Jalan Panjang Para Penyapu Jalan

Saturday, September 27, 2008

Berkutat dengan pekerjaan tak mengenakkan, berbagai bau busuk serta sampah setiap pagi ditambah dengan upah yang seadanya terpaksa dilakukan Nahwan, demi menopang roda kehidupan. Sekelumit kisah dari penyapu jalan yang mendapatkan sarapan “sampah” setiap paginya.
Siang di bawah terik matahari Batam Pos menemukan wajah lusuhnya. Tubuhnya terlihat masih kuat mulai digerus usia. Tiga puluh dua tahun sudah usia menggerogoti wajah mudanya. Memakan habis ototnya. Membungkukkan tulang punggung dari badan tegarnya.
Nahwan, begitu panggilan akrabnya. Kehidupannya sebagai tukang sapu jalanan di daerah Lippo Bank Nagoya, Pelita hingga Jodoh membuatnya akrab dengan pelbagai kendaraan, yang tentu tak pernah mampu dimilikinya. Sekadar berkhayal punya pun mungkin ia tak sanggup. Berada di dalam mobil hanya beberapa menit untuk mencoba pedal gas mungkin juga terasa aneh baginya.
Sosok pendiam ini capek menjalani rel panjang kehidupannya. Ia bosan pada kemiskinan yang membelit. Namun dia tak sanggup lari dari kemiskinan yang terus saja menguntit perjalanan hidupnya.
Nahwan menjadi penyapu jalan sejak tahun 2005. Saat itu, ia digaji harian sekitar Rp25 ribu per hari. Sekarang, ia sudah mendapatkan gaji bulanan. Besarnya, Rp960 ribu atau sesuai dengan UMK Batam. Uang itu, ia terima dari Dinas Kebersihan Kota Batam. Sudah tiga tahun Nahwan menerima upah dari instansi pemerintah tersebut. Meski tak mencukupi memenuhi kebutuhan keluarganya, Nahwan tetap setia pada pekerjaan itu. Karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya selain itu.
”Yang penting dapat uang buat makan,” ujar ayah dari satu anak ini.
Lelaki kelahiran Purbolinggo, Jawa Tengah ini tinggal di rumah liar (ruli) Seraya Bawah RT05/RW01, Nagoya, Batam. Penyangga rumah Nahwan pun hanya setinggi tanaman jagung. Di tengah bangunan-bangunan tinggi Nahwan hidup serba kekurangan. Potongan-potongan tripleks yang menempel pada setiap kayu penyanggah rapuh itu menjadi saksi tentang pahitnya kehidupannya. Untung saja pemilik lahan belum meributkan soal lahan ini.
”Kalau sampai digusur, entah akan tinggal di mana,” ujarnya.
Rumah seluas 3 x 3 meter itu dihuni bersama adek dari keponakannya. Istrinya, Rosiawaty, 25 tahun, dan anaknya, Rizal, 3 tahun, terpaksa tinggal di kampung karena tak mampu menghidupi ala kadarnya di Batam.
Penghasilannya dari menyapu jalan sampai sekarang adalah yang menjadi sumber kehidupan istri dan anaknya di kampung. Nahwan sering berpikir kenapa kemiskinan tak juga pergi darinya. Dia sedih jika memikirkan itu. Matanya menerawang jauh bersama angin bertiup kencang menjatuhkan daun-daun pepohonan.
Debu-debu jalanan beterbangan melewati bulu-bulu matanya dan melilipkan matanya. Bising knalpot kendaraan semakin akrab menderu-deru. Dalam keramaian, Nahwan menjalani hidupnya dari hari ke hari. Sorot matanya yang tajam mencoba menelisik jauh makna hidup.
Ketegarannya mencoba menghancurkan dinding keangkuhan dan kerasnya hidup. Dengan otot muda yang kian melembek dia ingin mendobrak pintu menuju singgasana megah dan masuk ke dalamnya. Aku di sini, di hadapannya, kian mengerti bongkahan demi bongkahan kesabaran kian luluh.
Rasa sedih selalu menghampirinya, khususnya setiap bulan Ramadan yang sudah tiga kali dilaluinya tanpa keluarga. Sedih, apalagi saat malam takbiran, kangen dengan keluarga dan ingin pulang berkumpul bersama mereka. Tapi niat itu tak kesampaian karena uang tak cukup. Meski bertaut dengan kekurangan dan kemiskinan, Nahwan masih bangga dengan dirinya, karena selama puasa tidak satu hari pun yang bolong.
