Soal HGB Di Batam, BPN Bela Kepentingan Warga dan Investor

Wednesday, June 17, 2009

Kepala BPN Minta Dephut Beri Ijin Perpanjangan HGB di Kawasan Lindung

JAKARTA – Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan mengupayakan agar ribuan sertifikat Hak Guna Bangun (HGB) di Batam yang terbentur UU Kehutanan bisa diperpanjang. Demi kepentingan investasi dan ketenangan masyarakat yang tinggal di Batam, BPN meminta Departemen Kehutanan dapat memahami posisi lahan di kawasan lindung yang sudah memiliki sertifikat HGB.

Kepala BPN Joyo Winoto mengakui, persoalan di Batam memang cukup rumit. Alasannya, sertifikat HGB yang diterbitkan karena mengacu Keputusan Presiden (Keppres) tentang penetapan Batam sebagai kawasan industri ternyata saat ini tidak bisa diperpanjang lantaran adanya penetapan beberapa wilayah di Batam sebagai kawasan hutan lindung. “Soal Batam ini memang perlu perhatian lebih,”” ujar Joyo Winoto kepada Batam Pos di Jakarta, Senin (15/6) petang.

Dipaparkannya, karena dulu awalnya Batam ditetapkan sebagai lokasi industri maka diterbitkanlah Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Dengan adanya HPL, kata Joyo, dimungkikan terbitnya HGB.

“Tetapi dalam perjalanan, sekitar tahun 1993 ada proses dari Dephut. Wilayah-wlayah itu dijadikan kawasan lindung. Kalau ini jadi kawasan kehutanan, pertanyannya yang sudah dapat HGB bisa diperpanjang atau tidak? Kami inginkan ini bisa diperpanjang karena orang sudah banyak berinvestasi,” ujar Joyo.

Mantan anggota tim sukses SBY pada Pilpres 2004 itu menambahkan, sampai saat ini pembahasan soal HGB di Batam antara BPN dan Dephut belum selesai. Menurutnya, ada dua UU yang dipegang masing-masing pihak yakni UU Pokok Agraria dan UU Kehutanan.


Namun Joyo berharap perpanjangan HGB itu tetap dimungkinkan. “Sehingga mereka yang sudah berinvestasi dan masyarakat yang sudah menetap di situ tetap bisa hidup dengan tenang,” cetusnya.

Lantas bagaimana jika Dephut tidak memberikan rekomendasi perpanjangan HBG? Joyo mengaku tidak mengharapkan hal itu. “Kita harap Dephut bisa melihat ini agar boleh diperpanjang. Kalau tidak boleh, ya nanti secara hukum kita harus memberikan penjelasan secara khusus kepada pemegang HGB,” tuturnya.


Dikatakannya pula, ada faktor yang perlu menjadi pertimbangan Dephut sehinggga HGB perlu diperpanjang. “Untuk daerah yang tidak ditetapkan sebagai kawasan lidnung tidak ada masalah. Tetapi kalau di kawasan lindung itu ternyata ada yang HGB industri yang besar, ini juga yang perlu kita bahas dengan Dephut,” tegasnya.

Ditanya jika memang dulu status tanahnya belum jelas mengapa bank mau memberi kredit, Joyo menegaskan bahwa status awalnya sudah jelas karena sudah ada sertifikat HGB. “Sebenarnya dulu sudah ada sertifikat. Karenanya bank mau membiayai (kredit) dengan sertifikat sebagai jaminannya. Cuma memang waktu itu statusnya bukan kawasan lindung,” bebernya. *** Read More.. Read more!

Jababa: Sertifikat Selesai Semua Akhir Tahun

General Manager Jababa Group Indra Setiawan mengatakan, pihaknya akan melakukan proses 205 sertifikat tahap pertama warga Villa Mukakuning. Sedangkan sertifikat lainnya dikerjakan secara bertahap setelah 205 sertifikat yang diusulkan pertama selesai dikeluarkan BPN.

"Dalam tahun ini semua sertifikat diharapkan selesai. Kita minta warga bersabar, kita sedang melakukan prosesnya," ujar Indra kepada wartawan, kemarin.
Dia mengatakan, perusahaan juga menambah biaya untuk mengurus sertifikat warga sampai tuntas.

"Ada tambahan sampai tiga dari biaya yang dibayar warga ke kami. Tapi itulah resiko bisnis," tuturnya.

Ketika ditanya sikap warga yang tidak bersedia membayar KPR sampai 8 Juli jika sertifikat belum selesai, Indra menyebutkan, warga sudah mengerti dengan kondisi sebenarnya.

"Kitakan sedang mencari solusi dan menyelesaikan masalah ini. Tadi saat dengar pendapat juga sudah ditemukan jalan jalan keluarnya," ujar Indra. *** Read More.. Read more!

Terbitkan Sertifikat, BPN Janji Dua Minggu

* Setelah Terima Akta Jual Beli Tanah

Warga Perumahan Villa Mukakuning, Batuaji, Batam yang menuntut kejelasan sertifikat rumah mereka sedikit bernafas lega. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam berjanji segera menerbitkan sertifikat dua minggu setelah menerima akta jual beli tanah dari PT Wanabhakti Batamutama selaku pengembang perumahan.

