Menari, Abadikan Budaya

Saturday, September 6, 2008

GEDUNG Sanggar Budaya Medang Sirai berbeda dari biasanya. Dindingnya yang dulu pudar, kini berganti warna putih seperti salju. Plafonnya juga tak lagi membingkai tiga ruangan di gedung itu. Beberapa kursi dan sofa ditutupi kain agar tak terkena debu. Gedung berlantai tiga di kawasan perumahan Duta Mas Batam Centre sedang direnovasi.
Di situlah, Tari Bancuh dikemas menjadi sebuah sajian tarian kreasi yang indah. Tarian yang berhasil membawa Sanggar Budaya Medang Sirai, kontingen dari Batam mewakili Kepri tampil sebagai nominasi penyaji unggulan terbaik pada parade tari dan pawai budaya nusantara yang diikuti 29 provinsi pada 15-19 Agustus lalu di Jakarta.
Budi, terlihat duduk bersila berhadap-hadapan dengan penari-penari baru, ketika Batam Pos bertandang ke sanggar itu, Kamis (21/8) malam. Di lantai dua seukuran ruko itu, mereka sedang latihan, sementara pengurus sanggar dan pemain musik terlihat duduk mengobrol satu dengan yang lain.
Tak ada alunan musik Melayu yang mengiringi latihan itu. Alat musik tradisional yang biasa mengiringi tidak terlihat di sana. Katanya, semuanya sedang disimpan di rumah masing-masing pemain setelah pulang dari Jakarta. Lagipula malam itu latihan khusus untuk olah tubuh sebelum masuk latihan olah tari dan musik.
Budi melatih dalam materi tari berbeda. Penampilannya sungguh bagus, karena ia memang koreografer tari sekaligus pelatih aerobik. Tangannya gemulai melambai halus. Tiap gerak kepalanya yang dikendalikan leher, begitu santun. Lantas gerak itu pun ditiru penari pemula (baru).
Saat latihan terlihat betapa keukeuh-nya seorang Budi yang dengan sedikit salah, bisa saja penarinya diminta mengulang berkali-kali. Bagi dirinya kualitas latihan sangat penting, makanya tidak seorang pun bisa main-main saat berlatih dengannya. Sehingga hasilnya bisa dilihat saat pagelaran.
Batam Pos yang saat itu ikut latihan meski tidak tuntas, tak bisa membayangkan saat latihan butuh kesabaran. Olah tubuh dan olah tari itulah yang dilatih berulang-ulang hingga penari pemula benar-benar tidak lupa gerakannya. Bakat, kesabaran dan kemauan belajar yang tinggi minimal harus dimiliki untuk bisa tampil bagus.
Gerakan tarian itu sepertinya sudah sering terlihat. ”Tari ini adalah sekapur sirih. Minggu depan, penari kami diminta mengisi acara. Ya...seperti inilah kalau sedang latihan. Bagi yang tak sabar mungkin tak bisa bertahan,” tutur Budi sembari meminta penarinya istirahat lantas berbincang dengan Batam Pos.
Menjadi penari kata Budi memang harus mempunyai talenta khusus. Artinya sudah memiliki bakat dari lahir. Setelah itu, barulah diasah dengan mengikuti kelas-kelas khusus menari, sehingga kemampuan menari meningkat dan menjadi penari yang terampil. Jika hanya mengandalkan bakat dari lahir saja tidak akan cukup. Harus terus dilatih.
Sanggar Medang Sirai baru berdiri Maret 2008, menjelang parade tari yang digelar Dinas Pariwisata Pemko Batam. Berdirinya sanggar ini, atas ide pimpinan sanggar Juniati, yang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya Melayu. Nama Medang Sirai sendiri dipilih dari sebuah nama kayu yang biasa dijadikan untuk penyanggah (kerangka) kapal kayu.
”Kami ingin budaya Melayu tidak hilang, makanya saya dirikan sanggar dan memilih nama dari nama kayu Medang Sirai yang kokoh,” kata Juniati yang juga guru sekolah ini.
Juru bicara sekaligus sekretaris Sanggar Medang Sirai S Adi menambahkan sejak berdiri, sudah ada enam tarian garapan yang mereka kreasi. Tari Bancuh adalah kreasi mereka yang ke-enam dalam empat bulan terakhir ini. Menciptakan satu tarian garapan, mereka butuh berlatih dua kali dalam seminggu, Sabtu dan Minggu. Kecuali kalau mau ikut lomba, ritme latihan diperbanyak menjadi tiga kali dalam seminggu.