”Saya sering menangis sendiri. Apalagi, dengar suaranya di telepon yang selalu bilang bapak kapan pulang? Makin sedih, karena dia yang dulu saya tinggal masih usia enam bulan kini sudah bisa bicara. Saat itu saya hanya membesarkan hati mengatakan inilah hidup,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Tiga tahun tahun terakhir, Nahwan selalu melayani hidupnya di rumah sendiri. Mulai memasak, mencuci, memikul belasan ember air dari sumur untuk digunakan sore hingga malam. Semua dikerjakan olehnya subuh-subuh sebelum pergi bekerja. Saat pagi baru merekah itulah, Nahwan meninggalkan rumahnya. Berbekal sapu bergagang panjang di bahu, sekop dan plastik di tangan, ia berangkat ke simpang Lippo Bank Nagoya untuk menyapu jalan.
Kesenangan sesaat bisa mereka rasakan pada subuh hari tersebut ketika berjalan rame-rame bersama 20 penyapu jalan lainnya yang tinggal berkedakatan di ruli Seraya. Setelah itu rasa sedih itu akan kembali menggelayut di pikiran mereka.
Penghasilan bekerja dari pukul 05-00 hingga 10.00 WIB bagi Nahwan tidaklah cukup dengan kehidupan yang serba mahal di Batam. Nahwan pun mencari penghasilan sampingan dengan cara mengumpulkan barang bekas. Usai pulang menyapu jalan, ia mengumpulkan kaleng-kaleng dan karton-karton bekas untuk dijual kembali kepada pengumpul. Ia mendapat penghasilan dari sekitar Rp 20 ribu per hari. Bahkan, di hari libur pun ia tetap bekerja.
Hari itu juga, sebuah kaleng bekas ia masukkan ke kantong baju seragam kerjanya. ”Kaleng-kaleng ini saya jual untuk menambah penghasilan. Tapi di bulan puasa ini saya jarang turun, fisik tidak kuat,” ujarnya sembari menunjukkan kaleng minuman kaleng tersebut.
Meski bekerja keras, namun Nahwan mengakui kalau ia masih sering menjadi langganan mengutang kepada rekan-rekan sekerjanya jika ingin mengirimkan uang ke kampung. ”Kami selalu giliran mengutang sesama teman kalau mau mengirim ke kampung. Itupun bisanya Rp 500 ribu. Tapi di bulan Ramadan ini rasanya sulit, tapi harus, kasihan si kecil jadi harus di bela-belain,” ungkapnya.
Harapan satu-satunya dia ingin bisa pulang kampung tapi rencana itu belum bisa diwujudkannya tahun ini. ”Tapi kalau anak sudah mau masuk sekolah, saya pasti pulang,” ujarnya.
Ia juga berharap kepada pemerintah agar memperhatikan nasib mereka. Setidaknya upah pekerja kasar bisa sama dengan kebutuhan hidup layak (KHL). Sehingga di tahun-tahun berikutnya mereka bisa menabung untuk ongkos pulang ke kampung.
Dengan UMK sekarang, Nahwan mengaku hanya bisa makan ala kadarnya. Hari-hari ia lalui dengan makan dengan lauk tahu dan sayur toge. ”Beli Rp 5 ribu sudah bisa bertahan sampai setengah bulan. Kalau bosan, tinggal petik daun singkong di tengah jalan begitulah setiap hari,” ujarnya. Tiga tahun sudah Nahwan berkutat dengan derita, debu, dan sampah. Jalan-jalan juga semakin panjang. Tugas mereka pun semakin bertambah. ”Awal-awalnya sih capek. Tapi sekarang sudah terbiasa,” katanya.
Nahwan mengaku dia ke Batam sudah sejak tahun 1995. Setibanya di kota industri ini menjadi buruh bangunan. Ia hanya bertahan enam bulan dengan pekerjaan keras itu. Kemudian ia beralih profesi bekerja di penginapan Gajah Mada dan berpindah lagi ke Karaoke Mutiara sebagai tukang parkir. Begitulah kehidupan Nahwan saat itu, bekerja serabutan, yang penting bisa makan.
Waktu tak juga mengubah nasibnya, profesi sebagai buruh bangunan pun ia geluti selama tiga tahun. ”Ruko di Tembesi sebagian adalah hasil kerja saya,” ujarnya tersenyum. Kerinduannya pada kampung halaman membuatnya pulang tahun 1998. Kapal Pelni bernama Rinjani adalah satu-satunya alat tranportasi paling murah saat itu ke Jakarta. Itupun harus berangkat dari Tanjungpinang dengan ongkos Rp 60 ribu sampai di Jakarta dan diteruskan naik bus ke kampung halamannya di Purbolinggo.