Kesepakatan tersebut dicapai dalam hearing yang digelar di ruang Serbaguna DPRD Batam, kemarin. Hadir dalam rapat dengar pendapat tersebut Ketua Komisi I DPRD Batam Ruslan Kasbulatov, Kepala Kantor BPN Batam Isman Hadi, Direktur utama PT Wanabhakti Batamutama Dewi Handayani, Otorita Batam (OB), dan perwakilan warga Perumahan Villa Mukakuning.

"Lagi menunggu, tergantung akta jual beli tanah," kata Isman Hadi saat ditanya soal kepastian diterbitkannya sertifikat bagi 758 unit rumah, usai hearing.

Isman meminta kepada pihak pengembang untuk melengkapi semua syarat administrasi, seperti akta jual beli tanah. Jika BPN sudah menerima akta tersebut, maka dua minggu setelah itu sertifikat baru bisa diterbitkan. "Tapi, prosesnya bertahap," tukasnya.

Isman juga mengemukakan ini di ruang pertemuan. Pihak PT Wanabhakti Batamutama, anak perusahaan dari Jababa Group juga mengaku telah mempersiapkan syarat administrasinya.

Saat rapat berlangsung, warga Villa Mukakuning mengemukakan tuntutannya. Mereka kesal lantaran janji-janji dari pengembang untuk mengeluarkan sertifikat rumah tak pernah terealisasi .

"Warga perjuangkan ini sejak 2003. Tapi, sampai detik ini belum ada realisasinya," kata Ketua RW 10 Perumahan Villa Mukakuning, Aulia.


Ruslan : Alokasi Lahan Amburadul
Ketua Komisi I DPRD Batam Ruslan Kasbulatov menyorot soal mekanisme pengalokasian lahan di Batam yang terkesan amburadul. "Belum ada HPL (Hak Pengelolaan Lahan), lahan belum dikuasai OB, tapi kok sudah dialokasikan ke pihak ketiga, dalam hal ini pengembang," tanyanya heran, saat hearing.

Pernyataan ini diungkap Ruslan saat mengetahui ternyata OB baru mendapat HPL dari BPN untuk alokasi lahan ke pengembang perumahan Villa Mukakuning tahun 2008. Sementara OB sudah mengeluarkan IP ke pengembang sejak tahun 2000. "Banyak kasus seperti ini. Ini cara-cara ilegal," kritiknya.

Kepala Kantor BPN Batam Isman Hadi mengakui ini. OB, kata dia, seharusnya jangan mengalokasikan lahan dulu sebelum mengantongi HPL. "Ini mekanisme yang salah. Tapi, kita tidak cari kambing hitam. Ke depan akan kita selesaikan," ujarnya.

Ia mengatakan, sebenarnya yang punya kewenangan untuk menerbitkan HPL adalah BPN dan semua pemohonnya atas nama OB. Ke depan, ia meminta semua lahan di Batam punya HPL. "Baru OB tinggal alokasikan, bagi-bagi. Ini baru benar," terangnya.

Sayangnya, Isman yang ditanya lebih jauh soal amburadulnya alokasi lahan di Batam ini usai hearing, enggan berkomentar banyak. *** Read More.. Read more!

Warga Villa Muka Kuning Terancam Sampai 2010 Tidak Dapat Sertifikat

Thursday, June 11, 2009




*PT Wanabhakti Baru Serahkan Dua dari Empat BPHTB

Lima puluh persen warga Villa Muka Kuning, Batuaji terancam tidak akan mendapat sertifikat atas tanah yang diatasnya ada bangunan rumah mereka sampai 2010. Pasalnya, PT Wana Bhakti baru membayar dua berkas SK kepada Badan Pertanahan Nasional atas empat berkas yang akan mereka penuhi.

"Setelah kita periksa, ada empat SK yang dikeluarkan atas perumahan Vila Muka Kuning di Batuaji, developer baru memenuhi dua persil dari empat, sehingga kita hanya berhak mengeluarkan dua dari empat sertifikat induk nantinya," ujar Kabag Humas dan Tata Usaha BPN Batam, Muhamad Thamsil ketika dihubungi Batam Pos, Kamis (11/6).

Mengapa dalam satu pemukiman ada empat SK kepengurusan Sertifikat Induk? Thamsil mengatakan dulu PT Wana bhakti mengurus dan membagi empat lahan, sehingga BPN memberikan empat SK dengan luas lahan yang berbeda. "Jadi dasarnya dari empat SK atas lahan, maka hasilnya ada empat sertifikat induk atas Villa Muka Kuning," ujarnya.

Akibatnya, dikatakan Thamsil, maka dua sertifikat induk yang sudah diurus tersebut itu nantinya yang akan dipecah menjadi sertifikat milik sesuai dengan jumlah kebutuhan lahan masing-masing warga. Sementara dua SK yang belum diurus dan didaftar tidak dapat ditindak lanjuti oleh BPN.

