Palang Merah Indonesia Batam Kini Berbenah Diri

Saturday, September 13, 2008

Setelah menggelar dialog dengan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di Sagulung, Batam Forum Batam Pos meneruskan roadshow dialognya, Kamis (11/9) dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Kota Batam. Banyak hal menarik yang perlu diketahui dari organisasi (PMI Batam) yang dirintis Mayjen (Purn) Soedarsono Darmosuwito (alm) tahun 1990 itu.
Selama 17 tahun mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat di pulau Batam, PMI Batam telah banyak melakukan kegiatan kemanusiaan. Namun di usianya tersebut, PMI Batam menyadari masih merasa kurang akan pelayanan terhadap masyarakat.
“Keterlambatan mendapatkan informasi dan pemberian bantuan untuk korban bencana, membuat kami merasa kecil. Karena itu, kami akan selalu evaluasi diri dan akan berperan aktif menjadi lebih baik,” ujar Ketua PMI Cabang Batam, Sri Sudarsono dalam dialog Batam Forum Batam Pos, Kamis (11/9). Hadir dalam dialog itu adalah Kepala Unit Transfusi Darah Cabang Dr Trihalati Machdar. Tato Wahyu Wakil Ketua PMI, dan Herry Sekretaris Cabang dan beberapa pegawai PMI Cabang Batam.
Dokter Trihalati Machdar menambahkan partisipasi masyarakat masih tergolong rendah dalam mendonorkan darah. Hal itu bisa dilihat kebanyakan dari pendonor rutin. Misalnya, dari anggota Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) Batam.
Sekarang ini PMI masih mengharapkan PDDI, jika mereka kehabisan stok di bank darah. “Kalau stok PMI kurang, kita langsung menghubungi PDDI. Biasanya PDDI langsung menurunkan anggotanya mendonorkan darah,” kata Dr yang akrab dipanggil dokter Ati ini.
Di Batam kata dokter Ati, permintaan pasien akan darah tergolong cukup tinggi. Dalam sebulan PMI selalu mendistribusikan darah kepada pasien (masyarakat) yang membutuhkan hingga 600 kantong.
Sehingga jarang darah yang bertahan selama 35 hari itu sampai terbuang. Ternyata dari 600 kantong tersebut yang paling banyak membutuhkan adalah ibu yang sedang melahirkan (pendarahan), penyakit lain dan terakhir adalah kecelakaan lalu lintas.
“Tapi sejauh ini antara supplies dengan demand terhadap darah masih terbilang seimbang,” ungkapnya.
Kecuali di bulan ramadan ini, semestinya kegiatan donor menjadi bulan berkah. Namun tidak bagi pasien yang membutuhkan darah. Justru di bulan yang suci ini persediaan darah di PMI sedang menipis. Banyak pendonor menunda melakukan donor di bulan puasa ini. Kecuali beberapa hari ini dari warga Tionghoa yang mau mendonorkan darah secara perorangan.
Selama ramadan, orang yang mau mendonorkan darahnya tidak banyak. Jumlahnya baru empat orang saja. Angka ini jauh berbeda dengan angka di hari-hari biasa. “Sekarang ini (bulan puasa) pendonor agak berkurang, karena banyak yang kuatir dengan kondisi tubuhnya. Padahal sebenarnya sih tidak masalah,” ungkap dokter yang juga bertugas di RS Otorita Batam ini.
Meski sudah lama berdiri di Kota Batam, namun eksistensi PMI di masyarakat masih kerap dipertanyakan. Perta­nyaan yang muncul, antara lain; Apakah PMI menjual darah? Kenapa ada pu­ngutan PMI? Terkait hal ini memang tidak dipungkiri oleh dokter Ati.
Namun, semua itu PMI lakukan bukan untuk mencari keuntungan. Melainkan demi melancarkan kinerja PMI agar bisa berperan dan bermanfaat di tengah-tengah masyarakat. Sebab, sampai saat ini partisipasi pemerintah daerah (Pemda) mendukung pendanaan untuk
PMI juga sama sekali tidak pernah ada.
Meski tidak ada anggaran dari APBD yang dialokasikan kepada PMI, tetapi mau tidak mau, PMI tetap menjalankan misinya; kemanusiaan. Misalnya, saat pasien miskin tidak mampu membayar sepenuhnya, PMI tetap saja menolong memberikan darah yang dibutuhkan.
Namun PMI tidak mau mendidik masyarakat menghilangkan rasa tanggungjawabnya. Untuk itu PMI tidak memberikan darah yang dibutuhkan pasien secara cuma-cuma. “Paling tidak pasien bayar seadanya,” ungkap dokter Ati. Masyarakat masih banyak yang tidak mengerti mengapa PMI melakukan itu.
Perlu diketahui lanjut dokter Ati, setiap kantong darah membutuhkan biaya. Mulai membeli kantong darah yang harganya Rp 40 ribu perkantong. Kemudian membeli ekstra puding seperti telur, kacang hijau dan lainya sebagai pengembalian gizi kepada pendonor.
Selain itu juga butuh biaya pemeriksaan darah pendonor apakah mengidap penyakit seperti HIV, diabetes, dan penyakit lainnya.Semuanya harus diperiksa sebelum darah didonorkan kepada orang lain. “Berprasangka boleh saja tapi menurut
saya mungkin mereka belum mengerti,” katanya.
Bahkan untuk menutupi biaya keluar sekecil mungkin terpaksa harus diupayakan PMI dengan berbagai cara. Salah satunya melakukan kerjasama dengan orang-orang yang melakukan bakti sosial. Misalkan jika perusahaan si A melakukan bakti sosial, PMI meminta perusahaan itu menyediakan makanan pengganti gizi untuk si pendonor. “Ini kami lakukan agar tetap exist membantu masyarakat,” ujarnya.

Memang kata dokter Ati, dulu PMI disubsidi dari Departemen Kesehatan (Depkes). Harga kantong dari Rp 40 ribu perkantong setelah disubsidi menjadi seharga Rp 23.000. Sedangkan untuk satu kantong darah dihargai Rp 150 ribu. Namun begitu subsidi itu dicabut yang beralaskan otonomi daerah menyebabkan harga daerah perkantong menjadi Rp 268.000 perkantong.***