Berharap Rumahnya Dibangun di Lingkungan Sekolah

Saturday, October 25, 2008

Penjaga Sekolah yang Mengabdi di SMP Negeri 21 Batam

MAHALNYA biaya di Batam mengharuskan Darwoto, rekan Supar mengungsikan keluarganya ke kampung halamannya. Warga asal Banyumas, Jawa Tengah ini mengaku istrinya yang pulang terakhir dari Batam.

”Lagipula anak-anak perlu perhatian ibunya,” katanya penuh harap anaknya bisa terurus dengan baik. Sudah dua bulan ini, pria berusia 35 tahun ini hidup sebagai anak kos.
Memang tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menekan pengeluaran secara maksimal. Sehingga mampu menghimpun banyak duit di buku tabungan untuk keperluan penting dan kebutuhan mendesak di masa depan.
Faktor gengsi dan hobi acap kali menjadi penyebab banyak uang yang hilang untuk sesuatu yang kurang penting yang mengalahkan akal sehat.
Apalagi bagi seorang lelaki yang jauh dari keluarganya, seperti Darwoto. Namun Darwoto punya cara sendiri bagaimana menghemat gajinya agar sisanya bisa dikirim kepada keluarganya di kampung.
Anak Darwoto sudah dua, satu Elinda Rahmadani (9) dan Latif Hanifuddin (4). Biaya hidup istri dan dua anaknya di kampung juga berharap dari gaji sisa potongan biaya hidup Darwoto di Batam. Dengan gaji sebesar 960 ribu dari komite sekolah, penjaga sekolah ini memang hampir tak bisa melakukan apa-apa. Untuk urusan makan pun dia langsung serahkan ke pemilik rumah sekaligus dengan uang kontrakan kamarnya.
”Kalau mau masak sendiri gajinya pasti tidak cukup, karena harga-harga sembako sudah lebih gesit meroket. Daripada repot saya bayar saja Rp300 ribu setiap bulan sama makannya,” akunya.
Dengan cara ini, Darwoto baru bisa mengirimkan sisanya ke kampung, itupun tidak semuanya. ”Uang di kantor juga harus ada buat jaga-jaga, siapa tahu kita jatuh sakit,” katanya.
Selama setahun menjadi penjaga sekolah di SMP Negeri 21, dia melihat ada satu hal yang kurang dan diharapkannya. Ya... rumah penjaga sekolah belum ada dibangun di sekolah itu. Ia sangat berharap pihak sekolah maupun pemerintah bisa membangun rumah di lingkungan sekolah sebagai tempat tinggalnya. ”Ini untuk kepentingan sekolah juga,” ujarnya.
Selama ini, kata Darwoto, pihak sekolah mempekerjakan satu orang khusus untuk jaga malam. Meski demikian Darwoto dan Supar masih sering datang ikut membantu jaga malam. ”Tapi biasanya kami tidak sampai pagi. Jam 12 malam kami sudah pulang, seterusnya dilanjutin yang jaga malam sendirian,” ungkapnya.
Luasnya lahan memang tidak sebanding dijaga oleh satu orang. Jadi ada baiknya juga rumah penjaga sekolah ada di bangun di lingkungan sekolah. Sehingga siang malam sekolah tetap terjaga. ”Kalau terjadi apa-apa juga bisa cepat, dan jika guru membutuhkan kita, juga bisa cepat,” katanya.
Selain berharap mendapat rumah penjaga sekolah, pada akhirnya mereka juga berharap ada jaminan hari tua. ”Nanti kalau sudah lama bekerja disini, inginnya bisa diangkat jadi pegawai negeri, supaya tua nanti tidak terlantar,” harapnya. Jika sudah pegawai negeri, tentu dapat menikmatinya ketika pensiun tiba.
Kalau seperti ini terus sampai usia senja, tentu tidak ada mencoba menikmati uang pensiun dan tetap membanting tulang. Maka besar harapan saya kepada pemerintah daerah agar memperhatikan para penjaga sekolah. ***