koperasi,” katanya.
Pinjaman yang dia ajukan ke koperasi Dinas Pasar itu dinilai cukup besar. Itupun tidak utuh diterima karena dipotong biaya administrasi. Bahkan temannya sampai terkaget-kaget ketika Mulyadi menyebut nominalnya sebesar Rp 2 juta. Setiap bulan, Mulyadi harus mengembalikan dengan sistem mencicil sebesar Rp 550 ribu. ”Uang nanti mau saya kirim buat keluarga di kampung,” ujarnya.
Mulyadi yang asal Semarang ini sudah bertugas selama 18 tahun. Sudah lima tahun dia tak pernah pulang ke Semarang. Sehari-hari dia mendapat tugas menyapu sampah dari simpang Barelang hingga markas Brimob. Dia hanya berharap perhatian pemerintah dapat meningkat untuk mereka. Memang dari tahun ke tahun, gaji mereka naik sesuai dengan pergerakan UMK. Ada saat-saat mereka mendapatkan bonus, seperti saat Batam meraih Adipura tahun lalu. Nahwan dan Mulyadi bersama 410 petugas lainnya mendapatkan bunus Rp 200 ribu dari Pemko Batam. ”Wali Kota juga memberi bantuan hanya belum kami terima. Kalau mau puasa, kami juga dapat beras dan sembako. Kami juga dapat THR. Ini adalah bentuk perhatian dan kami sangat menghargainya,” katanya. ***





Dua kali sudah kota Batam menyandang gelar kota terbersih. Dan dua kali itu juga kota industri ini mendapat penghargaan. Semua itu tidak terlepas dari kegigihan dan tanggung jawab para penyapu jalanan. Begitulah Wakil Wali Kota Ria Saptarika menyanjung para penyapu jalan. Masih segar diingatan, kegembiraan jelas terpancar dari wajah ratusan penyapu jalan, ketika Piala Adipura diarak Juli 2008 lalu. Para penyapu jalan secara beramai-ramai mengarak Piala Adipura berkeliling Kota Batam.
Termasuk Nahwan mengaku ikut dalam arak-arakan itu. ”Itu kebanggaan yang tak terhingga nilainya dari hasil kerjanya selama tiga tahun,” katanya.
Bahkan setibanya di Kantor Wali Kota, para penyapu jalan bersorak-sorai sambil mengangkat Piala Adipura. Begitu juga dengan Wakil Wali Kota Batam, Ria Saptarika. Ria mengatakan, Piala Adipura itu harus terus dipertahankan. ”Kita bangga karena kinerja penyapu jalan, penggali parit dan drainase, membuahkan hasil. Kerja keras semuanya membuat Batam mendapat Piala Adipura. Saya berterimakasih kepada pahlawan kebersihan ini,” kata Ria.
Saat itu juga, Pemko Batam memberi penghargaan kepada lima orang mewakili pengangkut sampah, penyapu jalan, pengelola sampah, dan petugas dari Puskesmas. Mereka dianggap berjasa untuk kebersihan Batam.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Batam, Azwan dengan bangga mengatakan, Batam menempati peringkat kedua setelah Pekanbaru. Tim Adipura memberi nilai 74,77 Pekanbaru, Batam 73,07, dan Padang diposisi ketiga dengan poin 73,01. Bahkan sebagai bentuk perhatian pemerintah pada nasib penyapu jalan dengan mengasuransikannya. Ada dua jenis asuransi, yakni jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua. ”Semua petugas kebersihan kita masukkan asuransi, agar nasib mereka bisa lebih terjamin,” paparnya. *** Read More.. Read more!

Membidik Potensi Zakat dengan Program

Roadshow dialog Batam Forum Batam Pos terus berlanjut. Pekan lalu tepatnya, Kamis (18/9) lalu, bertatap muka dengan pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya Batam (MRB).
Dari hasil dialog ini diketahui masih banyak masyarakat yang belum menyalurkan zakatnya. Untuk itu pengurus LAZ MRB pun melakukan berbagai hal-hal yang kreatif mengajak masyarakat untuk berzakat.
Inovasi pengembangan zakat tidak lagi menjadi dominasi LAZ di ibu kota. Berbagai daerah juga sudah melakukannya. Tujuannya adalah mendorong perkembangan zakat sehingga bisa diharapkan bisa mengentaskan kemiskinan. Salah satu LAZ yang melakukan inovasi pengembangan produk adalah Masjid Raya Batam (MRB).
Bagi lembaga aksi sosial ini, inovasi pengembangan penting dilakukan. Hal itu karena pengembangan zakat sama dengan pengembangan berbagai sektor lain. Tanpa inovasi, zakat memang tetap berkembang, tapi tidak pesat. Karena itu, inovasi perlu digalakkan bagi seluruh lembaga amil. Dengan demikian, zakat di Indonesia bisa tumbuh dan berkembang secara pesat.
Menurut Wakil Direktur Opersional LAZ MRB, Syarifuddin ST salah satu inovasi pengembangan zakat adalah dengan menerapkan orang tua asuh by request sebagai penyaluran zakat yang disampaikan oleh masyakat. Produk ini menjadi unggulan dari 10 program LAZ MRB. ”Sampai saat ini jumlah anak asuh yang sudah tersantuni melalui program ini adalah 320 (dhuafa) mulai dari tingkat SD hingga SMA,” tutur Syarifuddin.
Program orang tua asuh ini sengaja dikembangkan untuk memudahkan masyarakat lebih percaya akan penyaluran zakatnya kepada yang bermanfaat. Program ini sendiri melibatkan para muzakki dengan cara bisa me-request, memilih, memesan anak yang diinginkan sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga anak asuh tersebut.
Sebelum memilih LAZ MRB akan menyerahkan daftar list anak asuh kepada orangtua asuh untuk dipilih sesuai keinginan. Orang tua asuh cukup memberikan santunan tunai kepada siswa senilai Rp100 ribu perbulannya. Dan santunan ini langsung diterima oleh (orangtua) siswa sendiri.
”Program ini sudah jadi solusi bagi para dhuafa yang kesulitan pada biaya pendidikan anaknya. Dengan santunan itu, mereka sudah bisa membeli kebutuhan bersekolah,” papar Syarifuddin.
Disamping itu, lanjutnya, dari Rp100 ribu yang diterima (orangtua) siswa langsung dipotong Rp5 ribu untuk bimbingan belajar anak dan Rp 10 ribu untuk tabungan. ”Setiap tabungan dapat diambil akhir tahun,” tuturnya.
Dalam pengelolaan zakat ini, kata Syarifuddin LAZ MRB sangat tegas. Misalnya jika (orangtua) siswa penerima santunan tidak membayarkan uang sekolahnya, maka LAZ MRB akan langsung menghentikan santunannya. ”Karena itu kita selalu cek kepada kepala sekolah anak penerima santunan, jadi tidak main-main,” katanya.
Para orang tua asuh juga dapat mengetahui perkembangan akademik anak asuhnya dengan menerima foto copy rapor atau nilai evaluasi semester dari sekolah yang dikirimkan oleh LAZ. Setiap orang tua asuh pada program ini punya keterikatan kontrak selama satu tahun dengan mengisi lembar kesediaan menjadi orang tua asuh.
Selama satu tahun berjalan anak asuh pada umumnya meraih rangking di sekolah dan mendapat beasiswa dari Takaful.
Tidak hanya itu, anak-anak asuh ini juga dituntun sampai mendapat pekerjaan. ”Kami yakin program ini akan mendapat respons positif dari masyarakat. Mereka akan terdorong untuk terus beribadah setelah melihat keberhasilan daripada program ini,” katanya.
Dalam penyaluran zakat kata Syarifuddin, LAZ MRB tidak menemuni kendala yang berarti. ”Kendalanya hanya pada pengumpulan zakat. Sebab itu, kita selalu terus sosialisasi kepada masyarakat agar menyampaikan zakatnya. Khususnya karyawan perusahaan agar salurkan zakat profesinya,” tambahnya.
Mengingat masih banyak yang belum menyalurkan zakat, Syarifuddin menyampaikan ada empat cara mudah dalam berzakat melalui LAZ MRB. Yakni kolektif di perusahaan, tunai di kantor LAZ MRB, transfer via rekening dan layanan jemput zakat (lezat). Sedangkan untuk program zakat fitrah LAZ MRB tidak ada karena sifatnya langsung dibagikan karena untuk memberi makan. ”Kami ingin memudahkan masyarakat menyalurkan zakatnya,” ucapnya. *** Read More.. Read more!