"Ya kita tidak dapat melanjutkan dua persil SK yang belum dibayarkan BPHTB dan uang pemasukan kepada Negara atas tanah, sampai developer melunasinya. Jadinya, sebagian warga juga tidak akan mendapat sertifikat mereka masing-masing atas lahan yang mereka tempati dalam waktu yang lama, atau bisa lewat dari tahun 2010," ujar Thamsil.

Buntut dari unjuk rasa ribuan warga Villa Muka Kuning, Batuaji, Senin (8/6) lalu kini mendapat titik terang, dimana PT Wanabhakti yang juga anak perusahaan Jababa Group yang sebelumnya menjanjikan kepada warga sejak 2003 akan segera mengeluarkan sertifikat, belum pernah sekali pun sertifikasi lahan ke BPN.

"Ya baru itu BPHTB dan uang negara dipenuhi, baru kemarin," ujar Thamsil.

Thamsil menghimbau warga Villa Muka Kuning, supaya pro aktif mempertanyakan status lahan mereka ke PT Wanabhakti, karena dalam waktu dekat atau tidak lebih dari dua minggu, dua sertifikat induk akan segera dikeluarkan BPN, yang selanjutnya akan dipecah kepada masing-masing warga yang lahannya terdaftar di dua persil SK tadi.

"Warga langsung bisa kroscek, apa perumahan mereka terdapat dari dua sertikat induk yang akan segera keluar ini, bila belum terdaftar, warga bisa tuntut kembali developer yang sudah membohongi mereka tersebut," ujarnya. *** Read More.. Read more!

20.000 Rumah Bermasalah

Wednesday, June 10, 2009


Tak Punya Sertifikat, Berdiri di Hutan Lindung

Kasus perumahan di Batam yang tidak memiliki sertifikat cukup banyak. Sampai saat ini, Pemko Batam dan Otorita Batam, belum bisa menyelesaikan masalah tersebut. Janji untuk memberikan sertifikat terus dilontarkan. Padahal ada 20.000 unit rumah yang tak jelas statusnya. Meski mereka sudah membayar rumah tersebut, namun sertifikat tak kunjung keluar. Ada juga yang sudah keluar, tetapi tidak bisa mengagunkan ke bank karena tanah rumahnya, ternyata masih berstatus hutan lindung.

Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Khusus Real Estate Indonesia (REI) Kota Batam Mulia Pamadi mengatakan, hasil pantauan terakhir REI Batam minggu lalu, bersama dengan Pemko Batan dan OB, statusnya masih menunggu persetujuan Departemen Kehutanan atas lahan pengganti yang telah diajukan OB. Tanpa persetujuan Dephut, maka rumah rumah yang sudah dimiliki masyarakat tidak adaa artinya. Jika hendak dijadikan jaminan, sertifikat rumah di hutan lindung tidak laku. Hal inilah yang menyebabkan pengembang di Batam resah dengan status lahan di Batam.

Mulia menyebutkan, kasus hutan lindung sangat merugikan pengembang yang tergabung di REI Batam. Yang jelas, masyarakat yang membeli rumah. Tentu saja, hal tersebut, jelasnya, berdampak negatif terhadap industri real estat di Batam, karena tak ada kepastian investasi bagi masyarakat dan pelaku usaha.

Dengan tidak adanya jaminan kepastian hukum dan legalitas pertanahan bagi masyarakat pengguna pada akhirnya tak tercipta iklim yang kondusif bagi industri realestat di saat krisis global. Apalagi Batam sudah memasuki era perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

Padahal, lanjutnya, Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007, mewajibkan pemerintah daerah menyediakan perumahan bagi masyarakat. “Semoga para pihak yang terkait bertanggung jawab atas masalah hutan lindung di Batam dan menyadari pentingnya penyelelesaian masalah ini secara serius dan tak berlarut-larut sehingga tak merusak industri realestat,” tegas Mulia kepada Batam Pos, kemarin.

Saat ini, ada 20 titik perumahan di Batam yang bermasalah. Luas kawasan perumahan tersebut mencapai 200-an hektar dengan jumlah bangunan 20.000-an unit rumah. Kawasan perumahan yang paling banyak berada di kawasan hutan lindung, yaitu di Kecamatan Batuaji, Sagulung, Batam Centre, dan Nongsa. Humas Otorita Batam Dwi Djoko Wiwoho mengatakan, pihaknya sudah berusaha secepatnya menyelesaikan sengketa lahan ini. “Akhir tahun 2009, masalah ini selesai,” ujar Djoko. Ketua OB Mustofa Widjaja selalu mengatakan, masalah lahan tersebut sedang diproses oleh Dephut. Lahan pengganti hutan lindung berada di Tembesi dan Galang. *** Read More.. Read more!