Di tahun yang sama Nahwan pun kembali lagi ke Batam. Pekerjaannya juga serabutan selama tiga tahun tapi tak jauh dari buruh bangunan dan tukang sapu. Karena kesusahan terus membelitnya, tahun 2001 ia pun hijrah ke Jakarta. Disana juga dia tak lepas dari kerja kasar, sebagai tukang las. Tak lama dia disana dia pun pulang kampung dan menikahi seorang gadis bernama Rosiawaty. Enam bulan setelah kelahiran Rizal anaknya, akhir tahun 2005 Nahwan pun memutuskan meninggalkan istri dan anaknya ke Batam hingga sekarang. Di kota metropolis ini Nahwan terus mengadu nasib dan berharap ada perubahan.
Mulyadi, penyapu jalan lainnya hanya berharap pemerintah yang paling berharga ke depannya adalah dengan meningkatkan penghasilan mereka sama dengan kebutuhan hidup layak di Batam. Dia mengakui upah yang mereka terima sekarang belum juga layak. Bahkan warga rumah liar Pasir Indah Batuaji ini yang baru pulang dari kantor Dinas Kebersihan Kota Batam mengaku baru mengajukan permohonan pinjaman. ”Saya tak punya uang, jadi pinjam ke koperasi,” katanya.
Pinjaman yang dia ajukan ke koperasi Dinas Pasar itu dinilai cukup besar. Itupun tidak utuh diterima karena dipotong biaya administrasi. Bahkan temannya sampai terkaget-kaget ketika Mulyadi menyebut nominalnya sebesar Rp 2 juta. Setiap bulan, Mulyadi harus mengembalikan dengan sistem mencicil sebesar Rp 550 ribu. ”Uang nanti mau saya kirim buat keluarga di kampung,” ujarnya.
Mulyadi yang asal Semarang ini sudah bertugas selama 18 tahun. Sudah lima tahun dia tak pernah pulang ke Semarang. Sehari-hari dia mendapat tugas menyapu sampah dari simpang Barelang hingga markas Brimob. Dia hanya berharap perhatian pemerintah dapat meningkat untuk mereka. Memang dari tahun ke tahun, gaji mereka naik sesuai dengan pergerakan UMK. Ada saat-saat mereka mendapatkan bonus, seperti saat Batam meraih Adipura tahun lalu. Nahwan dan Mulyadi bersama 410 petugas lainnya mendapatkan bunus Rp 200 ribu dari Pemko Batam. ”Wali Kota juga memberi bantuan hanya belum kami terima. Kalau mau puasa, kami juga dapat beras dan sembako. Kami juga dapat THR. Ini adalah bentuk perhatian dan kami sangat menghargainya,” katanya. ***





Dua kali sudah kota Batam menyandang gelar kota terbersih. Dan dua kali itu juga kota industri ini mendapat penghargaan. Semua itu tidak terlepas dari kegigihan dan tanggung jawab para penyapu jalanan. Begitulah Wakil Wali Kota Ria Saptarika menyanjung para penyapu jalan. Masih segar diingatan, kegembiraan jelas terpancar dari wajah ratusan penyapu jalan, ketika Piala Adipura diarak Juli 2008 lalu. Para penyapu jalan secara beramai-ramai mengarak Piala Adipura berkeliling Kota Batam.
Termasuk Nahwan mengaku ikut dalam arak-arakan itu. ”Itu kebanggaan yang tak terhingga nilainya dari hasil kerjanya selama tiga tahun,” katanya.
Bahkan setibanya di Kantor Wali Kota, para penyapu jalan bersorak-sorai sambil mengangkat Piala Adipura. Begitu juga dengan Wakil Wali Kota Batam, Ria Saptarika. Ria mengatakan, Piala Adipura itu harus terus dipertahankan. ”Kita bangga karena kinerja penyapu jalan, penggali parit dan drainase, membuahkan hasil. Kerja keras semuanya membuat Batam mendapat Piala Adipura. Saya berterimakasih kepada pahlawan kebersihan ini,” kata Ria.
Saat itu juga, Pemko Batam memberi penghargaan kepada lima orang mewakili pengangkut sampah, penyapu jalan, pengelola sampah, dan petugas dari Puskesmas. Mereka dianggap berjasa untuk kebersihan Batam.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Batam, Azwan dengan bangga mengatakan, Batam menempati peringkat kedua setelah Pekanbaru. Tim Adipura memberi nilai 74,77 Pekanbaru, Batam 73,07, dan Padang diposisi ketiga dengan poin 73,01. Bahkan sebagai bentuk perhatian pemerintah pada nasib penyapu jalan dengan mengasuransikannya. Ada dua jenis asuransi, yakni jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua. ”Semua petugas kebersihan kita masukkan asuransi, agar nasib mereka bisa lebih terjamin,” paparnya. ***