LAZ Juga Ingin Berbuat

Adanya kebijakan pemerintah pusat meleburkan LAZ ke Badan Amil Zakat (BAZ) beberapa waktu lalu mendapat penolakan dari pihak LAZ. Pihak LAZ berasalan bahwa LAZ juga ingin berbuat untuk masyarakat. Apalagi tidak ada salahnya melepas LAZ sendiri menjalankan programnya. Karena pada intinya LAZ sudah berjalan dengan baik.
Bahkan seluruh program LAZ yang dijalankannya juga membuahkan hasil yang positif. Lagipula kata Syarifuddin, apakah BAZ sanggup menjalankan program tersebut. ”Kita (LAZ) juga ingin berbuat. Semestinya pemerintah harus memberikan dukungan agar LAZ semakin maju, bukan meleburnya,” tuturnya sembari mengatakan bahwa LAZ Batam sudah berjalan dengan baik sejak berdiri tiga tahun lalu.
Buktinya, dari Rp 85 juta yang diterima LAZ MRB setiap bulannya langsung disalurkan pada sembilan program lainnya yang produktif. Yakni program beasiswa, produktif mandiri, sehat dhuafa, santunan nafagah, aksi tanggap arurat (ATD), bimbingan muallaf, tenaga da’i/da’iah, asrama hinterland, dan layanan jenazah gratis. Dua program tambahannya adalah khitanan anak sholeh (khas), qurban by request.
Paling menarik adalah program asrama hinterland. Saat ini LAZ MRB sudah punya dua asrama untuk anak-anak hinterland yang bersekolah di kota Batam. Masing-masing untuk siswa SMA Negeri 1 Batam dari hinterland berlokasi di rumah susun (rusun) Sekupang dan untuk anak SMA Negeri 5 Batuaji di Kavling Lama Batuaji. Setiap asrama diawasi oleh guru dari masing-masing sekolah yang juga tinggal bersama mereka.
Sementara penyaluran zakat untuk program beasiswa disalurkan dengan cara membayar biaya sekolah anak-anak yang berhak menerimanya. Dan setiap pembayaran uang sekolah itu langsung disampaikan LAZ MRB langsung kepada pihak kepala sekolah.
Dana paling besar penyalurannya adalah untuk program mobil jenazah. Dalam satu bulan itu, kata Syarifuddin, mobil jenazah layanan gratis ini telah mengantar sebanyak 85 jenazah dari berbagai agama ke TPU. Sejak diluncurkan Januari 2008 lalu, dana operasional yang telah dikeluarkan sudah mencapai Rp 20 juta. ”Pengeluaran rata-rata perbulan antara Rp2-3 juta,” katanya.
LAZ MRB juga memberikan modal kepada kaum dhuafa untuk membuka usaha kecil-kecilan. Dengan dana sebesar Rp1,5 juta yang diterima diharapkan kaum dhuafa yang menerima modal ini bisa melanjutkan hidupnya. Untuk modal sekecil itu, kata Syarifuddin, biasanya digunakan untuk membuka usaha gorengan.
Dalam program ini, pihak LAZ juga tidak pernah membiarkan dhuafa hanya menerima modal begitu saja. Sebelum diterima, dhuafa diberi pelatihan dengan mendatangkan ahli dalam bidang usaha dan ekonomi.
Pada intinya LAZ MRB ingin usaha yang dijalankan dhuafa harus produktif. ”Kita bersyukur tingkat keberhasilan rata-rata 75 persen,” tukasnya. Read More.. Read more!

Target di Ramadan Rp2 Miliar

Dengan tema “Hidup Gemilang Zakat” di tahun 2008 ini, LAZ MRB menargetkan penerimaan zakat di bulan Ramadan in sekitar Rp 2 miliar. Sampai sekarang yang terkumpul baru sekitar ratusan juta. “Tapi kita optimis bisa mencapai target tersebut saat puncak Ramadan nanti,” tuturnya.
Dalam tiga tahun LAZ MRB hingga kini telah membukukan penerimaan dana sebesar Rp 2.071.616.833. Rinciannya di tahun 2005 berhasil terkumpul Rp 359.995.689, di tahun 2006 berhasil terkumpul Rp 547.830.649, dan di tahun 2007 berhasil terkumpul Rp 1,163.790.495.
”Tidak hanya sederetan angka. Tapi itu sudah menjadi bukti peningkatan 112,3 persen dari penerimaan tahun sebelumnya. Tapi kami menyadari bahwa apa yang kami lakukan masih jauh dari harapan kita semua,” kata Direktur LAZ MRB Kiagus Rozali.
Terutama lanjutnya, dalam hal penerimaan dana zakat yang masih jauh dari potensi yang ada di Batam.
Kisaran potensi zakat yang ada di Batam sendiri sesungguhnya bisa mencapai sekitar Rp 30 miliar per tahun. Namun kenyataannya baru sekitar Rp 10 miliar saja pertahun.
Beberapa cara telah dilakukan LAZ MRB mencapai target itu. Yakni dengan sosialisasi ke instansi pemerintah, perusahaan, melalui iklan di media massa, media elektronik, spanduk, brosur, leaflet, sampai pada pembukaan konter-konter di mall pada bulan suci Ramadan ini.
”Kita juga sudah salurkan dalam berbagai bentuk kemasan yang benar-benar produktif disebut diatas tadi. Dari pengalaman ini juga kita untuk bekerja lebih ekstra meningkatkan sosialiasi, pelayanan, serta kreatifitas layanan kepada muzakki dan mustahik,” tutur Kiagus. Read More.. Read more!

