Tok... Tok... Tok...BAKSO, BANG!

Thursday, August 14, 2008

PEKAN lalu cuaca di Batam cukup panas. Suhunya sampai bikin gerah plus keringatan. Di ruang tamu yang nyempil di rumah kontrakan tipe 21 di perumahan RKT Batuaji tak berplester, Saiman sedang duduk santai. Kepulan asap rokok kretek dari mulutnya dihembuskan sepuasnya. Bapak empat anak ini, baru menyelesaikan sebagian pekerjaannya ketika Batam Pos bertamu ke rumahnya.
”Baru selesai bikin bakso,” ujarnya ramah, sembari mempersilakan Batam Pos masuk ke rumahnya. Beberapa pria lajang yang sebelumnya duduk bersamanya langsung pindah ke ruang sebelah, yang tidak lain kamar tidur utama rumah itu. Di kamar itulah para pria tersebut memilih kesibukan masing-masing. Mereka adalah para pedagang bakso keliling yang sudah lama ikut dengan Saiman.
Setelah berbincang beberapa saat, Saiman mematikan rokoknya, dan kembali bekerja, menggiling cabai. "Sekarang tinggal selesaikan bumbu," ujarnya. Perlahan tapi pasti, pria kelahiran Sumberdem, Jawa Timur bertutur tentang profesinya. Tiga tahun (1997-2000) ia sudah jadi pedagang bakso keliling.
Pengalaman itu hampir sama dengan pedagang bakso keliling yang ikut dengannya sekarang. Awalnya, setibanya di Batam Saiman juga ikut orang di ruli Sukajadi, berdagang bakso keliling. Di situlah Saiman mulai menemukan jalan hidupnya. Membantu menjual bakso menjadi pengalamannya yang tak ternilai.
Tahun 2000, ruli Sukajadi digusur, Saiman pun berjualan sendiri. Ia memberanikan diri meminjam uang Rp1 juta dari rentenir membuat gerobak bakso. Sisanya membeli keperluan dagangan. ”Dua tahun lamanya saya pinjam seperti itu,” ujarnya. Lima tahun kenyang menjajakan bakso keliling, perlahan ia menambahi gerobak. Setiap tiga bulan sekali, Saiman berhasil menyisihkan penghasilan membuat gerobak baru, hingga sekarang sudah ada 10 gerobak.
Untuk menjalankan semua gerobak itu ia minta anak, menantu dan saudara di kampung. Satu peristiwa yang tak pernah dilupakannya. Karena jalanan bergelombang, api kompor bergoyang-goyang menyambar gerobak. Tak pelak, gerobak dorongnya sempat terbakar, kuah bakso pun dimanfaatkan untuk menyiram api. ”Kalau ingat itu saya selalu tertawa,” akunya seraya tertawa teringat masa perjuangan silam.
Penghasilan kata dia tidak bisa diprediksi. Cuaca adalah penentu. ”Seenak apapun bakso buatan kita kalau sudah panas, selera orang makan bakso pasti berkurang,” tutur Saiman.
Gurat ketuaan jelas terlihat di wajahnya, namun Saiman masih gigih dan cekatan. Setiap pukul 05.00 WIB, Saiman harus bangun untuk belanja daging dan lainnya ke pasar. Saat ia berbelanja, istrinya Kasminah (53) sudah menyiapkan yang lain seperti memasak air. Setibanya dirumah daging langsung digiling lalu membuat bakso. ”Begitulah setiap hari,” katanya.
Sekitar pukul 12.00 WIB semua sudah harus beres, dan pukul 15.00 WIB sudah harus mendorong gerobak masing-masing. ”Minimal, kita dua jam harus istirahat siang, agar kuat sampai malam,” ujar Saiman. Menurutnya, mengelola usaha makan tidak mudah. Harus tahan banting dan pintar mengelola pemasukan maupun pengeluaran. Apalagi ketika harga-harga naik akibat kenaikan BBM, ia pun harus pintar mereka-reka agar tetap untung tanpa mempengaruhi kualitas masakan.
Ia menegaskan sampai saat ini tidak mengurangi daging atau menambah tepung pada baksonya. Diusahakan kualitas tetap terjaga, daging dipilih yang terbaik. ”Harganya juga tetap Rp5 ribu, kalau ikut naik malah bisa tidak laku,” paparnya diamini sang istri. Saiman memang tidak lagi jadi pedagang bakso keliling. Ia tidak kuat lagi, sudah tua. Kini ia tinggal mensuplai keperluan untuk lima dagangan bakso keliling tersebut. Posisi itu sudah digantikan para pemuda yang tidak lain adalah anak, menantu dan saudaranya dari kampung.
Sebagai pedagang bakso keliling, aktivitas kerja yang dilakukan Saiman adalah mencari konsumen bakso yang dijual, lalu melayani dan membersihkan mangkuk kotornya.