BPN: Sertifikat Induknya Belum Diurus

Badan Pertanahan Nasional (BP)N) Batam menyatakan PT Wana Bhakti, anggota Jababa Group yang merupakan Developer Perumahan Villa Mukakuning, Batuaji, belum mengurus sertifikat induk kawasan perumahan tersebut. ”SK Pemberian Hak atas PT Wana Bhakti sudah keluar dan didaftarkan, namun mereka belum mengurus dan membayar tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta uang pemasukan negara atas tanah, sehingga Sertifikat induk belum terdaftar,” ujar Kabag Humas dan Tata Usaha BPN Kota Batam Muhamad Thamsil kepada Batam Pos, Senin (8/6).

SK Pemberian hak atas tanah itu sendiri dikatakan Thamsil akan segera berakhir pada 27 Juli 2009 mendatang. Kalau tidak segera diurus, maka bisa hangus. “BPN masih memberi kompensasi perpanjangan, kalau diurus sebelum masa berakhir,” ujarnya.

Berapa tarif pembayaran BPHTB dan uang pemasukan negara yang harus dibayar Jababa Group atas lahan Villa Muka Kuning? Thamsil mengatakan tidak tahu persis besar tarifnya. “Sesuai UU pasal 5 UU tentang BPHTB, tarif tunggal sebesar 5 persen, itu khusus BPHTB saja, juga tergantung luas lahan dan harga lahan per meternya. Bisa mencapai lebih dari miliaran rupiah,” ujarnya.

Lebih lanjut Thamsil mengatakan, warga masih akan menunggu lama mengenai sertifikat perorangan atas lahan yang kini mereka tinggali tersebut, kenapa? karena sertifikat induk hingga kini belum diurus, sementara kalau sudah diurus pun, harus mengikuti tahapan persyaratan dulu yaitu memecah lahan sesuai luas daerah per kebutuhan warga, mengurus akte jual beli dengan perusahaan. ”Jadi butuh waktu yang lama,” ujar Thamsil.

Menyikapi sikap ribuan warga Villa Muka Kuning memprotes Jababa Group terkait sertifikasi tanah yang belum keluar itu, Thamsil mengatakan adalah wajar dan harus lebih aktif mempertanyakan mengenai sertifikat mereka tersebut. ”Masyarakat jangan mau jadi korban, harus lebih aktif mempertanyakan apa yang menjadi haknya di lahan yang kini mereka tempati tanpa sertifikat,” ujarnya. *** Read More.. Read more!

Rumah Bodong, Harga Real Estate!


Warga Villa Mukakuning Demo ke Jababa dan BTN

Seribuan konsumen PT Wanabhakti Batamutama (Jababa Grup) pengembang Perumahan Villa Mukakuning, berunjuk rasa di tiga tempat berbeda, Senin (8/6). Masing-masing di kantor pemasaran Jababa Grup, Bank BTN, dan DPRD Kota Batam. Mereka menuntut sertifikat rumah dan pengaspalan jalan di Perumahan Villa Mukakuning. Mereka menyampaikan keluh kesahnya lewat orasi dan kritikan di pamflet serta spanduk. Beberapa tulisan di pamflet, antara lain berbunyi; Rumah Bodong, Harga Real Estate!, BTN Jangan Asal Stempel Merah, Rumahku Ditato, Warga Perum VMK Dibohongi, dan Penipuan Berdasi.

Aksi damai ini dimulai di kantor pemasaran Jababa Grup di Komplek Lucky Estate, Jalan Raden Patah, Baloi. Warga yang menumpang bus, truk, dan ratusan motor tiba di kantor pemasaran Jababa Grup sekitar pukul 08.45 WIB. Kedatangan mereka disambut puluhan polisi yang jaga di pintu masuk kantor Jababa Grup. Warga yang mengenakan ikat kepala kain warna kuning bertuliskan ”Villa Mukakuning” ini, menagih janji pihak pengembang. “Enam tahun kami menunggu sertifikat. Mana janji-janjimu. Kami sudah banyak dibohongi, ditipu. Jangan janji melulu,” kata Ketua RW 10 Perumahan Villa Mukakuning, Aulia, mengawali orasi.

Orasi Aulia disambut gegap gempita ratusan warga yang didominasi pria. Mereka meneriakkan Jababa tidak menepati janji. Aulia kemudian menyampaikan, dalam tempo 30 hari sejak aksi damai digelar, pengembang harus menyelesaikan sertifikat rumah mereka. Jika tidak, katanya, warga tidak akan membayar KPR ke Bank BTN. Menurut Aulia, jumlah rumah yang telah dibeli warga sebanyak 758 unit. Ada 20 persen sudah lunas baik melalui KPR maupun secara langsung ke pengembang. “Sejak tahun 2003 sudah ada yang lunas tapi belum juga mendapatkan sertifikat. Jadi kami menuntut sertifikat itu. Kami juga menuntut pengaspalan jalan di Blok C dan E,” kata Aulia disela-sela unjuk rasa.

Unjuk rasa itu berlangsung dibawa terik matahari yang menyengat. Namun semangat warga tidak surut. Mereka terus berteriak dan meminta manajemen Jababa keluar menemui mereka. Warga mendesak pengembang memenuhi tuntutan mereka. “Kami tidak akan negoisasi lagi karena sudah sering dijanji-janji tapi tidak dipenuhi,” ujar perwakilan warga lainnya, M Nur.