Palang Merah Indonesia Batam Kini Berbenah Diri

Saturday, September 13, 2008

Setelah menggelar dialog dengan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di Sagulung, Batam Forum Batam Pos meneruskan roadshow dialognya, Kamis (11/9) dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Kota Batam. Banyak hal menarik yang perlu diketahui dari organisasi (PMI Batam) yang dirintis Mayjen (Purn) Soedarsono Darmosuwito (alm) tahun 1990 itu.
Selama 17 tahun mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat di pulau Batam, PMI Batam telah banyak melakukan kegiatan kemanusiaan. Namun di usianya tersebut, PMI Batam menyadari masih merasa kurang akan pelayanan terhadap masyarakat.
“Keterlambatan mendapatkan informasi dan pemberian bantuan untuk korban bencana, membuat kami merasa kecil. Karena itu, kami akan selalu evaluasi diri dan akan berperan aktif menjadi lebih baik,” ujar Ketua PMI Cabang Batam, Sri Sudarsono dalam dialog Batam Forum Batam Pos, Kamis (11/9). Hadir dalam dialog itu adalah Kepala Unit Transfusi Darah Cabang Dr Trihalati Machdar. Tato Wahyu Wakil Ketua PMI, dan Herry Sekretaris Cabang dan beberapa pegawai PMI Cabang Batam.
Dokter Trihalati Machdar menambahkan partisipasi masyarakat masih tergolong rendah dalam mendonorkan darah. Hal itu bisa dilihat kebanyakan dari pendonor rutin. Misalnya, dari anggota Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) Batam.
Sekarang ini PMI masih mengharapkan PDDI, jika mereka kehabisan stok di bank darah. “Kalau stok PMI kurang, kita langsung menghubungi PDDI. Biasanya PDDI langsung menurunkan anggotanya mendonorkan darah,” kata Dr yang akrab dipanggil dokter Ati ini.
Di Batam kata dokter Ati, permintaan pasien akan darah tergolong cukup tinggi. Dalam sebulan PMI selalu mendistribusikan darah kepada pasien (masyarakat) yang membutuhkan hingga 600 kantong.
Sehingga jarang darah yang bertahan selama 35 hari itu sampai terbuang. Ternyata dari 600 kantong tersebut yang paling banyak membutuhkan adalah ibu yang sedang melahirkan (pendarahan), penyakit lain dan terakhir adalah kecelakaan lalu lintas.
“Tapi sejauh ini antara supplies dengan demand terhadap darah masih terbilang seimbang,” ungkapnya.
Kecuali di bulan ramadan ini, semestinya kegiatan donor menjadi bulan berkah. Namun tidak bagi pasien yang membutuhkan darah. Justru di bulan yang suci ini persediaan darah di PMI sedang menipis. Banyak pendonor menunda melakukan donor di bulan puasa ini. Kecuali beberapa hari ini dari warga Tionghoa yang mau mendonorkan darah secara perorangan.
Selama ramadan, orang yang mau mendonorkan darahnya tidak banyak. Jumlahnya baru empat orang saja. Angka ini jauh berbeda dengan angka di hari-hari biasa. “Sekarang ini (bulan puasa) pendonor agak berkurang, karena banyak yang kuatir dengan kondisi tubuhnya. Padahal sebenarnya sih tidak masalah,” ungkap dokter yang juga bertugas di RS Otorita Batam ini.
Meski sudah lama berdiri di Kota Batam, namun eksistensi PMI di masyarakat masih kerap dipertanyakan. Perta­nyaan yang muncul, antara lain; Apakah PMI menjual darah? Kenapa ada pu­ngutan PMI? Terkait hal ini memang tidak dipungkiri oleh dokter Ati.
Namun, semua itu PMI lakukan bukan untuk mencari keuntungan. Melainkan demi melancarkan kinerja PMI agar bisa berperan dan bermanfaat di tengah-tengah masyarakat. Sebab, sampai saat ini partisipasi pemerintah daerah (Pemda) mendukung pendanaan untuk
PMI juga sama sekali tidak pernah ada.
Meski tidak ada anggaran dari APBD yang dialokasikan kepada PMI, tetapi mau tidak mau, PMI tetap menjalankan misinya; kemanusiaan. Misalnya, saat pasien miskin tidak mampu membayar sepenuhnya, PMI tetap saja menolong memberikan darah yang dibutuhkan.
Namun PMI tidak mau mendidik masyarakat menghilangkan rasa tanggungjawabnya. Untuk itu PMI tidak memberikan darah yang dibutuhkan pasien secara cuma-cuma. “Paling tidak pasien bayar seadanya,” ungkap dokter Ati. Masyarakat masih banyak yang tidak mengerti mengapa PMI melakukan itu.
Perlu diketahui lanjut dokter Ati, setiap kantong darah membutuhkan biaya. Mulai membeli kantong darah yang harganya Rp 40 ribu perkantong. Kemudian membeli ekstra puding seperti telur, kacang hijau dan lainya sebagai pengembalian gizi kepada pendonor.
Selain itu juga butuh biaya pemeriksaan darah pendonor apakah mengidap penyakit seperti HIV, diabetes, dan penyakit lainnya.Semuanya harus diperiksa sebelum darah didonorkan kepada orang lain. “Berprasangka boleh saja tapi menurut
saya mungkin mereka belum mengerti,” katanya.
Bahkan untuk menutupi biaya keluar sekecil mungkin terpaksa harus diupayakan PMI dengan berbagai cara. Salah satunya melakukan kerjasama dengan orang-orang yang melakukan bakti sosial. Misalkan jika perusahaan si A melakukan bakti sosial, PMI meminta perusahaan itu menyediakan makanan pengganti gizi untuk si pendonor. “Ini kami lakukan agar tetap exist membantu masyarakat,” ujarnya.

Memang kata dokter Ati, dulu PMI disubsidi dari Departemen Kesehatan (Depkes). Harga kantong dari Rp 40 ribu perkantong setelah disubsidi menjadi seharga Rp 23.000. Sedangkan untuk satu kantong darah dihargai Rp 150 ribu. Namun begitu subsidi itu dicabut yang beralaskan otonomi daerah menyebabkan harga daerah perkantong menjadi Rp 268.000 perkantong.*** Read More.. Read more!

PMI Disubsidi Dana Pribadi

Dalam usianya yang telah memasuki 17 tahun, PMI Batam memang mengalami ke­maju­an. Salah satunya dari kantor yang dulu menumpang di RS Budi Kemuliaan (RSBK), kini sudah memiliki kantor menetap di Jl Imam Bonjol Komplek Sakura Anpan A-1 Nagoya, Batam.
Mereka sudah menempati dua tahun gedung tersebut. Dari gedung itu, PMI Batam melakukan berbagai kegiatan. Antara lain penanggulangan bencana alam/konflik di saat Tsunami di Aceh dan pengiriman bantuan gempa di Yogjakarta.
Selanjutnya pelayanan sosial dan kesehatan masyarakat, pelayanan transfusi, program palang merah remaja (PMR), program korps sukarela (KSR) dan Tenaga sukarela (TSR), promosi dan publikasi.
Tidak hanya itu, PMI Batam juga memberikan pelatihan pertolongan pertama di perusahaan-perusahaan di Batam. “Ada 15 perusahaan yang karyawannya sudah kita berikan pelatihan ini,” tutur Ketua PMI Cabang Batam, Sri Sudarsono dalam dialog Batam Forum Batam Pos, Kamis (11/9).
Dalam menjalankan semua program kegiatan mulia tersebut, PMI tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah daerah. Bahkan setelah subsidi di stop oleh PMI pusat, PMI Batam hanya mendapat bantuan dana sebesar Rp 5 juta dari kotak amal.
Melihat opersional PMI yang sangat besar, ini jelas sangat kurang. Tapi setidaknya bantuan itu sudah membantu meringankan membayar 15 orang pegawai di PMI. Pihaknya juga sudah sering menyampaikan agar pemda setempat baik pemerintah provinsi maupun kota Batam bisa membantu.
Namun sampai sekarang hal itu belum juga membuahkan hasil. “Gedung palang merah yang dijanjikan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah sampai sekarang belum juga terealisasi,” kata Sri.
Sementara di Tanjungpiang, PMI Provinsi yang belakangan terbentuk sudah mendapat perhatian pemerintah provinsi. Anggaran pembangunan gedungnya juga sudah dialokasikan.
Bagaimana dari Pemko Batam? Spontan Sri Sudarsono mengatakan,” Jangan ngomong Pemko-lah, capek. Mestinya peranan palang merah bisa dihargai. “Kita sudah terbukti saat tsunami di Aceh. Setidaknya peran kita dihargai,” ucapnya.
Kepedulian pemerintah pada PMI baru terlihat di Bengkalis dan Pekanbaru. Hanya saja PMI daerah tersebut kurang maksimal dalam bekerja. Sehingga dana yang dialokasikan pemerintah dari APBD untuk PMI meereka harus dikembalikan lagi ke kas negara.
“Tapi di Batam hal seperti ini belum ada. Padahal dari segi anggaran Batam sangat mampu,” katanya. Dari segi bantuan pendanaan bulan dana juga kurang mendapat renspon dari masyarakat dan pemerintah.
Padahal bulan dana yang sekali dalam setahun ini semestinya pemerintah bisa memotong Rp 1000 dari gaji pegawai untuk program kemanusiaan. “Saya pikir tidak berat, dan hal ini juga pernah satu kali dilakukan di Batam dan berhasil, tapi sekarang tidak ada lagi,” katanya.
Sri juga berencana membangun kantor PMI yang bertaraf internasional yang bernilai Rp 9 miliar. Ia mengatakan PMI Batam harus mampu berbuat di tingkat yang lebih tinggi. Read More.. Read more!