Bagi Hasil
Bagi hasil. Sistem inilah yang digunakan Saiman, agar yang ikut dengannya semangat mencari konsumen dan bisa bertahan hidup di Batam. Dari total penjualan, masing-masing menerima nersih 25 persen. Sedang uang makan, tempat tinggal, biaya air dan listrik sudah ditanggung. ”Uang transportasi memang tidak ada, karena kemana-mana pakai jalan kaki,” ujarnya tersenyum.
Agar hasil dagangannya terjual banyak. Setiap pedagang harus bisa menempuh wilayah yang cukup luas, meski harus menguras tenaga. Itulah kini yang dilakoni Pendi, Memen, Wito, dan Sugiarto termasuk Mardi anak Saiman yang kini menggantikannya sebagai pedagang bakso keliling. Saiman menyebut mereka kader.
Soal penghasilan, lanjut Saiman, para pedagang bakso keliling tergantung pada cuaca. Biasanya keinginan mereka selalu berseberangan dengan pedagang es krim keliling. Jika cuaca mendung, penghasilan akan lumayan, tapi kalau panas pembeli sedikit. Pedagang yang sama bertaburan dimana-mana juga menyebabkan penjualan menurun.
Tak jarang kekecewaan juga menghampiri para pedagang bakso keliling. Seperti Sugiarto yang sudah ikut Saiman hampir empat tahun ini pernah tak membawa hasil. Gerobaknya terjungkal disenggol taksi di Paradise Mukakuning. ”Sedih rasanya waktu itu, tak bawa hasil apa-apa karena baru keluar,” kenangnya.
Dipalakin orang mabuk juga sudah menjadi langganan. Minimal dalam sebulan itu ada sampai empat sampai lima kali. ”Kalau gak sampai dua mangkuk tak masalah, kadang ada yang minta sampai lebih. Tapi bagaimana lagi itu sudah resiko jualan,” ujar Sugiarto mantan buruh bangunan ini.
Masih menurut Sugiarto, akhir bulan atau bulan tua ditambahi dengan cuaca panas, juga ikut mempengaruhi penjualannya mereka. Tapi berkat keuletan sabar dan tekun menjadi kuncinya dalam menjalankan usaha sehingga berbuah manis. Suka duka dijalani dengan sabar tanpa mengeluh.
Alhasil, Sugiarto kini bisa mengirim dari uang yang dikumpulkan Rp20 ribu per hari membantu adiknya sekolah dan orangtua di kampung.
Pendi yang sudah ikut Saiman delapan tahunan juga mengaku masih bertahan dengan profesi itu. Maklum pekerjaan ini sudah jadi pilihan terakhir di usianya menginjak 33 tahun. Tiga anaknya membutuhkan biaya hidup dan sekolah, memaksanya sulit bergerak mencari pekerjaan baru. Setiap saat kata Pendi mereka butuh uang, makanya ia selalu hati-hati menggunakan uang.
Agar bisa memenuhi kebutuhan keluarganya di Jawa, Pendi tak memedulikan jauhnya dia harus mendorong gerobaknya.
Pendi mengaku wilayahnya paling luas. Mulai Tembesi, Perumahan Cipta Asri, Villa Mukakuning, Genta III, Merapi Subur hingga SP Plaza. ”Anak saya paling besar sudah kelas 2 SMEA. Dia butuh biaya banyak. Kalau dia lulus baru bisa lega karena sudah bisa bantu saya,” ujarnya.
Kehidupan Saiman memang masih pas-pasan. Rumah kontrakan terlihat kurang tertata.
Dinding batako berlubang di seluruh bangunan terlihat jelas karena tak berplester. Lubang-lubang itu ditutupi semen dan plastik seadanya. Lantai dari semen yang ditutupi karpet plastik juga sudah kusam. Meski terlihat seadanya, namun baik Sugi, Pendi, Wito, dan Sugiarto termasuk Mardi berharap di hari esok, ingin menjadi tauke bakso.
”Minimal bisa jadi bos bakso, dan punya semangat seperti Pak Saiman,” kata mereka tersenyum. ***