Perjanjian tersebut, ungkap Nur, tertuang dalam akta notaris Nomor 3081/IX/L/2007 pasal 5. Jika tidak memenuhi perjanjian itu, pengembang harus memberikan konvensasi kepada konsumen. ”Konpensasinya, KPR ke BTN jadi tanggungjawab developer,” tegasnya. Meski cuaca dan suasana memanas, warga tidak terpengaruh untuk berbuat anarkis. Mereka terus meneriakkan agar pihak pengembang menemui mereka. Satu jam berunjuk rasa, perwakilan Jababa Grup Harris Hutabarat akhirnya keluar menemui.

Harris yang mewakili Direktur Jababa Dewi H mengatakan, pihaknya tidak mau janji lama-lama. Sertifikat yang dituntut konsumen, katanya, sudah diproses di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Keterlambatan proses pengurusan sertifikat, lanjutnya, karena HPL dari OB baru diperoleh. “Kendalanya di OB. Sekarang HPL sudah dapat dan sertifikat induk sudah dibayar, jadi (sertifikat) sudah diproses dan tinggal menunggu waktu,” jelas Harris yang berusaha meyakinkan konsumen.
Soal kabar lahan Perumahan Villa Mukakuning termasuk hutan lindung, Harris menepisnya. Ia mengatakan, lahan di Tembesi tersebut memang untuk pemukiman. Kalau pun terjadi keterlambatan penerbitan sertifikat karena pengembang baru mendapat HPL Agustus 2008.


”Harus menjadi HGB dulu baru dipecah-pecah ke masing-masing orang,” terang Harris. Sementara soal jalan yang tak kunjung diaspal di Blok C dan E, warga menuntut segera dikerjakan. Harris pun menyampaikan pengaspalan jalan paling lambat dua bulan ke depan diselesaikan. Setelah mendengar pernyataan perwakilan manajemen Jababa Grup, warga menyerahkan pocongan. Kemudian memasang segel di pintu masuk kantor pemasaran Jababa. Pada kertas itu tertulis “developer ini dalam pengawasan konsumen”.

Dari kantor pemasaran Jababa, warga bergerak ke Bank BTN di Pelita. Di depan bank ini mereka kembali berorasi dan menuntut tanggung jawab moral BTN. Mereka menilai BTN berkonspirasi dengan Jababa sehingga sertifikat tidak keluar. Kepada pihak BTN, warga juga menyerahkan dua pocongan. Di pintu masuk BTN mereka juga memasang segel bertulikan “BTN dalam pengawasan warga Villa Mukakuning”.


Segel yang baru ditempel itu dibuka seorang sekuriti. Tindakan sekuriti BTN tersebut langsung mengundang reaksi. Warga serempak berteriak agar segel itu dipasang kembali. Segel itu pun dipasang dan warga beranjak dari halamanBTN. Mereka menuju DPRD Kota Batam. Di DPRD Batam mereka mengadukannasib yang mereka alami, yakni sertifikat tak terbit dan jalan tak kunjung diperbaiki.

Serbu DPRD dan BTN
Sementara itu, saat berdemo di Kantor DPRD Batam, warga Villa Mukakuning meminta DPRD memfasilitasi dan memanggil pengembang yang membangun Villa Mukakuning dan Bank Tabungan Negara (BTN) Batam, guna mencari solusi tidak keluarnya sertifikat rumah miliki warga. Jika sampai 10 Juli 2009, sertifikat rumah tidak keluar, maka warga tidak mengangsur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di BTN.

Sebelum melakukan unjuk rasa di Dewan, warga sudah mendatangi kantor BTN Batam di Pelita. Selesai melakukan orasi di sana, massa menyerbu DPRD dengan menggunakan bus, sepeda motor, dan pickup. Sampai di gedung rakyat itu, mereka langsung melakukan orasi dengan membentang spanduk yang bertuliskan, minta DPRD menjewer Jababa Grup yang juga pengembang Perumahan Villa Mukakuning.


Koordinator aksi Muhammad Nur mengatakan, warga sudah bosan dengan janji-janji manis Jababa dan BTN yang tak kunjung membuahkan hasil. Ketua DPRD Kota Batam Soerya Respationo bersama dengan Ketua Komisi I Ruslan Kasbulatov, Ketua Komisi III Robert Siahaan, dan anggota Dewan lainnya seperti Asmin Patros, Amiruddin Dahad menerima aspirasi yang disampaikan warga di ruang serbaguna. Dalam kesempatan itu, 10 orang dari perwakilan warga diminta untuk menyampaikan aspirasi ke Dewan.


Muhammad Nur, mengatakan, warga meminta memanggil Jababa dan BTN untuk mencari jalan keluar atas masalah yang mereka hadapi. Sejak perumahan itu dijual ke masyarakat tahun 2003, sampai saat ini belum ada warga yang memperoleh sertifikat. Padahal ada dari warga yang sudah lunas membayar KPR di BTN. “BTN dan Jababa selalu memberikan alasan sampai saat ini tidak ada realisasi,” ujar Nur.