Cintai Fakir Miskin, Santuni Anak Yatim

Berbagi Bersama di Bulan Ramadan

Udara panas terasa semakin menusuk seiring siang yang merayap perlahan. Matahari seperti berada diatas kepala. Sepeda motor yang kutumpangi berjalan pelan, begitu mendekati sebuah rumah berkontruksi batu permanen. Rumah yang berlokasi di jalan Ranai no 45, Bengkong Polisi itu berdesain sederhana.

Bangunan yang berdiri di seberang jalan sebuah mesjid itu agak mencolok dibanding bangunan lain di sekitarnya. Warna dindingnya hijau muda, dua lantai. Ukuran bangunan memang tidak begitu luas dibanding bangunan yang tampak berderet dan berjejal di sana.

Papan nama dengan panjang sekitar 30 centimeter membuatnya tidak menarik perhatian. "Panti asuhan Assakinah" begitu bunyi tulisan utama pada papan yang berdiri di samping rumah. Ya, itulah panti asuhan Assakinah yang didirikan dan dikelola oleh Hj Suahida Hajar bersama keluarganya.

Disanalah anak-anak dengan beragam latar belakang orangtuanya meninggal ditampung. Siang itu, sayup-sayup terdengar suara anak-anak sedang yasinan. Tak lama kemudian mereka terhenti.

"Kita baru saja selesai yasinan (berdoa) untuk orang-orang yang meminta didoakan," ungkap Egi dan Syahrial, anak panti di rumah itu. Ya, Egi dan Syahrial adalah dua orang di antara 24 anak yatim piatu yang dititip ibunya di panti asuhan itu.

Syahrial (10) mengaku tak ingat sudah berapa lama tinggal di rumah itu. Sebab, Syahrial telah dibina di sekolahkan dan ditampung di panti asuhan tersebut sejak kecil. "Bapaknya meninggal dalam kejadian kebakaran beberapa waktu lalu," singkat bunda Suhaida tanpa merinci kejadian itu.

Bunda Suhaida tidak ingin Syahrial mengenang masa pahit itu kembali. Apalagi di saat bulan ramadan seperti ini. Karena ibunya tidak mampu untuk membiayai akhirnya Syahrial dititipkan ke bunda.

Kini Syahrial sudah punya kehidupan baru. Dia sudah memiliki teman baru di Assakinah. Seperti Egi, Rehan, dan Doni yang sudah kelas tiga. Masing-masing Bunda sekolahkan. Agar tidak lagi seperti orang-orang terlantar yang kebanyakan membuang waktunya di jalan. Dia sudah punya harapan dan masa depan baru.

Syahrial juga mengaku jarang pulang ke rumah ibunya di Tanjunguma. Pulang pada saat-saat tertentu saja. Seperti lebaran dan hari besar lainnya. Ia mengaku lebih betah di Assakinah. Lebih nyaman, damai, banyak teman, dan lainnya. Tidak seperti saat ikut ibunya, yang bekerja sibuk mencari penghidupan sebagai pengupas bawang.

"Saya jarang pulang, saya lebih betah disini," ujar Syahrial yang pintar silat ini sembari tertunduk malu-malu.

Begitu juga dengan Nagawa alias Bintang Paris (10). Anak dari keturunan WN Jepang dari Medan ini juga merasa betah tinggal di Assakinah bersama teman-teman seusianya. "Rumah ibu dekat sini, tapi saya jarang ke rumah ibu," jawabnya.

Sama halnya dengan Doni, Egi, Rehan, Agus, Nurlina, dan lainnya. "Di sini semua ditanggung bunda, kita tinggal belajar," tambah Doni yang ditampung sejak usia empat tahun. Selain sekolah dasar, putra maupun putri lainnya adalah pelajar setingkat SLTP dan SMA. Angkatan kedua ini berharap bisa kelak seperti 17 orang seniornya yang telah bisa mandiri.

Di panti asuhan yang didirikan Suhaida tahun 1998, keluarganya harus berjibaku menghidupi anak-anak ini mulai dari makan, pendidikan hingga bisa mandiri. Di bulan ramadan ini, kata Suhaida, berkah yang mereka dapat memang bertambah.

"Banyak masyarakat minta didoakan. Mereka merasa doa anak yatim lebih tulus, dan ini berkah bagi anak yatim," sambung Suhaida Hajar, 49, yang akrab dipanggil bunda di panti asuhan itu.

Tapi paling banyak justru dari luar non muslim. Ini patut disyukuri, kecintaan sesama umat beragama sudah terasa. Di bulan ramadan ini, Suhaida yang juga sering Tausiyah ke mesjid-mesjid ini mengajak umat islam untuk mencintai fakir miskin.

Bulan ramadan, katanya, juga menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan ketakwaan dan mempertebal keimanan kepada Allah SWT. "Kita tingkatkan usaha untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT. Cintailah fakir miskin dan santuni anak yatim. Niscaya Allah akan memberikan lebih dari yang diminta," ungkap istri Umar Harun Siregar (53) ini .

Mengenang kembali, tak jarang Suhaida harus marah dan mendidik anak-anak lebih displin. Maklum katanya, kebanyakan dari mereka anak-anak putus sekolah dan terlantar di jalanan. Awalnya memang berat. Tapi berkat didikan displin tadi, dari kehidupan yang keras telah kembali ke kehidupannya.

"Saya sangat berterima kasih kepada Amy dan keluargaku yang mengurus mulai makan, pakaian hingga mendidik mereka di rumah. Termasuk guru-guru yang saya datangkan
mengajari mereka di rumah," tukasnya.

Sepulang dari sekolah, masing-masing anak mendapat kegiatan ekstrakurikuler. Mulai dari bola kaki, renang, latihan rebana, puisi dan lainnya. Namun yang rutin adalah setelah shalat Szuhur, anak-anak harus yasinan. Kemudian ada yang tidur siang, mengerjakan PR sekolah dan lainnya.

"Saya tidak ingin dunia lain lebih dahulu yang mengambil jalan hidup mereka. Sebelum diambil, lebih baik saya mengambil mereka lebih awal dan mendidiknya di jalan yang baik," tutur ibu dari empat anak yakni Mofirah S, Akmalia S, Sidiq S dan Habibie Siregar ini.

Sampai saat ini, kebutuhan anak panti masih dari orang-orang yang mau menderma, donatur, dan pemerintah. Baru-baru ini Dinsos Pemprov Kepri juga baru memberikan bantuan untuk belanja untuk 20 orang anak panti asuhan.

Tak jarang mereka kekurangan dana untuk menutupi biaya. Dan kekurangan biasanya ditutupi dari penghasilan bunda Suhaida sebagai berjualan baju-baju muslim dan jualan nasi. Untuk makan memang tidak pernah putus. Biaya sekolah memang diskon 25 persen. Tapi masih terasa berat dengan buku-bukunya.

"Saya mengakalinya dengan mengasuransikan masing-masing anak pada pendidikan. Sehingga bila jatuh tempo bisa membantu biaya sekolahnya," paparnya. Berkah (amplop) di ramadan juga mereka tabung dan jika perlu bisa diambil setiap saat. *** Read More.. Read more!

