SKB Entaskan Kebodohan

Thursday, September 11, 2008

Masalah buta aksara sebagai suatu masalah nasional sampai saat ini masih belum tuntas sepenuhnya. Berbagai usaha dalam upaya penanggulangannya masih mengalami hambatan sehingga program-program yang diluncurkan untuk menanggulanginya berupa pengorganisasian kelompok belajar keaksaraan fungsional, tampaknya belum efektif. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya lain, sehingga jumlah buta aksara dari tahun ke tahun akan makin menipis.
Lembaga yang minim perhatian ini ternyata berpotensi bisa mengentaskan masyarakat yang buta huruf, tidak berkesempatan belajar di pendidikan sekolah/formal, miskin dan masalah social lainnya di kota Batam ini, menjadi topik dalam dialog Batam Forum Batam Pos, Rabu (3/9) lalu. Terakhir, setelah banyak berbuat di Batam, lembaga ini membantu masyarakat Indonesia yang juga bekerja sebagai pembantu di Singapura mendapatkan haknya di bidang pendidikan.
Keinginan ini memang atas dorongan warga belajar yang ada di Singapura. Banyak dari mereka yang tak tamat SD-SMP-SMA. Rata-rata yang tak punya ijazah itu jadi pembantu rumah tangga di Singapura. ”Mereka (TKI) mengeluh ingin mendapat pekerjaan yang lebih baik,” ujar Enik Yulistyowati, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Batam.
Inilah alasan mereka mau belajar lagi, ingin meningkatkan status pendidikannya. Sampai saat ini sudah ada 167 warga belajar di Singapura. Dan dimungkinkan akan terus bertambah. Sementara tutornya (guru) ada sebanyak 24 orang. Semua WNI yang menyandang lulusan S1 hingga S2. Mereka adalah relawan sehingga tidak menerima imbalan. Untuk biaya tempat belajar di Hotel Hyatt dan serba guna gereja di tanggung donatur.
”Kita tidak punya anggaran untuk itu, kita hanya memberi pelatihan pada tutornya saja,” tutur Enik yang turun ke Singapura langsung memberi pelatihan tersebut.
Setelah sukses membuat Batam dengan keberadaan lembaga pendidikan anak usia dini di kota Batam, lanjut pembina himpunan pendidik anak usia dini (Himpaudi) Batam ini, SKB juga memperluas dan memfokuskan pembukaan pendidikan keaksaraan (pemberantasan buta huruf) di pulau-pulau.
Seperti di Tanjunggundap, Pulau Tiawangkang dan Pulau Lance. Untuk pengentasan ini, pihaknya bekerjasama dengan masyarakat dan orang yang peduli pendidikan. ”Kini kita fokusnya di sini,” ucapnya.
Sampai saat ini di tiga pulau itu ada sebanyak 72 warga yang sedang mereka didik. Masing-masing dididik oleh tiga tutor dari warga sekitar yang juga masih mengikuti paket setara SMA. Masing-masing warga belajar berasal dari beragam usia.
Menurut Enik, setiap warga belajar dibagi dua bagian yaitu usia sekolah dan usia dewasa atau yang sudah bekerja. Masing-masing bagian dipecah dalam tiga paket. Yakni paket A setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara SMA. Sementara jam masuk belajarnya untuk usia sekolah belajar dari Senin sampai Jumat. Sedangkan untuk usia dewasa hanya belajar pada hari Minggu saja. Dan kebanyakan mereka juga mengambil ekstrakurikuler bahasa inggris dan komputer.
Biaya yang dikenakan juga cukup murah. Untuk paket B dan C setara SMP dan SMA hanya partisipasi dari orang tua warga belajar maupun warga belajar itu sendiri. Tapi yang jelas kata Enik, biayanya tidak sebesar seperti di sekolah formal. Sedangkan paket A setara SD semua digratiskan.
Biaya paket B setara SMP hanya Rp 20 ribu sebulan, itupun tidak sampai 50 persen yang mau bayar. Biaya pendidikan yang biasanya dibayarkan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Batam juga sudah tidak pernah lagi. Bantuan beasiswa dari APBD dan pihak swasta pun tak pernah ada. Ironisnya, anggaran sebesar 20 persen dari APBD untuk pendidikan juga tak ada singgah untuk program SKB. Kecuali anggaran untuk pemeliharaan potong rumput, air, listrik dan itu pun masih kurang.
Sampai saat ini SKB hanya mengharapkan bantuan pusat yang sifatnya insidensial. Yang jelas hanya sepeda motor untuk tutor kunjung. ”Padahal kita juga harus bayar honor tutor. Sementara tutor baru hanya mendapat insentif Rp 200 ribu dan tutor lama Rp 500 ribu dari pemerintah. Kita justru sering nombok menalangi biaya kegiatan. Mau paksa warga belajar tidak bisa, karena disini hati nurani yang bicara,” ungkapnya.
Tahun 2006 lalu, pernah satu kali Dinsos memberikan beasiswa kepada sebanyak 50 pengamen jalanan. Masing-masing menerima sebesar Rp850 ribu. ”Saat itu juga kita ajukan dan berhasil memerima bantuan alat musik dari pusat. Sampai sekarang alat itu masih digunakan mereka untuk latihan musik,” katanya.
Masih menurut Enik, permohonan anggaran untuk SKB di ABPD sudah sering mereka ajukan. Sayangnya upaya itu belum membuahkan hasil. Bahkan SKB kini kekurangan lokal saking banyaknya warga yang ingin belajar. Lonjakan ini pun mengakibatkan SKB kekurangan kelas. ”Kita butuh 10 kelas, yang ada baru empat kelas,” katanya.
Terakhir, kata mantan Kasi kerjasama dunia dan industri Dinas Kota Batam tahun 2002 ini masalah yang dihadapi mereka di SKB Batam adalah disebabkan beberapa hal. Yakni motivasi belajar kurang mayoritas untuk anak usia sekolah, partisipasi orangtua rendah dan perhatian pemerintah juga kurang khususnya pada anggaran.
Untuk itu, Enik berharap agar tingkat buta aksara di kota Batam bisa tuntas, pemerintah harus lebih fokus memberikan perhatian untuk SKB.
Perlu diketahui, SKB Batam yang minim perhatian dari pemerintah justru terkenal diseantero nusantara. Setiap kegiatan SKB nasional terutama pada PAUD, selalu SKB Batam akan menjadi percontohan. Dia juga berpesan bagi siswa yang tidak lulus pada ujian nasional yang lalu, agar segera mendaftar ke SKB untuk mengikuti ujian nasional kesetaraan periode ke dua. ”Tapi sebelumnya masing-maisng siswa harus mendapat pembekalan di SKB,” katanya.