Pihaknya sudah bosan melakukan pertemuan dengan perusahaan tersebut, namun tak membuahkan hasil. Pertemuan terakhir, warga sudah sepakat sampai dengan 8 Juli 2009, jika tidak dikeluarkan sertifikat, maka warga tak akan membayar KPR ke BTN. “Kita tidak mau tahu lagi. Biarkan perusahaan yang menanggungnya,” ujar Nur.

Soerya dalam kesempatan itu menyatakan, Komisi I dan III segara melakukan dengar pendapat dengan PT Jababa dan BTN. Jika mereka tidak datang, jelas Soerya, bisa dipanggil paksa. Acara dengar pendapat akan dilakukan Rabu (10/6), di DPRD. Soerya mengatakan, mungkin masih banyak kasus yang sama terjadi di Batam. Pihaknya akan melihat siapa yang sebenarnya melakukan kesalahan. Warga pada prinsipnya tidak akan dirugikan. “Selama melakukan niat baik dalam transaksi, konsumen tak bisa dirugikan. Pasti ada jalan keluarnya,” kata Soerya. *** Read More.. Read more!

Warga Villa Mukakuning Demo Tuntut Serifikat


Tuding PT Jababa dan BTN Sekongkol

Ribuan warga perumahan Villa Mukakuning (VMK), Batuaji menggelar demo di tiga lokasi yaitu kantor PT Jababa Group (pengembang perumahan Villa Mukakuning), Bank Tabungan Negara (BTN) dan DPRD Kota Batam, Senin (8/6). Mereka menuntut penyelesaian kasus macetnya penerbitan sertifikat tanah mereka. Aksi yang dimulai sejak sekitar pukul 08.00 WIB tersebut melibatkan ribuan warga yang terdiri dari orang dewasa dan anak-anak. Iring-iringan kendaraan yang melintasi sepanjang jalan Batuaji ke kantor PT Jababa di jalan Raden Patah serta BTN di Pelita hingga DPRD di Batam Centre, sempat membuat jalanan macet. Sekitar lima bus besar serta tiga mobil pick-up dan puluhan sepeda motor menjadikan aksi warga perumahan ini sangat menarik perhatian warga Batam.

Di DPRD Kota Batam, massa tiba sekitar pukul 10.43 WIB. Pekik heroik menuntut hak berpadu dengan puluhan spanduk dan poster yang mereka acungkan. Kendati diikuti ribuan massa, namun aksi mereka terbilang tertib. Terlebih, para pendemo juga menandai diri mereka dengan ikat kepala warna kuning bertuliskan Villa Mukakuning. Sesampainya di gedung dewan, massa ditemui oleh sejumlah anggota dewan yang dipimpin langsung Ketua DPRD Soerya Respationo. Usai menyampaikan orasi singkat, 10 perwakilan warga langsung digiring ke ruang Rapat Serba Guna.

Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Soerya serta diikuti oleh Ruslan (Ketua Komisi I), Robert (Ketua Komisi III), Asmin (Anggota Komisi II) dan Amiruddin (Anggota Komisi I) itu, perwakilan warga menumpahkan semua uneg-unegnya.

Koordinator aksi, Muhamad Nur mengungkapkan, persoalan yang dialami warga dengan PT Jababa Group bermula dari pasca ditandatanganinya akad kredit (KPR/ Kredit Pemilikan Rumah) pada tahun 2003 silam. Ketika itu, ada pula warga yang membayar secara cash/lunas, tapi sertifikat rumah tidak didapat.

"Kami dijanjikan sertifikat pada bulan Juni, tapi sampai sekarang tidak jelas," katanya.

"Sampai bulan Desember 2007, masa yang disepakati, sertifikat tidak juga keluar. Kemudian, kesepakatan ulang dijanjikan pada Agustus 2008. Tapi tetap saja, janji tinggal janji, sertifikat kami tidak juga beres. Kesabaran kami sudah habis," lanjut Nur.

Kata Nur, aksi yang dilakukan hari ini merupakan puncak kekecewaan warga setelah berulang kali dibohongi oleh PT Jababa Group. Adapun alasan yang dikemukakan developer adalah sertifikat belum bisa dikeluarkan karena aturan di BPN (Badan Pertanahan Nasional) telah berubah. Kalau dulu PL (Pengelolaan Lahan) sekarang menjadi HPL (Hak Pengelolaan Lahan). Alasan ini sempat membuat emosi warga reda yang kemudian dilakukan mediasi ulang pada Agutus 2007 itu.

Saat itu, cerita Nur, pihak pengembang menyanggupi akan menyelesaikan sertifikat pada Agustus 2008. Kesepakatan ini ditandatangani di depan Notaris Yondri. Dimana didalam pasal 5 disebutkan, kalu pihak developer tidak selesai sampai batas waktu yang ditentukan mereka harus membayar Rp250 ribu perbulan. Kalau tidak selesai tiga bulan dari batas waktu yang ditentukan mereka harus membayar warga menjadi Rp500 ribu. Jika tiga bulan berikutnya juga tidak selesai, maka pihak developer harus membayar kreditan rumah hingga lunas.