Jadi Polwan Panggilan Profesi

Suasana Polsek Batam Centre, Kamis (4/9) lalu terlihat sepi. Tiga orang polisi yang bertugas di meja sentra pelayanan kemasyarakatan (SPK) tidak begitu sibuk. Maklum, siang itu, tak seorang pun masyarakat yang datang melapor atau meminta pelayanan. Ruangan penyidik juga tidak menunjukkan ada kesibukan yang begitu tinggi. Yang terlihat seorang gadis sedang memberikan arahan kepada beberapa penyidik.
Belakangan diketahui gadis itu adalah seorang polisi wanita (polwan). Siapa menyangka kalau gadis satu ini adalah salah satu pemimpin di kantor itu. Dia adalah Inspektur Dua (Ipda) Miharni Hanafi Kepala Unit Reserse Kriminal di Polsek Batam Centre. Usai memberikan arahan, dara manis kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan ini pun beranjak menuju ruangannya.
Batam Pos yang telah menunggunya untuk sesi wawancara, sekalian diajaknya masuk. Beberapa berkas dan map terletak menumpuk di atas mejanya. Sebelum memasuki sesi wawancara, dara yang satu ini dengan lugas meminta agar wawancaranya sambil mengerjakan berkas-berkas perkara yang harus ditandatangani dan diperiksa olehnya.
”Saya sambil periksa berkas ya,” ujarnya. Saat memeriksa berkas-berkas, ponselnya cukup sering berbunyi. Dan sesekali ia juga menghubungi anggota-anggotanya di lapangan. Wanita yang berpenampilan luwes dengan celana semi jeans ini terlihat low profile.
”Menurut aku, kalau jadi polwan tidak boleh cengeng. Harus jadi anggota Polri yang profesional. Kalau ditugaskan di lapangan, jangan takut cantiknya hilang. Kita harus siap laksanakan tugas dengan profesional,” ucapnya mantap ketika diminta tanggapannya tentang polwan.
Menjadi kian terkesima, bukan karena kecantikannya saja, tetapi uraian seorang Polisi Wanita ini begitu lugas, tajam dan mengalir cepat. Siapapun yang memandangnya pasti tak pernah menyangka bahwa wanita bertubuh tinggi semampai itu adalah Kepala Unit Reserse Kriminal di Polsek Batam Centre.
Ketika diminta tanggapannya seperti apa tentang polwan? Miharni mengaku bangga dengan profesi wanita berseragam itu.
Kebanggaan itu dia ungkapkan dengan mengutip kata-kata mantan Presiden Soekarno. ”Wanita jangan hanya menjadi mawar yang menghiasi taman, namun juga menjadi mawar pagar bangsa”.
Terlahir dari keluarga yang semua saudaranya laki-laki, Miharni secara tidak sadar merasa digembleng menjadi laki-laki sejak kecil. Dari seringnya berada di lingkungan laki-laki membuatnya bisa menyaingi kemampuan lawan jenisnya.
Bahkan wartawan koran ini sempat terkecoh dengan penampilan polwan berpangkat satu balok di pundak ini ketika ketemu. Tidak menyangka Miharni jauh lebih muda dari dugaan yang pada umumnya jabatan itu dijabat yang lebih senior, ia kelahiran 20 September 1984. Ia terlihat tampil energik, lincah dan lembut.
Wanita yang akrab dengan dunia kriminalitas di Batam Centre ini satu-satunya polisi wanita di jajaran Poltabes Barelang yang bersinggungan langsung dengan penjahat. Selama menjabat kepala unit (Kanit) sejak bulan Februari lalu, sudah banyak kasus kriminal ditanganinya, salah satunya perdagangan wanita atau trafiking.
”Kasus trafiking ini sudah P21 dan disidangkan,” katanya.
Begitu banyaknya kasus kriminal yang bisa mengancam keselamatan jiwanya dan keluarganya, namun tidak membuat wanita asli Bugis Makassar ini jera. Kata mantan Kepala Sentra Pelayanan Kemasyarakatan (SPK) Poltabes Barelang ini menjadi polisi adalah panggilan profesi, tidak ada panggilan khusus.
Ia mengaku salah satu motivasi kepribadiannya ingin totalitas dalam bekerja, ia juga memiliki kemauan untuk total dalam segala bidang. Diakui Miharni, paham patriarkhi saat ini sudah bergeser sesuai tuntutan masyarakat. Kalau perempuan bisa menunjukkan kapabilitasnya, bisa diberikan kepercayaan.
“Saya sudah merasakan itu, walau proporsinya masih perlu desakan dari pihak luar,” cetus wanita yang pernah bercita-cita menjadi dokter ini.
Antara hak sebagai wanita dan polisi wanita sudah bisa dipilahnya. Miharni telah memahami konsekuensi seorang Polwan. ”Jadi saya enjoy saja. Kalau saat tugas ya tugas. Saat waktunya memanjakan diri, ya refreshing,” ujarnya tersenyum.
Miharni juga dituntut tampil profesional di depan para anggotanya yang rata-rata seusia atau lebih tua darinya. Menjunjung tinggi saling menghargai dan menghormati adalah cara terbaik untuk mengendalikan dengan baik unit yang dinahkodainya.
”Kita tidak bisa semena-mena meski pangkat lebih tinggi. Inilah bukti pentingnya sikap dan perilaku,” ucap anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Keakraban Miharni dengan bawahan memang jelas terlihat saat itu. Mungkin ini yang membuat para anggota lebih loyal. ”Saat ada kejadian kita juga harus turun ke lokasi, baik siang maupun malam. Itu sudah risiko,” kata dara yang berstatus single ini.
Miharni adalah salah satu polisi wanita yang kini menjadi contoh bagi polisi wanita lainnya. Sekarang perempuan juga bisa menjadi pemimpin.
Dalam pendidikan kepolisian, Miharni adalah lulusan 10 besar terbaik dari 28 Akpol Polwan dari angkatan nya. Dalam karirnya, ia berharap nantinya bisa menyandang pangkat bintang di pundaknya.
Seperti Kapolda Banten Brigjen Rumiah, kapolda pertama berjender perempuan.
”Ibu Rumiah memberi motivasi bagi kami polwan yang junior bisa seperti beliau. Mungkin akan dijadikan barometer bagi pengangkatan-pengangkatan polwan berikutnya,” optimisnya.
Saat dikonfirmasi banyaknya kasus kekerasan terhadap anak, baik fisik, seksual, dan psikis yang terjadi belakangan ini, Miharni mengingatkan agar jangan terpatok pada angka. Karena walau angkanya hanya satu, jumlah kualitas kejahatan itu dilakukan oleh orang-orang yang selayaknya tidak pantas.
Tapi pada dasarnya, lanjut Miharni yang baru pulang dari pelatihan penanganan kasus trafiking di Semarang ini bahwa kasus KDRT selalu ditangani oleh unit RPK di Poltabes Barelang. ”Tapi kalau ada laporan kita terima juga, setelah itu dilimpahkan ke Poltabes Barelang,” ujarnya. ***
Melindungi Kaum Wanita yang Bermasalah

Menyikapi persoalan KDRT ini, unit ruang pelayanan khusus (RPK) Satuan Reksrim Poltabes Barelang adalah gudang penanganannya. Unit ini juga dipimpin seorang polwan. Dia adalah Bripka Puji Hastuti (37). Biasanya RPK jarang sepi
dari kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tenaga kerja wanita (TKW) bermasalah atau korban trafiking.
Terakhir bulan Juli lalu, aktivitas di ruangan itu terlihat sangat sibuk menangani kasus korban trafiking yang diamankan polisi dari Panti Pijat Monalisa, Kamis (3/7). Puji saat bekerja didampingi tiga penyidik lainnya yang juga wanita. Dua tahun menjabat sebagai Kanit Idik Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di RPK, banyak suka duka yang dilalui wanita kelahiran Jakarta ini.
Tapi katanya lebih banyak sukanya karena banyak bertemu dan bergaul dengan banyak orang. Banyak bertemu dengan korban yang memiliki latar belakang berbeda. ‘’Dekat dengan mereka (korban) dan LSM (lembaga swadaya masyarakat)
yang konsen dengan kemanusiaan,’’ ujar polwan yang telah 18 tahun berdinas di kepolisian ini.
Sebagai pimpinan di RPK, Puji tidak hanya memberikan perlindungan dan menangani perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kejahatan. Ia juga sering menjadi jalan bagi para korban untuk mendapatkan pekerjaan. Keterbatasan dana adalah satu duka dalam bertugas.
Kerap mereka harus kerja sosial dengan dana pribadi untuk menanggung biaya korban selama pendampingan. Paling miris saat uang operasional untuk memberi makan bagi para korban tidak ada lagi. Sementara korban tetap harus dibiayai selama mendapat perlindungan di Poltabes Barelang. Sebagai seorang polisi wanita, Puji tetap dituntut sabar dan bertanggung jawab dengan tugas memenuhi kebutuhan korban.
Meski sibuk dengan tugas di kantor namun seorang polisi wanita (Polwan) harus bisa pandai-pandai membagi waktu antara dinas dan keluarga. Jangan sampai karena terlalu sibuk mengurusi pekerjaan malah melalaikan kewajibannya di rumah sebagai ibu dan istri. Meski menjadi polisi, tidak berarti melupakan kodratnya sebagai wanita. *** Read More.. Read more!

