Sopir dan Masyarakat Masih Suka Instan

Saturday, February 14, 2009

PEMERINTAH mengatakan tidak bermanfaatnya halte di beberapa lokasi karena disebabkan sopir dan masyarakatnya kurang sadar dan tidak peduli. Meskipun ada hal di dekatnya namun masyarakat tidak mau menggunakannya.

"Masyarakat sampai saat ini masih suka yang instan. Dimana mereka berdiri maunya bisa langsung naik ke angkot," tutur Kepala Seksi Lalu Lintas dan Perparkiran, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Batam Agus Sulaiman, Jumat lalu.

Ia juga mengatakan kadang penumpang tidak menyadari kalau menyetop angkutan di mulut simpang. Para sopir juga menghentikan angkutannya di sembarang tempat. Hal ini juga biang
salah satu penyebab kemacetan. "Halte baru dimanfaatkan kalau turun hujan saja," katanya.

Mengenai seringnya terjadi kemacetan dishub juga akan terus melakukan penyuluhan kepada sopir-sopir angkutan untuk bisa menaikkan dan menurunkan penumpang di halte yang telah disediakan. Penyuluhan ini akan dilakukan di terminal-terminal ataupun langsung di lapangan.

Menurut Agus, meski jumlah halte tercatat sekitar 100 unit lebih. Namun fasilitas umum ini untuk kota Batam masih kurang. Soalnya pertumbuhan pemukiman masyarakat di Batam cukup pesat.
"Kita belum tahu seberapa banyak, karena belum melakukan survei," katanya.

Tapi yang jelas, meski Batam membutuhkan halte lagi, pihaknya tidak bisa memenuhi tahun ini. Bahkan di tahun 2009 juga hal itu belum juga bisa terwujud. Karena pembangunan halte itu tidak ada masuk dalam mata anggaran pada APBD tahun 2009.

Maka dari itu Dishub fokus pada pemanfaatan halte yang ada dengan melakukan pemeliharaan. "Tapi ke depan bisa dan kita juga sudah rancang halte yang standar," jelas Agus.

Campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini sponsor dalam pengelolaan halte memang sangat diharapkan. Selain bisa membantu pemerintah mengirit biaya dari sisi pemeliharaan, disamping fasilitas umum juga bisa terlihat lebih bagus.

Halte diperbagus karena dipakai untuk media iklan. Seperti yang terlihat di halte sepanjang jalan raya depan Nagoya Plaza Hotel dan Simpang Jam.

"Beberapa halte memang butuh perbaikan fisik, dan kita sudah memberikan pemerliharaan itu, baik itu lepas dari sponsor, karena sudah ada anggaran untuk itu," katanya.

Menurut Agus setiap halte hanya mendapat dana pemeliharaan sebesar Rp 1 juta per bulan. Dana itulah meliputi pembersihan lokasi, perbaikan, penggantian, hingga pengecatan. Meski dana itu terbilang kecil, namun pemeliharaan toh juga tidak bisa dilakukan pada semua halte.

Karena setiap tahun kata Agus, Dishub mendapat jatah pemeliharaan hanya 40 halte. Sebanyak 20 halte untuk bus bus pilot project (BPP) dan 20 lagi untuk halte umum. "Perbaikan dilakukan secara bertahap," tutur Agus.

Untuk pembangunan satu halte lum sum kata Agus, membutuhkan Rp30 juta hingga Rp40 juta. Itu sifatnya masih minimalis dan belum standar seperti halte BPP. Untuk kategori standar butuh biaya Rp90 juta seperti halte busway di Jakarta. Tapi karena keterbatasan dana, jadi halte di desain yang bisa bermanfaat saja.

Melibatkan pihak ketiga untuk membangun juga tidak mudah. Karena kalau pun ada yang mau tentu, akan meminta di titik yang strategis seperti di Nagoya. "Tapi tidak mungkin bangun halte banyak di sana," tukasnya.

Halte-halte yang beralih fungsi jadi tempat jualan dan pangkalan ojek dibenarkan Agus dan katanya akan sangat mengganggu. Hanya pihaknya tidak bisa berbuat banyak, kecuali menegur. "Penertiban adalah kewenangan Satpol PP," ujarnya.

Begitu juga soal penerangan. Beberapa halte yang terang baru yang terikat kontrak dengan pihak ketiga saja. "Penerangan penting demi keamanan dan kenyamanan calon penumpang. Tapi dana tidak ada, jadi mau dibilang apa," katanya.

Soal penataan dan pembangunan halte lanjut Agus, ke depan pihaknya akan membuat pit stop, sehingga saat angkutan berhenti tidak di badan jalan. Beberapa halte sudah di desain seperti itu seperti di Sekupang dan Batam Centre. Halte-halte yang lama juga akan di desain sama nantinya. ***