"Hari ini kami pertegas, kalau sampai tanggal 8 Juli nanti masalah sertifikat ini tidak juga beres, maka kami seluruh warga Villa Mukakuning sepakat untuk menghentikan KPR. Selanjutnya, seluruh biaya KPR menjadi tanggung jawab pengembang sebagaimana yang telah disepakati di depan notaris," kata Nur mantap.

Ditambahkan Ketua RW 10 Kelurahan Tembesi, Aulia M, persoalan warga kepada developer tidak hanya sertifikat yang tidak jelas, namun juga terkait belum dipenuhinya kewajiban pengembang atas sejumlah fasilitas/sarana publik yang semestinya disediakan seperti pengaspalan jalan.

"Pengaspalan jalan di lingkungan kami sudah seringkali dijanjikan oleh pengembang tapi sampai sekarang tidak pernah terealisasi. Kalau hujan, selalu menjadi langganan banjir," katanya.

"Kami juga meminta agar BTN tidak lepas tangan. Bagaimanapun, dalam kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, BTN juga ikut melakukan negosiasi dengan warga dan pengembang," lanjut Aulia.

Setelah mendengar uraian masalah tersebut, Soerya Respationo menyatakan akan segera memanggil pihak developer dan juga BTN serta BPN dan Otorita Batam. Untuk tahapan penyelesaian, masalah ini didisposisi oleh Komisi I yang membidangi hukum perlindungan konsumen bersama dengan Komisi III tentang sarana dan prasarana.

"Ada dua hal pokok yang saya tangkap dari masalah ini, yaitu persoalan sertifikasi dan penghentian pembayaran KPR. Ditambah sejumlah masalah terkait fasilitas di lingkungan perumahan. Saya minta kepada Komisi I dan Komisi III untuk memanggil pihak-pihak terkait," katanya yang disanggupi oleh Ruslan dan Robert yang duduk di sisi Soerya.

"Dua hari dari sekarang atau hari Rabu tanggal 10 pukul 10.00 WIB, Komisi I akan menggelar hearing atau rapat dengar pendapat. Kita minta warga untuk mengirimkan perwakilannya. Komisi III juga ikut," kata Soerya menegaskan. *** Read More.. Read more!

1.000 Warga Ancam Demo

HARI Senin (8/6) lalu, 1.000 warga Perumahan Villa Mukakuning Tembesi menggelar aksi damai di tiga tempat sekaligus, yakni PT Wanabhakti Batamutama selaku pengembang Villa Mukakuning, Bank BTN, dan DPRD Kota Batam. Aksi damai yang rencananya dimulai dimulai pukul 09.00-13.00 WIB untuk menuntut hak mereka terkait sertifikat rumah dan pengaspalan jalan.

”Sebenarnya masalahnya tidak sulit, cuma pihak pengembang selalu memberikan janji-janji yang sangat memuakkan warga,” kata Koordinator Aksi Damai warga Villa Mukakuning, Muhammad Nur saat ditemui Batam Pos di rumahnya, kemarin (7/6).
Nur mengatakan, sebagian besar warga Villa Mukakuning melakukan akad kredit di BTN. Namun, ketika angsuran rumah sudah lunas, warga tidak bisa menerima sertifikat rumah. Alasannya, tidak memiliki Hak Penggunaan Lahan (HPL). ”Padahal, perjanjian sebelum akad kredit, ketika rumah lunas, kami berhak mendapatkan sertifikat,” katanya.

Diterangkannya, untuk membangun perumahan, pengembang cukup mengantongi Penggunaan Lahan (PL). Namun, sekarang peraturannya berbeda, yakni harus mengantongi Hak Penggunaan Lahan (HPL). Hal ini sesuai dengan aturan BPN yang berubah pada Juni 2006.

Untuk mencari solusinya, terang Nur, warga sudah berulang kali menggelar pertemuan dengan pihak pengembang, yakni PT Wanabhakti Batamutama. Pada saat itu sudah ada kesepakatan antara warga dan pengembang. ”Pengembang berjanji, paling lama Agustus 2008, masalah tersebut harus clear,” ujarnya.

Hal ini juga diperjelas dengan Keputusan Kepala BPN Nasional RI No.26-PL-BPN RI-2008, tentang hak penggunaan lahan Villa Mukakuning. Namun, hingga saat ini, kesepakatan tersebut belum ada realisasinya. Untuk itu warga tidak mau melakukan negosiasi kembali kepada pihak pengembang.

