Pilih Caesar atau Normal?

Friday, July 4, 2008

Operasi caesar yang namanya diambil dari nama kaisar Romawi yang lahir dengan pembedahan, Julius Caesar, ini kian jadi gaya hidup. Padahal, semula operasi ini hanyalah alternatif untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.
Asmaria (30), seorang ibu yang baru melahirkan buah hatinya di Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB), Rabu (25/6) lalu, tidak menduga harus melahirkan anak keduanya melalui proses caesar. Ia mengaku deg-degan, meski caesar bukan pengalaman pertama baginya. Padahal, Asmaria ingin persalinan anak keduanya itu normal.
Beda dengan Asmaria, tak sedikit juga para ibu yang memilih persalinan melalui operasi ini dengan alasan tak tahan sakit atau ingin menyesuaikan hari dan tanggal kelahiran. Harus diakui, banyak wanita yang merasa khawatir harus menjalani persalinan normal hanya karena sering mendengar cerita orang lain mengenai rasa sakit yang amat sangat pada proses persalinan.
Padahal, di ujung cerita biasanya orang tersebut mengatakan merasa lega dan bahagia begitu buah hatinya lahir. Rasa sakit yang mendera sebelumnya tidak terasa lagi begitu mendengar tangisan si kecil. Pada kehamilan normal, artinya tidak ada keluhan apa pun, persalinan normal dianggap yang terbaik.
Pada bagian lain, cerita yang sering ”tertangkap” oleh para wanita bahwa persalinan dengan operasi caesar konon bisa lebih cepat dan proses persalinan bisa tetap diikuti oleh si pasien. Dengan operasi, ibu yang akan melahirkan tidak merasakan sakitnya saat kontraksi, pinggang pegal-pegal, perut mules dan lainnya. Yang jelas dengan operasi tidak merasakan sakit, hanya setelahnya saja merasakan perihnya bekas jahitan.
Mereka lalu menangkap bagian yang menyenangkan dari cerita ini tanpa disertai pengetahuan mengenai rasa sakit yang lama, berbagai risiko yang dapat timbul akibat operasi, maupun proses pemulihan pasca operasi yang lama. Dengan sosialisasi “keliru” semacam itu, ditambah dengan semakin banyaknya wanita muda yang menjalani operasi caesar, seolah-olah operasi menjadi jalan keluarnya.
Menurut dr Adriyanti SpOG, operasi caesar (c-section) adalah pembedahan yang dilakukan untuk mengeluarkan bayi. Lokasi sayatan terletak di antara area perut (laparotomi) dan rahim (histerotomi). Panjang sayatan operasi caesar 8-10 cm. ”Ada dua jenis sayatan yang diterapkan. Yakni, sayatan horizontal dan vertikal,” ujarnya.
Posisi sayatan horizontal (pfannenstiel) 2 cm di atas tulang pubis (kemaluan) dengan jarak dari kanan dan kiri masing-masing 5 cm. Posisi sayatan vertikal berada 2 cm di bawah pusar, memanjang ke bawah hingga sekitar 2-3 cm dari tulang pubis. Dari segi estetika, sayatan horizontal dianggap lebih baik. Posisinya yang mendatar memungkinkan bekas sayatan disembunyikan di balik celana dalam. Penyembuhannya juga lebih bagus karena posisinya sesuai dengan garis perut. Beda dengan sayatan vertikal yang akan terlihat saat perut terbuka. Setelah sembuh pun, bekas operasi bisa terlihat.
Masih menurut Adriyanti, operasi caesar dilakukan karena alasan medis tertentu yaitu persalinan normal tidak bisa dilaksanakan. ”Operasi caesar adalah pintu alternatif, jika persalinan normal membahayakan nyawa si ibu dan anak,” kata Adriyanti.
Kondisi inilah yang dialami Asmaria. Posisi bayi dalam kandungan tak bagus alias sungsang. Jalan bayi juga terhalang oleh ari-ari (plasenta previa). Sehingga jika dipaksakan melahirkan normal bisa berakibat fatal pada si bayi dan ibu.
Adriyanti menjelaskan alasan lain mengapa operasi caesar yang diartikan suatu tindakan melahirkan bayi melalui perut atau dengan kata lain, proses melahirkan bayi ini tidak melalui jalan lahir biasa (vagina) bisa terjadi? Yakni karena pinggul ibunya sempit, dan bayinya besar (tidak sesuai dengan proporsi tubuh ibu). Bisa juga operasi caesar dilakukan karena gawat janin, cirinya denyut jantungnya lemah, kondisi bayinya tidak baik karena kelamaan di dalam, air ketubannya habis atau trauma karena proses persalinan yang lama, sementara pembukaan tak maju-maju.
Dokter spesialis kandungan dan kebidanan itu juga menyebutkan operasi dilakukan karena proporsi panggul dan kepala bayi yang tidak pas, sehingga persalinan macet (CPD atau cephalo pelvic disproportion), terjadi kegawatan pada bayi, misalnya kekurangan oksigen. Fungsi plasenta yang tidak terlalu bagus karena lewat batas waktu atau ada penyakit tertentu.
Kondisi kepala bayi jauh lebih besar dari ukuran normal atau disebut hidrosefalus, detak jantung janin melambat (fetal distres), herpes genital, ruam kulit yang disebabkan oleh virus yang menyerang alat kelamin dan penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak memungkinkan dilahirkan normal, umumnya termasuk indikasi caesar. Demikian pula, kondisi ibu-ibu yang mengalami masalah kesehatan.
”Namun, ada juga ibu-ibu yang hamil normal berharap melahirkan secara caesar,” lanjut Adriyanti. Biasanya, mereka memutuskan operasi caesar lantaran beranggapan bisa menghindari ketegangan dan rasa sakit bila dioperasi. “Padahal, tidak selalu demikian,” ujar ibu dua anak ini. .***