Akhirnya, Lulus SMA Juga

Thursday, September 11, 2008

Wajah Hariyanto terlihat berseri-seri ketika memasuki kantor SKB di Sagulung. Warga belajar ini tersenyum riang karena ia baru saja dinyatakan lulus ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK). Sehingga Hariyanto yang putus sekolah kelas dua di Bangka Belitung ini kini sudah menyandang status lulus SMA.
”Sekarang saya sudah bisa mencari pengalaman baru,” tutur Hariyanto yang ikut bekerja dengan pamannya sejak pindah dari bangka ke Batam ini. Dengan ijazah dan sertifikat komputer yang dipelajari di SKB akan digunakannya melamar pekerjaan.
”Selama ini saya tidak menyangka akan bisa mengirim lamaran dengan ijzah SMA,” ungkapnya tersenyum.
Sebelumnya harapan Hariyanto sudah pupus untuk kembali ke bangku sekolah formal. Namun berkat seorang temannya, Hariyanto tahu tentang SKB dan sedikit pun mensia-siakan peluang itu. Berbagai ketrampilan yang ada disana seperti komputer, bahasa Inggris, menjahit, pengelasan dan lainnya. ”Motivasi saya karena ingin pindah kerja,” tegas Hariyanto yang lulus ketrampilan komputer ini.
Dengan membawa raport terakhir di Bangka, Hariyanto pun mendaftar jadi warga belajar di SKB. Saat belajar hanya masuk hari Minggu saja, sehingga tidak begitu mengganggu jam kerjanya. Tak terasa selang satu tahun kemudian Hariyanto sudah lulus.
Menurutnya SKB sangat bagus, karena hal seperti ini jarang ada. Sebab kalau ke swasta akan sulit. Bagi yang putus sekolah, ia berpesan agar memanfaatkan kesempatan tersebut di SKB.
Hariyanto putus sekolah berawal dari kecelakaan yang dialaminya. ”Saya malas kembali sekolah setelah sembuh, akhirnya saya bisa menuntaskan sekolah saya di SKB,” tuturnya bangga. Read More.. Read more!

Lulusan SKB Jangan Dianggap Remeh

Banyak kalangan memang mencibir dan menyepelekan kualitas anak didik jebolan dari Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), karena dianggap kurang kualitatif dalam menjawab berbagai tantangan. Namun hal ini dibantah dengan tegas oleh Enik Yulistyowati, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) SKB. Menurutnya di SKB Batam pendidikan jalur non formal yang kini diterapkan tidak perlu disanksikan oleh oleh masyarakat.
Sebab pendidikan non formal sejak tahun 2007-2008 telah memperoleh hak eligibilitas dari menteri pendidikan Nasional dimana lulusan baik Paket A, B dan C memperoleh hak yang sama dengan sekolah formal lainnya. Berhak melanjutkan pendidikan kejenjang lebih tinggi yang ditandai dengan pengakuan atas ijazah yang dimiliki setara dengan sekolah setingkatnya.
Sebenarnya fungsi dari pendidikan non formal adalah sebagai pengganti pendikan formal, dimana yang menjadi warga belajar adalah mereka yang putus sekolah, serta yang tidak mau lagi melanjutkan pendidikan di tingkat sekolah formal. “Sehingga tidak ada istilah bahwa SKB menampung orang-orang buangan,” tandasnya.
Buktinya, pada ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) terakhir yang soalnya dikeluarkan oleh BNSP (ujiannya setara dengan formal), pusat penilaian pendidikan kelulusan warga belajar SKB mencapai 92,31 persen. “Sedangkan sisanya yang tidak lulus karena tidak mengikuti ujian saja,” tuturnya.
Enik menjelaskan bahwa meski ada sering kasus yang agak mendeskreditkan pendidikan non formal, namun menurutnya hal tersebut bukan disebabkan oleh persoalan pengakuan izajah tetapi lebih mengarah pada atauran khusus yang dibelakukan oleh sekolah non formal atau perguruan tinggi. *** Read More.. Read more!

