Sudah Tidak Nyaman, Jumlahnya Juga Kurang

Saturday, February 14, 2009

Keberadaan halte di Batam belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Terbukti, banyak tempat pemberhentian angkutan kota tersebut tak terurus.

Rabu (10/12) lalu cuaca di Nagoya cukup membuat tubuh berpeluh keringat. Teriknya matahari membuat para calon penumpang berlomba berteduh di halte yang berada di depan Nagoya Hill. Halte tersebut terlihat kecil dibanding banyaknya calon penumpang saat itu.

Belasan kendaraan antre di depan halte mencari penumpang. Para sopir memarkirkan kendaraan sesuka hatinya. Akibatnya, arus lalu lintas di mulut pintu keluar dan masuk mall tersebut menjadi macet.

Sesekali petugas lalu lintas datang mengatur dan meminta para sopir meninggalkan halte. Arus lalu lintas pun lancar. Tapi kemacetan kembali terjadi ketika sang petugas pergi. Antara polisi lalu lintas dan sopir seperti main petak umpet. Hal yang sama juga terjadi di halte Mukakuning.

Meski masih banyak yang tidak teratur, namun keberadaan halte ternyata masih dibutuhkan oleh masyarakat dan pengguna angkutan umum. Seperti diungkapkan Purwanto, warga perumahan Cendana.

Menurut tokoh masyarakat ini halte amat penting bagi orang dan anak-anak sekolah yang setiap harinya naik bus. Apalagi di jalan Abulyatama atau jalan Sudirman banyak dilalui angkutan umum.
Sayangnya, di dua pintu gerbang keluar perumahan menuju jalan besar itu ini tidak ada satu pun halte.

"Kasihan anak-anak, kalau ada halte, nyegat bus-nya kan tak kepanasan atau kehujanan lagi," ungkapnya.

Setiap hari, aku Purwanto, ratusan anak sekolah mulai SD sampai SMA memanfaatkan dua jalan ini untuk berangkat ke sekolah. Jumlah ini bertambah, dengan orang tua yang berangkat kerja.
Seharusnya pemerintah memikirkan pembangunan halte di lokasi itu. "Minimal halte seperti yang ada di Legenda Malaka," harapnya.

Selain dari sisi jumlah halte di Batam masih kurang, dari sisi kenyaman juga masih kurang representatif. Azwar (27) calon penumpang saat ditemui di halte Nagoya Hill mengaku sangat bingung melihat kemacetan di hal tersebut. Ia mengatakan seharusnya kemacetan itu tidak terjadi.

Sebab menurutnya halte bukan tempat angkutan umum untuk berhenti. Halte tempat menaikkan dan menurunkan penumpang saja. "Di Malaysia halte benar dimanfaatkan untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Satu angkot paling lama berhenti di halte satu, dua menit saja. Disini mau sampai 15 menit," tutur warga Aviari Plaza ini.

Pedagang seken di Aviari ini mengaku geleng-geleng kepala plus malu ketika melihat perilaku warga Malaysia. Selain halte-haltenya sangat bagus dan nyaman, aliran bus kota juga sangat cepat. Pengantre penumpang di depan naik duluan, disusul di belakangnya, dan seterusnya.

Bus-bus kota juga nyaman, wangi, sejuk, dan keluaran baru. Tidak ada orang yang mencegat bus kota di luar halte. "Kalaupun ada biasanya orang Indonesia yang biasa ngawur dijamin bus tidak akan berhenti," kenang pria asal Tanjungpinang ini terkekeh.

Bila dibandingkan, halte di Batam masih ketinggalan. Selain pada fisik halte, kondisinya juga kotor, rusak, banyak coretan, penuh tempelan promosi. Beberapa halte dimanfaatkan pedagang kaki lima (PKL), sebagai tempat tidur gelandangan dan pangkalan ojek. "Perilaku calo dan kernek kadang tidak sopan bikin tidak nyaman, di Malaysia kernek pun tak ada," katanya.

Dari pengamatan Batam Pos, beberapa halte kondisinya memang memprihatinkan. Selain atapnya rusak, beberapa diantaranya dijadikan tempat mangkal pedagang dan pengojek. Beberapa halte dibangun dengan kios untuk pedagang. Seperti kios di halte depan Nagoya Hill yang digunakan salah satu produk GSM.

Kios berdiameter satu meter persegi digunakan menjual produknya. Kini kios itu tampak berdebu. Lampunya masih terus menyala, menandakan kios itu lama tidak diperhatikan. "Dulu kios ini tempat jualan pulsa. Tapi sekarang sudah ditinggal," tutur Sukni pedagang rokok keliling Jumat lalu di halte itu.

Menurut warga Jodoh ini halte-halte di Batam banyak tidak terurus. Salah satunya halte di depan Top 100 Jodoh. Atap halte yang rusak ditabrak trailer sampai sekarang dibiarkan begitu saja tanpa atap. Ini adalah bukti tidak adanya perhatian serius dari pemerintah maupun swasta. "Sudah hampir satu bulan halte ini begini," ujar Indrawan pengojek yang mangkal di halte tersebut.

Meski tidak memiliki atap Indrawan bersama teman-temannya tetap memilih mangkal disana. Indrawan mengaku halte tersebut memang sering dimanfaatkan oleh angkot untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Karena itu, tidak adanya atap halte itu sangat mengganggu kenyamanan calon penumpang.

"Apalagi saat turun hujan bikin repot," aku Indrawan yang mengaku keberadaan mereka disana tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas.

Beberapa PKL di halte yang ditemui mengaku telah mendapat izin berjualan meski tidak secara resmi. Hanya saja, setiap pedagang diwajibkan menjaga kebersihan lokasi halte. "Soal kebersihan saya sendiri yang ngurus," ujar Cik Ani (50) yang mengaku sudah 3 tahun berjualan di halte depan BRI Nagoya.

Namun kenyataan pedagang jarang memperhatikan kebersihan. Puntung rokok dan bungkus minuman bertebaran dimana-mana. Akibatnya fasilitas umum tersebut terlihat kotor. Namun Cik Ani membantah mereka tidak membersihkannya. Ia mengaku selalu membersihkan sampah dagangannya.

"Disini adalah sumber penghasilan saya. Tidak mungkin saya tidak menjaganya," ujarnya. Saat berjualan dia memang tidak dilarang, sepanjang jualannya sedikit. "Kalau jualan banyak-banyak langsung dimarah. Kalau dikit-dikit tak apa," kata Cik Ani.

Meski begitu, ada juga halte yang kondisinya nyaman dan terawat. Seperti yang terlihat di simpang jam menuju Batam Centre. Banyak calon penumpang yang menunggu bus disini karena halte bersih dan tak digunakan mangkal PKL. ***