Menanti Identitas Demi Jati Diri

Saturday, February 14, 2009

Bayi-bayi Terlantar di Batam

Setiap hari ratusan bayi diahirkan di Batam. Namun tidak semua dari mereka yang bernasib baik. Sebagian kecil kehadiran mereka tidak diinginkan oleh ibunya sehingga dengan sengaja ditinggal dan bahkan dibuang begitu saja.

Jumat (5/12) pagi lalu, ruangan Flamboyan Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB) hening. Tidak ada tangis bayi terdengar dari ruang perawatan bayi tersebut. Padahal sedikitnya ada sepuluh bayi yang baru lahir dirawat di ruangan sejuk tersebut. Bayi-bayi mungil tersebut sedang terlelap tidur.

Begitu juga dengan bayi bernama nyonya Yuli, 6 bulan yang ditinggal ibunya entah kemana, pasca melahirkan di RSOB. Bayi itu lahir prematur dulu. Kondisinya sekarang justru tidak seperti bayi yang lahir prematur. Sungguh disayangkan tindakan ibunya meninggalkan bayi itu begitu saja.

Menurut Tiurma, bayi tersebut diserahkan kepada pihak rumah sakit tertulis secara sah dan berlampirkan materai. “Orangtuanya memang yang tidak menginginkan bayinya,” ujar Tiurma Napitupulu, Kepala Ruangan Bayi RSOB.

Jenis kelamin bayi itu adalah laki-laki. Kadang perawat-perawat di sana memplesetkan Yulianto. Nama itu sejalan dengan nama ibunya bernama Yuli. ”Nama itu hanya plesetan saja, nanti berganti juga setelah ada orangtua angkatnya,” ujar Tiurma.
Yulianto adalah salah satu bayi dari sekian banyak bayi yang ditelantarkan orangtuanya di RSOB.

Tiurma mengatakan pada umumnya bayi yang ditelantarkan oleh orangtuanya karena tidak mau menanggung malu. Karena bayi yang dilahirkan bukanlah hasil dari hubungan suami istri yang sah.

Begitu juga dengan dua bayi perempuan yang sebelumnya ditelantarkan oleh orangtuanya di rumah sakit itu. Ibunya pergi tanpa sepengetahuan pihak rumah sakit. Akhirnya, dua bayi mungil tersebut sempat dirawat oleh pihak rumah sakit sampai akhirnya ada yang adopsi.

”Di Batam ini apa yang tidak dibuat. Biasanya bayi-bayi yang ditelantarkan adalah hasil hubungan suami istri yang tidak sah. Daripada malu akhirnya main tinggal saja dan kita yang menanggung biayanya,” ungkapnya.

Tahun 2008 saja kata Tiurma, ada tiga kasus. Dua sudah bayi perempuan atas nama nyonya Erni dan nyonya Susi telah diadopsi. Kejadiannya ditinggal pergi setelah dilahirkan. Alamat tinggal ibu nya juga sengaja dipalsukan saat mendaftar pasien di RSOB. “Orantuanya sengaja memang meninggalkan mereka,” ujarnya.

Setiap bayi yang ditinggal dipastikan akan dirawat mereka. “Daripada bayi-bayi itu dibunuh ibunya, lebih baik kami rawat, menunggu dapat orangtua angkatnya. Kita hanya ingin agar kedepan anak-anak telantar ini hidupnya terjamin,” aku Tiurma.
Berkat perawatan yang serba memadai, kini Yulianto, yang lahir prematur sudah menjadi seorang bayi yang sehat. Maklum perhatian dan rasa sayang perawat-perawat membuat Yulianto memiliki ibu kandung sendiri.

“Kita sayang dengan dia. Perawat sering belikan dia baju, pampers juga bawa jalan dan ajak dia komunikasi. Jadi walaupun dia anak terlantar dia selalu kita perhatikan,” ujarnya.

Bayi-bayi yang bernasib sama juga ada di rumah penitipan yayasan pengasuh anak bunda (YPAB). Seperti Base Paryani 6 bulan dan Ibrahim (2). Base menyandang anak terlantar karena ibunya meninggal setelah melahirkannya. Sedangkan Ibrahim sengaja ditinggal ibunya dengan cara dititipkan pada tetangga.

Kini dua bocah itu dirawat di Tempat Penitipan Anak (TPA) di belakang Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK). “Lokasinya kita pilih di RSBK untuk memudahkan anak mendapat perawatan medis,” ujar Surti, Pendamping Anak dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) sekaligus Kabag Umum RSBK.

Anak-anak terlantar ini selalu mendapat perawatan dan fasilitas yang baik. Namun bukan fasilitas memadai yang mereka diharapkan. Melainkan menurut Tiurma dan Surti yang mereka butuhkan tidak lebih dari sebuah kejelasan identitas untuk sebuah jati diri mereka kelak.

Pentingnya identitas itu mereka membuat YPAB dan RSOB mencari orangtua angkat. Namun tidak semudah dibayangkan. Karena semua tergantung kepada orang yang ingin mengadopsi. Kadang seorang bayi harus menunggu satu-dua tahun demi sebuah identitas. ”Ini memang penantian yang paling penting bagi anak terlantar,” kata mereka. ***