SKB Entaskan Kebodohan

Masalah buta aksara sebagai suatu masalah nasional sampai saat ini masih belum tuntas sepenuhnya. Berbagai usaha dalam upaya penanggulangannya masih mengalami hambatan sehingga program-program yang diluncurkan untuk menanggulanginya berupa pengorganisasian kelompok belajar keaksaraan fungsional, tampaknya belum efektif. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya lain, sehingga jumlah buta aksara dari tahun ke tahun akan makin menipis.
Lembaga yang minim perhatian ini ternyata berpotensi bisa mengentaskan masyarakat yang buta huruf, tidak berkesempatan belajar di pendidikan sekolah/formal, miskin dan masalah social lainnya di kota Batam ini, menjadi topik dalam dialog Batam Forum Batam Pos, Rabu (3/9) lalu. Terakhir, setelah banyak berbuat di Batam, lembaga ini membantu masyarakat Indonesia yang juga bekerja sebagai pembantu di Singapura mendapatkan haknya di bidang pendidikan.
Keinginan ini memang atas dorongan warga belajar yang ada di Singapura. Banyak dari mereka yang tak tamat SD-SMP-SMA. Rata-rata yang tak punya ijazah itu jadi pembantu rumah tangga di Singapura. ”Mereka (TKI) mengeluh ingin mendapat pekerjaan yang lebih baik,” ujar Enik Yulistyowati, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Batam.
Inilah alasan mereka mau belajar lagi, ingin meningkatkan status pendidikannya. Sampai saat ini sudah ada 167 warga belajar di Singapura. Dan dimungkinkan akan terus bertambah. Sementara tutornya (guru) ada sebanyak 24 orang. Semua WNI yang menyandang lulusan S1 hingga S2. Mereka adalah relawan sehingga tidak menerima imbalan. Untuk biaya tempat belajar di Hotel Hyatt dan serba guna gereja di tanggung donatur.
”Kita tidak punya anggaran untuk itu, kita hanya memberi pelatihan pada tutornya saja,” tutur Enik yang turun ke Singapura langsung memberi pelatihan tersebut.
Setelah sukses membuat Batam dengan keberadaan lembaga pendidikan anak usia dini di kota Batam, lanjut pembina himpunan pendidik anak usia dini (Himpaudi) Batam ini, SKB juga memperluas dan memfokuskan pembukaan pendidikan keaksaraan (pemberantasan buta huruf) di pulau-pulau.
Seperti di Tanjunggundap, Pulau Tiawangkang dan Pulau Lance. Untuk pengentasan ini, pihaknya bekerjasama dengan masyarakat dan orang yang peduli pendidikan. ”Kini kita fokusnya di sini,” ucapnya.
Sampai saat ini di tiga pulau itu ada sebanyak 72 warga yang sedang mereka didik. Masing-masing dididik oleh tiga tutor dari warga sekitar yang juga masih mengikuti paket setara SMA. Masing-masing warga belajar berasal dari beragam usia.
Menurut Enik, setiap warga belajar dibagi dua bagian yaitu usia sekolah dan usia dewasa atau yang sudah bekerja. Masing-masing bagian dipecah dalam tiga paket. Yakni paket A setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara SMA. Sementara jam masuk belajarnya untuk usia sekolah belajar dari Senin sampai Jumat. Sedangkan untuk usia dewasa hanya belajar pada hari Minggu saja. Dan kebanyakan mereka juga mengambil ekstrakurikuler bahasa inggris dan komputer.
Biaya yang dikenakan juga cukup murah. Untuk paket B dan C setara SMP dan SMA hanya partisipasi dari orang tua warga belajar maupun warga belajar itu sendiri. Tapi yang jelas kata Enik, biayanya tidak sebesar seperti di sekolah formal. Sedangkan paket A setara SD semua digratiskan.
Biaya paket B setara SMP hanya Rp 20 ribu sebulan, itupun tidak sampai 50 persen yang mau bayar. Biaya pendidikan yang biasanya dibayarkan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Batam juga sudah tidak pernah lagi. Bantuan beasiswa dari APBD dan pihak swasta pun tak pernah ada. Ironisnya, anggaran sebesar 20 persen dari APBD untuk pendidikan juga tak ada singgah untuk program SKB. Kecuali anggaran untuk pemeliharaan potong rumput, air, listrik dan itu pun masih kurang.
Sampai saat ini SKB hanya mengharapkan bantuan pusat yang sifatnya insidensial. Yang jelas hanya sepeda motor untuk tutor kunjung. ”Padahal kita juga harus bayar honor tutor. Sementara tutor baru hanya mendapat insentif Rp 200 ribu dan tutor lama Rp 500 ribu dari pemerintah. Kita justru sering nombok menalangi biaya kegiatan. Mau paksa warga belajar tidak bisa, karena disini hati nurani yang bicara,” ungkapnya.
Tahun 2006 lalu, pernah satu kali Dinsos memberikan beasiswa kepada sebanyak 50 pengamen jalanan. Masing-masing menerima sebesar Rp850 ribu. ”Saat itu juga kita ajukan dan berhasil memerima bantuan alat musik dari pusat. Sampai sekarang alat itu masih digunakan mereka untuk latihan musik,” katanya.
Masih menurut Enik, permohonan anggaran untuk SKB di ABPD sudah sering mereka ajukan. Sayangnya upaya itu belum membuahkan hasil. Bahkan SKB kini kekurangan lokal saking banyaknya warga yang ingin belajar. Lonjakan ini pun mengakibatkan SKB kekurangan kelas. ”Kita butuh 10 kelas, yang ada baru empat kelas,” katanya.
Terakhir, kata mantan Kasi kerjasama dunia dan industri Dinas Kota Batam tahun 2002 ini masalah yang dihadapi mereka di SKB Batam adalah disebabkan beberapa hal. Yakni motivasi belajar kurang mayoritas untuk anak usia sekolah, partisipasi orangtua rendah dan perhatian pemerintah juga kurang khususnya pada anggaran.
Untuk itu, Enik berharap agar tingkat buta aksara di kota Batam bisa tuntas, pemerintah harus lebih fokus memberikan perhatian untuk SKB.
Perlu diketahui, SKB Batam yang minim perhatian dari pemerintah justru terkenal diseantero nusantara. Setiap kegiatan SKB nasional terutama pada PAUD, selalu SKB Batam akan menjadi percontohan. Dia juga berpesan bagi siswa yang tidak lulus pada ujian nasional yang lalu, agar segera mendaftar ke SKB untuk mengikuti ujian nasional kesetaraan periode ke dua. ”Tapi sebelumnya masing-maisng siswa harus mendapat pembekalan di SKB,” katanya. Read More.. Read more!

Menari, Abadikan Budaya

Saturday, September 6, 2008

GEDUNG Sanggar Budaya Medang Sirai berbeda dari biasanya. Dindingnya yang dulu pudar, kini berganti warna putih seperti salju. Plafonnya juga tak lagi membingkai tiga ruangan di gedung itu. Beberapa kursi dan sofa ditutupi kain agar tak terkena debu. Gedung berlantai tiga di kawasan perumahan Duta Mas Batam Centre sedang direnovasi.
Di situlah, Tari Bancuh dikemas menjadi sebuah sajian tarian kreasi yang indah. Tarian yang berhasil membawa Sanggar Budaya Medang Sirai, kontingen dari Batam mewakili Kepri tampil sebagai nominasi penyaji unggulan terbaik pada parade tari dan pawai budaya nusantara yang diikuti 29 provinsi pada 15-19 Agustus lalu di Jakarta.
Budi, terlihat duduk bersila berhadap-hadapan dengan penari-penari baru, ketika Batam Pos bertandang ke sanggar itu, Kamis (21/8) malam. Di lantai dua seukuran ruko itu, mereka sedang latihan, sementara pengurus sanggar dan pemain musik terlihat duduk mengobrol satu dengan yang lain.
Tak ada alunan musik Melayu yang mengiringi latihan itu. Alat musik tradisional yang biasa mengiringi tidak terlihat di sana. Katanya, semuanya sedang disimpan di rumah masing-masing pemain setelah pulang dari Jakarta. Lagipula malam itu latihan khusus untuk olah tubuh sebelum masuk latihan olah tari dan musik.
Budi melatih dalam materi tari berbeda. Penampilannya sungguh bagus, karena ia memang koreografer tari sekaligus pelatih aerobik. Tangannya gemulai melambai halus. Tiap gerak kepalanya yang dikendalikan leher, begitu santun. Lantas gerak itu pun ditiru penari pemula (baru).
Saat latihan terlihat betapa keukeuh-nya seorang Budi yang dengan sedikit salah, bisa saja penarinya diminta mengulang berkali-kali. Bagi dirinya kualitas latihan sangat penting, makanya tidak seorang pun bisa main-main saat berlatih dengannya. Sehingga hasilnya bisa dilihat saat pagelaran.
Batam Pos yang saat itu ikut latihan meski tidak tuntas, tak bisa membayangkan saat latihan butuh kesabaran. Olah tubuh dan olah tari itulah yang dilatih berulang-ulang hingga penari pemula benar-benar tidak lupa gerakannya. Bakat, kesabaran dan kemauan belajar yang tinggi minimal harus dimiliki untuk bisa tampil bagus.
Gerakan tarian itu sepertinya sudah sering terlihat. ”Tari ini adalah sekapur sirih. Minggu depan, penari kami diminta mengisi acara. Ya...seperti inilah kalau sedang latihan. Bagi yang tak sabar mungkin tak bisa bertahan,” tutur Budi sembari meminta penarinya istirahat lantas berbincang dengan Batam Pos.
Menjadi penari kata Budi memang harus mempunyai talenta khusus. Artinya sudah memiliki bakat dari lahir. Setelah itu, barulah diasah dengan mengikuti kelas-kelas khusus menari, sehingga kemampuan menari meningkat dan menjadi penari yang terampil. Jika hanya mengandalkan bakat dari lahir saja tidak akan cukup. Harus terus dilatih.
Sanggar Medang Sirai baru berdiri Maret 2008, menjelang parade tari yang digelar Dinas Pariwisata Pemko Batam. Berdirinya sanggar ini, atas ide pimpinan sanggar Juniati, yang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya Melayu. Nama Medang Sirai sendiri dipilih dari sebuah nama kayu yang biasa dijadikan untuk penyanggah (kerangka) kapal kayu.
”Kami ingin budaya Melayu tidak hilang, makanya saya dirikan sanggar dan memilih nama dari nama kayu Medang Sirai yang kokoh,” kata Juniati yang juga guru sekolah ini.
Juru bicara sekaligus sekretaris Sanggar Medang Sirai S Adi menambahkan sejak berdiri, sudah ada enam tarian garapan yang mereka kreasi. Tari Bancuh adalah kreasi mereka yang ke-enam dalam empat bulan terakhir ini. Menciptakan satu tarian garapan, mereka butuh berlatih dua kali dalam seminggu, Sabtu dan Minggu. Kecuali kalau mau ikut lomba, ritme latihan diperbanyak menjadi tiga kali dalam seminggu.
Mereka memilih latihan di malam hari. Sebab penari tingkat satu (yang selalu tampil dalam iven besar) rata-rata pekerja, kecuali tingkat dua dan tiga yang memang masih pelajar SD, SMP dan SMA. Setelah berhasil menciptakan satu tarian kreasi yang mengharumkan nama Kepri di tingkat nasional, Sanggar Medang Sirai terus berkreasi.
Setiap tarian yang mereka sajikan selalu mengusung tema bernuansa Melayu. Misalnya, tari Bancuh, tarian garapan Melayu kontemporer dengan formasi sembilan penari, empat pria dan lima wanita. Bancuh berasal dari istilah Melayu yang artinya perpaduan atau persatuan.
Tarian ini mengisahkan sisi kehidupan perkampungan nelayan di pulau Panjang (pulau tak jauh dari Galang).
Bila musim angin utara tiba, cuaca kurang bersahabat bagi nelayan pulau Panjang untuk melaut. Sebagai penghasilan tambahan keluarga, maka masyarakat pulau Panjang bersatu untuk membuat sapu lidi kemudian dijual ke Batam.
”Hasil observasi kami di lapangan ini kami padu menjadi satu tarian. Agar tema tarian tidak hilang, sapu lidi yang dihiasi cat warna-warni dijadikan sebagai properti, juga untuk memperindah tarian,” tutur Adi.
Keberadaan sanggar budaya di Kepri bertujuan mempertahankan nilai budaya. Tentu hal ini sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah. Namun sampai saat ini menurut Adi perhatian itu masih sangat minim. Apalagi saat-saat mengikuti iven bertarap nasional seperti mereka ikuti baru-baru ini.
Padahal keberangkatan mereka ke tingkat nasional membawa nama Kota Batam. Satu daerah junjungan yang jadi daerah pertaruhan. Bertaruh, apakah mereka mampu menunjukkan jati diri mereka sebagai sebuah bandar madani. Tetapi dukungan seperti materi maupun moral (semangat) dari pemerintah masih kurang.
Bahkan perhatian untuk persiapan seperti datang memberikan saran dan pembinaan pun kurang. Selain ini, persoalan dana juga menyebabkan perwakilan Batam ketingkat nasional ini kelimpungan dan nyaris tak berangkat. Tapi berkat perjuangan dan semangat yang tinggi akhirnya mereka bisa berangkat.
”Ini menyedihkan, dana kontingen tidak terprogram dengan baik. Sementara kami tak punya kekuatan untuk mengumpulkan dana. Mudah-mudahan ke depan hal ini tidak terulang lagi. Kita berharap perhatian pemerintah bisa lebih besar bagi siapapun yang mewakili Batam ke depannya,” pintanya.
Meski minim perhatian, namun terpilihnya sebagai penyaji unggulan terbaik membawa semangat yang tinggi bagi Medang Sirai. Sebagai sanggar baru mereka justru akan membuka kelas untuk pelatihan penari-penari anak-anak sekolah. Mereka ingin kaum muda lebih tertarik menyaksikan pementasan tari.
Syukur-syukur mereka akan tergugah untuk melakoni seni tari. Dalam melakukan apapun, pasti ada kendala yang harus dihadapi.
Tak terkecuali dalam mengembangkan seni tari, khususnya untuk remaja. Mungkin karena perubahan jaman membuat mereka tidak tahu bagaimana seni tari itu.
Minimnya fasilitas dan informasi membuat mereka men-judge tarian tradisional itu kuno. Maka itu Medang Sirai mengajarkan tarian yang tidak terlalu sulit. Awalnya mengajarkan tari tradisional yang sederhana, lalu tingkat kesulitannya ditambah. Karena untuk melakukan inovasi - inovasi dalam gerakan tari, penari harus lebih dulu menguasai tradisional.
”Namun untuk hal ini dibutuhkan peran serta dari pemerintah sebagai fasilitator, dengan memberikan ruang dan waktu serta bantuan finansial untuk sanggar mana pun sehingga dapat menampilkan hasil karya pada seni tari,” ujarnya. *** Read More.. Read more!