Mereka memilih latihan di malam hari. Sebab penari tingkat satu (yang selalu tampil dalam iven besar) rata-rata pekerja, kecuali tingkat dua dan tiga yang memang masih pelajar SD, SMP dan SMA. Setelah berhasil menciptakan satu tarian kreasi yang mengharumkan nama Kepri di tingkat nasional, Sanggar Medang Sirai terus berkreasi.
Setiap tarian yang mereka sajikan selalu mengusung tema bernuansa Melayu. Misalnya, tari Bancuh, tarian garapan Melayu kontemporer dengan formasi sembilan penari, empat pria dan lima wanita. Bancuh berasal dari istilah Melayu yang artinya perpaduan atau persatuan.
Tarian ini mengisahkan sisi kehidupan perkampungan nelayan di pulau Panjang (pulau tak jauh dari Galang).
Bila musim angin utara tiba, cuaca kurang bersahabat bagi nelayan pulau Panjang untuk melaut. Sebagai penghasilan tambahan keluarga, maka masyarakat pulau Panjang bersatu untuk membuat sapu lidi kemudian dijual ke Batam.
”Hasil observasi kami di lapangan ini kami padu menjadi satu tarian. Agar tema tarian tidak hilang, sapu lidi yang dihiasi cat warna-warni dijadikan sebagai properti, juga untuk memperindah tarian,” tutur Adi.
Keberadaan sanggar budaya di Kepri bertujuan mempertahankan nilai budaya. Tentu hal ini sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah. Namun sampai saat ini menurut Adi perhatian itu masih sangat minim. Apalagi saat-saat mengikuti iven bertarap nasional seperti mereka ikuti baru-baru ini.
Padahal keberangkatan mereka ke tingkat nasional membawa nama Kota Batam. Satu daerah junjungan yang jadi daerah pertaruhan. Bertaruh, apakah mereka mampu menunjukkan jati diri mereka sebagai sebuah bandar madani. Tetapi dukungan seperti materi maupun moral (semangat) dari pemerintah masih kurang.
Bahkan perhatian untuk persiapan seperti datang memberikan saran dan pembinaan pun kurang. Selain ini, persoalan dana juga menyebabkan perwakilan Batam ketingkat nasional ini kelimpungan dan nyaris tak berangkat. Tapi berkat perjuangan dan semangat yang tinggi akhirnya mereka bisa berangkat.
”Ini menyedihkan, dana kontingen tidak terprogram dengan baik. Sementara kami tak punya kekuatan untuk mengumpulkan dana. Mudah-mudahan ke depan hal ini tidak terulang lagi. Kita berharap perhatian pemerintah bisa lebih besar bagi siapapun yang mewakili Batam ke depannya,” pintanya.
Meski minim perhatian, namun terpilihnya sebagai penyaji unggulan terbaik membawa semangat yang tinggi bagi Medang Sirai. Sebagai sanggar baru mereka justru akan membuka kelas untuk pelatihan penari-penari anak-anak sekolah. Mereka ingin kaum muda lebih tertarik menyaksikan pementasan tari.
Syukur-syukur mereka akan tergugah untuk melakoni seni tari. Dalam melakukan apapun, pasti ada kendala yang harus dihadapi.
Tak terkecuali dalam mengembangkan seni tari, khususnya untuk remaja. Mungkin karena perubahan jaman membuat mereka tidak tahu bagaimana seni tari itu.
Minimnya fasilitas dan informasi membuat mereka men-judge tarian tradisional itu kuno. Maka itu Medang Sirai mengajarkan tarian yang tidak terlalu sulit. Awalnya mengajarkan tari tradisional yang sederhana, lalu tingkat kesulitannya ditambah. Karena untuk melakukan inovasi - inovasi dalam gerakan tari, penari harus lebih dulu menguasai tradisional.
”Namun untuk hal ini dibutuhkan peran serta dari pemerintah sebagai fasilitator, dengan memberikan ruang dan waktu serta bantuan finansial untuk sanggar mana pun sehingga dapat menampilkan hasil karya pada seni tari,” ujarnya. ***