Hal ini, lanjutnya, sesuai dengan kesepakatan warga dan pengembang yang tertuang dalam Akta Notaris Nomor 3081/IX/L/2007 pasal 5, tentang kompensasi kepada warga. Di antaranya, PT Wanabhakti Batamutama akan membayar seluruh biaya angsuran rumah, bagi yang belum lunas, sampai dikeluarkannya sertifikat rumah. Sementara itu, bagi yang rumahnya sudah lunas, PT Wanabhakti Batamutama memberikan kompensasi sebesar Rp1 juta per unit. *** Read More.. Read more!

Jababa Langsung Bayar BPHTB

Buntut Demo Warga Villa Mukakuning

* 20 Titik Kawasan Padat Penduduk Terindikasi Hutan Lindung

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam mengatakan PT Wanabhakti, anak perusahaan dari Jababa Group sudah menyerahkan bukti hasil pembayaran BPHTB dan uang pemasukan kepada negara atas tanah dari lahan Villa Muka Kuning di Batuaji, Selasa (9/6).

"Iya, saya tanya staf di depan, katanya pagi tadi (kemarin, red) perwakilan dari Jababa Group sudah menyerahkan bukti pembayaran BPHTB dan uang pemasukan negara atas tanah. Mereka telah membayarnya melalui BNI," ujar Kabag Humas dan Tata Usaha BPN Kota Batam, Muhamad Thamsil kepada Batam Pos di kantornya, Sekupang kemarin.

Mengenai jumlah berapa besar pembayaran BPHTB dan uang negara sesuai bukti data yang diserahkan Jababa Group, Thamsil mengatakan tidak mengetahui dengan pasti.

"Yang jelas, setiap tahun pembayaran biaya BPHTB dan uang atas negara selalu naik sesuai dengan harga dasar tanah," ujar Thamsil.

Sementara ketika disinggung mengenai jumlah dan titik mana saja perumahan di Batam yang sertifikasinya masih terkendala karena HPLnya terindikasi hutan lindung, Kepala BPN Kota Batam, Isman Hadi mengatakan butuh waktu untuk mendatanya kembali.

"Kita mesti lihat peta dulu, sudah berapa luas lahan di Batam yang sudah terpakai, demikian dengan jumlah perumahan yang terkendala status," ujarnya.

Sementara dalam pernyataan BPN sebelumnya, ada 20 titik kawasan di Batam yang HPLnya terindikasi masuk kawasan hutan lindung. Luasnya mencapai 12.081,60 hektar, termasuk kawasan Sekupang, Tiban, Lubuk Baja, Batu Ampar dan kawasan lainnya. *** Read More.. Read more!

DPRD Minta Panggil Paksa


Kepala cabang BTN Batam Hendriyanto

Petinggi Jababa Tak Hadiri Dengar Pendapat

Ketua Komisi I DPRD Kota Batam Ruslan Kasbolatov akan memanggil secara paksa petinggi pT Jababa Group di Jakarta untuk menghadiri dengar pendapat (hearing) dengan Komisi I, Bank Tabungan Negara (BTN), Otorita Batam, serta konsumen yang telah membeli rumah di Villa Mukakuning yang dibangun PT Wanabhakti, anak perusahaan Jababa Group. Komisi I berang hearing kemarin, Jababa tak hadir.

Semula, Komisi I sudah mengirim undangan ke Jababa untuk hadir dalan hearing yang berlangsung Rabu (10/6), bersama dengan warga yang mempertanyakan sertifikat warga yang tidak keluar sampai saat ini, padahal mereka sudah melunasi angsuran Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Karena pihak pengambil keputusan tidak hadir, warga tidak bersedia melanjutkan hearing.

"Percuma saja, hearing jika Dewi, dari Jababa tidak hadir. Karena keputusan ada di ibu Dewi," kata Muhammad Nur, saat hearing.

Ruslan menyebutkan, pihak Jababa sudah sering dipanggil hearing, tetapi selalu tidak hadir. Perusahaan tersebut hanya mewakilkan kepada karyawannya yang tidak bisa mengambil keputusan.

"Kita harap dia datang dengar pendapat Senin (15/6). Jika tak datang aparat kepolisian yang menjemput secara paksa," kata Ruslan.

Muhammad Nur menambahkan, sampai dengan 8 Juli, masalah sertifikat ini tidak tuntas, maka warga kompak tak melakukan pembayaran kepada BTN. Karena warga tetap berpedoman dengan perjanjian dengan notaris yang dilakukan warga dengan pihak pengembang perumahan.

Kepala cabang BTN Batam Hendriyanto mengatakan BTN juga mengharapkan pihak Jababa hadir dalam dengar pendapat. BTN meminta BTN pusat untuk menghadirkan Jababa ke Batam.

"Kami ingin mengetahui langkah perusahaan dalam menyelesaikan masalah ini. Pasalnya hubungan BTN dengan warga antara debitur dan kreditor dalam perjanjian kredit," katanya.

Masalah yang terjadi saat ini, lanjut dia, sepenuhnya tanggung jawab developer. Termasuk menyediakan surat menyurat dan dokumen penting lainnya termasuk sertifikat.

"Developer harus menyelesaikan kewajibannya. Kami dan warga sama-sama membutuhkan penjelasan dari perusahaan," katanya. *** Read More.. Read more!