Merugikan, Pekerja Tolak Outsourcing

Friday, November 14, 2008

PADA bulan Agustus lalu, Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) melakukan aksi serentak se-Indonesia untuk menolak keberadaan perusahaan jasa tenaga kerja (outsourcing) karena merugikan pekerja. Sekitar 2.000 pekerja menolak keberadaan penyalur tenaga kerja itu dengan demo di Kantor Wali Kota Batam dan DPRD Batam.
Ketua Konsulat Cabang Federasi SPMI Batam Nurhamli mengatakan, aksi tersebut upaya mendorong pemerintah menindak outsourcing yang melanggar aturan. Jumlah outsourcing di Batam semakin lama semakin banyak dan saat ini yang resmi lebih dari 100 perusahaan.”Di kawasan Mukakuning saja sudah mendominasi sekitar 60 persen. Paling parah di Tanjunguncang, sekitar 99 persen perusahaan di sana merekrut pekerja dari outsourcing,” kata Nurhamli.
Juru runding UMK, sekaligus pengurus SPMI Batam dan Kepri Anto Sujanto menambahkan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan outsourcing memang dibenarkan undang-undang ketenagakerjaan. Seperti untuk jasa cleaning service dan kantin. Tapi kenyataannya mereka sudah menembus bisnis utama. Sebagian besar perusahaan di Batam sudah menggunakan tenaga kerja outsourcing untuk pekerjaan pokoknya.
"Padahal dalam UU outsourcing bukan untuk pekerjaan pokok. Ini malapraktek outsourcing,” ungkapnya.
Dampak dari keberadaan outsourcing ini upah pekerjanya lebih rendah dibandingkan pekerja perusahaan pemberi kerja. Meskipun mengerjakan pekerjaan sama. Dampak negatif lain adalah rendahnya jaminan kesehatan, tak memiliki kepastian masa depan pekerjaan, rendahnya perlindungan hukum dan hak-hak lain yang diabaikan.
”Fakta riil fasilitas kesehatan tidak sama dengan yang lain. Hasil survei kita membuktikan karena potongan pekerja outsourcing hanya menerima gaji sekitar 80 persen,” katanya.
Masalah pengawasan dari pemerintah juga kurang. Sehingga akibatnya Batam tidak lagi menjanjikan bagi pekerja. Pekerja lebih makmur di Jakarta karena daya beli upah mereka lebih tinggi dibanding upah pekerja di Batam meskipun nilai nominalnya jauh lebih besar. ”Pengawasan harus bergerak kelapangan. Bukannya hanya menunggu laporan," katanya.
Terkait outsoucing, Federasi SPMI Batam telah meminta Pemko Batam mencabut izin perusahaan outsourcing yang melanggar aturan. Mereka juga meminta DPRD Batam menyediakan alokasi anggaran untuk Dinas Tenaga Kerja Batam untuk mengawasi permasalahan ketenagakerjaan. DPRD juga diminta mengevaluasi kinerja Pemko Batam dalam pengawasan perusahaan outsourcing. ”Kita sedang menunggu aksi mereka,” katanya.
Potret tenaga kerja di Batam memang kompleks. Selain persoalan diatas, pencari kerja sekarang sangat minim skiil sesuai dengan lowongan yang tersedia. ”Lowongan kerja sangat banyak, parahnya lowongan tidak dapat menyerapnya karena minim skill," kata menambahkan bahwa jumlah pengangguran memang turun dari 11 ribu tahun 2007 menjadi hanya 7 ribu di tahun 2008.
Mengenai pengupahan, serikat pekerja tetap berpatokan pada angka kebutuhan hidup layak (KHL) Batam untuk UMK Batam 2009 yakni sebesar Rp1.550.000. Dalam pertemuan ke empat, pekerja menurunkan tawaran usulannya menjadi Rp1,35 juta dengan harapan UMK tak akan jauh-jauh dari KHL.
Di sinilah masalahnya. Juru bicara Apindo Rafki Rasyid menyebut, KHL bukan satu-satunya faktor penentu UMK. Menurut dia, selain KHL ada faktor kondisi ekonomi, inflasi, kemampuan dunia usaha dan upah regional (daerah sekitar).
Perbedaan pendapat ini pun menyebabkan pembahasan itu bakal deadlock. ”Kita sudah menyebut angka dan sudah menurunkannya, namun perwakilan pengusaha belum. Mereka bersembunyi di balik SKB empat menteri,'' kata Agus Sriyono, Ketua PC SPEE F-SPMI Batam di Batam Centre, Rabu (5/11) kemarin.
Jika UMK tidak sesuai KHL bisa menimbulkan masalah yang baru karena tidak berkontribusi maksimal kepada investasi . Kalau KHL bagus, daya beli dari pekerja meningkat serta sektor ekonomi lain akan meningkat. ***