Cerita humor, pesan Tuhan soal hari kiamat

Tuhan memanggil Presiden AS, Cina, dan Indonesia untuk dimarahi. Dari Amerika muncul George Bush. Dari Cina datang Presiden Hu Jintao. Dari Indonesia diutus Jusuf Kalla; SBY nggak berani soalnya.

Cerita humor ini dikirim oleh “Ningky and Friends” dari Medan ke Blog Berita

Setelah habis-habisan mencela tindakan pemimpin dunia ini, Tuhan menyampaikan bahwa Ia sudah muak dan memutuskan dalam tiga hari dunia akan kiamat. Tiga pemimpin ini disuruh kembali ke negaranya untuk menyampaikan keputusan Tuhan kepada rakyat mereka masing-masing. Ketiga pemimpin pulang ke negara masing-masing sambil putar otak bagaimana menyampaikan kabar buruk ini kepada rakyatnya.

Di depan Kongres Amerika dan disiarkan langsung di TV, Presiden Bush mencoba, “Congressmen, ada kabar baik dan ada kabar buruk. Pertama kabar baik dulu ya. Tuhan itu benar-benar ada, seperti yang kita yakini. Kabar buruk: Tuhan akan memusnahkan dunia ini dalam tiga hari.”

Hasilnya payah, terjadi kerusuhan dan penjarahan di mana-mana.

Di depan Kongres Partai Komunis Cina, Hu Jintao memodifikasi taktik Bush: “Kamerad, ada kabar baik dan ada kabar buruk. Pertama kabar baik dulu ya. Ternyata Marx, Stalin, Ketua Mao, dan para pendahulu kita salah,Tuhan itu benar-benar ada. Kabar buruk: Tiga hari lagi Tuhan akan mengkiamatkan dunia ini.”

Hasilnya lumayan, orang-orang Cina lari, heboh dan menangis ketakutan dan membanjiri tempat ibadah, mereka mau bertobat.

Yang paling sukses Jusuf Kalla.

Di depan sidang paripurna DPR yang disiarkan langsung oleh tivi-tivi swasta, dia tersenyum sumringah. “Saudara sebangsa dan setanah air, saya membawa dua kabar baik. Kabar baik pertama: Sila pertama Pancasila kita sudah benar, bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Kabar baik kedua: Dalam tiga hari ini semua masalah energi, pangan, kemiskinan, terorisme, dan penderitaan di Indonesia akan segera berakhir. Benar-benar berakhir.”

Sukses besar. Seluruh rakyat larut dalam pesta dangdutan dan pawai di mana-mana. ***

copy dari www.blogberita.net Read More.. Read more!

10 Kepribadian Pria yang Meluluhkan Hati Wanita

Tuesday, September 2, 2008

TERNYATA untuk memikat hati wanita idamanmu, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Salah satunya ialah kepribadian seseorang. Melalui kepribadian yang baik, si dia tak akan ragu memilihmu.

Nah, sebelum kamu memikat hati sang pujaan hati, sebaiknya kenali dulu beberapa kepribadian tersebut.

1. Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua wanita. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Pria yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura-pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta.

2. Beda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, sifat rendah hati justru mengungkapkan kekuatan. Hanya pria yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi, semakin menunduk. Pria yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang di atasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

3. Kesetiaan sudah menjadi barang langka dan sangat tinggi harganya. Pria setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban, dan tidak suka berkhianat. Karena itu, pria dengan kepribadian seperti ini sudah tentu akan dipilih wanita.

4. Pria yang bersikap positif selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam.

5. Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh, tapi sikap hati. Pria yang ceria adalah mereka yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh, dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

6. Pria yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

7. Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya apa adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Pria yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

8. Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Seorang pria yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

9. Pria yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stres dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.

10. Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Pria yang berempati bukan saja pendengar yang baik, tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik, dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

rileks Read More.. Read more!