Jalur Penumbuh, Sekaligus Pembunuh

Saturday, October 25, 2008

Oleh RATNA SRI WIDYASTUTI

Gambaran kota-kota Jawa pada masa Herman Willem Daendels sudah jauh berbeda dibandingkan dengan sekarang. Sebagian kota yang dianggap penting waktu itu, yang muncul di peta kuno Pulau Jawa, Plan deL’Ile de Jav, bertahun 1813, kini tidak tertera lagi di peta-peta sekarang. Panarukan adalah salah satu di antaranya.

Padahal, jika menilik berbagai catatan sejarah, Panarukan merupakan kota pelabuhan yang diperhitungkan waktu itu. Ujung Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang digagas Daendels tertuju pada kota ini. Kota yang pada abad ke-18 dihuni sekitar empat ribuan jiwa ini jadi pelabuhan ekspor penting di wilayah timur Jawa. Beraneka komoditas perkebunan, seperti kopi dan tebu, dikirim melalui kota bandar ini.

Kini, nasibnya berubah setelah peran pelabuhannya kalah bersaing dengan Surabaya karena pendangkalan. Namanya hanya melekat pada nama kota kecamatan, bagian dari Kabupaten Situbondo. Sepertinya jalur Jalan Raya Pos tidak punya peran apa-apa dalam membantu perkembangannya seperti kota-kota pelabuhan lainnya di pesisir utara Jawa.

Lain ceritanya dengan Kota Bandung. Namanya pun tidak tertera pada peta buatan Daendels itu. Hanya disebut bagian dari daerah Priang’en atau Priangan. Kini Bandung justru tumbuh menjadi kota besar, bahkan menjadi pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat.

Jalan Raya Pos yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur pesisir utara Jawa merupakan cikal bakal pembuka keran pasar di daerah-daerah Jawa. Dengan terbukanya akses jalan, transportasi dari daerah produsen ke daerah konsumen, dari wilayah penyuplai tenaga kerja ke wilayah penerima, dan dari kota yang surplus modal ke yang membutuhkan semakin lancar. Jalan inilah yang kelak membuat kota-kota Jawa berubah. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi mengelompok, teraglomerasi, berkiblat pada jalan ini.

Menurut Arthur O’Sullivan dalam bukunya, Urban Economics (1996), aglomerasi ekonomi kota-kota terjadi akibat daya tariknya dalam menyedot sumber daya ekonomi dari daerah lain. Aktivitas ekonomi yang semula tersebar dapat terkonsentrasi di sekitar kota-kota yang dilalui jalur transportasi. Kota-kota ini dapat tumbuh cepat karena adanya penurunan ongkos transportasi. Kota yang memiliki banyak industri biasanya tumbuh lebih cepat karena adanya pengumpulan atau konsentrasi modal.

Bukti adanya proses ”penggerombolan” kota-kota pada jalur Daendels ini dapat ditunjukkan dengan mengolah data pertumbuhan ekonomi perkotaan seluruh Jawa selama enam tahun terakhir dengan statistik spasial (lihat peta). Wilayah-wilayah yang maju dan kurang maju mengelompok terpisah. Daerah-daerah maju mengelompok tersendiri, sebaliknya daerah yang ”lamban” ekonominya juga demikian.

Daerah-daerah maju bergerombol di tiga wilayah, wilayah Jakarta dan sekitarnya, Bandung sekelilingnya, serta Surabaya dan tetangga-tetangganya. Ketiga kawasan inilah yang menjadi pusat pertumbuhan Jawa, memengaruhi daerah-daerah sekitarnya. Ketiganya juga terletak di jalur ”pita” Daendels.

Ketiga wilayah ini memang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki wilayah lain. Jakarta telah menjadi pusat kegiatan politik, budaya, dan ekonomi sejak zaman kolonial. Kota ini juga menjadi titik pengumpulan barang-barang yang akan diekspor sejak era itu melalui pelabuhannya. Kegiatan itu berlanjut hingga saat ini.

Kawasan industri berskala besar bermunculan dan melebar ke daerah tetangganya, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Tangerang, dan Serang. Sektor industri pun melonjak tajam di lokasi-lokasi tersebut. Bahkan, roda perekonomian Kabupaten Bekasi ditopang oleh industri sampai dengan 80 persen.

Demikian juga dengan Surabaya. Pelabuhan ekspornya telah berjalan sejak dulu. Industri-industri baru pun tumbuh ”subur” di sekitarnya hingga kini, seperti Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, dan Probolinggo. Dampaknya pun terasa. Terakhir ekonomi kawasan ini bertumbuh rata-rata 5 persen per tahun. Semakin jauh dari kawasan ini, semakin rendah pula pengaruh pertumbuhannya, contohnya Situbondo yang tumbuh hanya sekitar 4 persen

Meski berbeda dengan Jakarta dan Surabaya yang memiliki pelabuhan ekspor, Bandung mampu menjadi pusat pertumbuhan di wilayah pedalaman. Kota ini pun telah menjadi ”bandar pengumpul” komoditas hasil perkebunan sekaligus penopang kebutuhan lainnya di wilayah pedalaman sejak dulu. Akibatnya, tumbuh pula industri-industri penopang di sekitarnya, seperti di Kabupaten Bandung dan Cimahi. Pertumbuhan ekonominya pun melesat, rata-rata lima tahun terakhir mencapai 5,3 persen.

Menjadi daerah yang tumbuh lebih cepat dan dipenuhi dengan pabrik mendatangkan akibat bagi ketiga kota ini. Kebutuhan tenaga kerja yang tinggi mengundang para pengais rezeki untuk terus ”menyemut” ke ketiga tempat pertumbuhan ekonomi Jawa ini. Pakar ekonomi, Mudrajad Kuncoro (2002), menyebutkan, industrialisasi menjadi kekuatan utama di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia pada tahun 1980-an. Urbanisasi terus terjadi di ketiga daerah ini dan akhirnya ikut memutar sektor-sektor perekonomian lainnya.

Jumlah penduduk terus membengkak. Bandung dan Surabaya, yang menurut catatan Thomas Stamford Raffles pada 1815 hanya berpenduduk 20.000-an orang, kini dihuni oleh dua jutaan jiwa. Jakarta lebih mencengangkan, penduduknya bertambah 180 kali lipat. Orang berduyun-duyun datang bukan hanya dari Jawa, melainkan juga dari seluruh penjuru Tanah Air.

Bukan hanya ketiga kawasan itu yang bertumbuh. Jalur Daendels telah pula menarik kota-kota yang dilaluinya ikut ”berbiak”. Arus urbanisasi di jalur ini pula yang telah membuat komposisi penduduk Jawa akhirnya berubah. Jika 200 tahun lalu daerah-daerah di jalur ini dihuni sekitar 1,9 juta jiwa atau 43 persen dari seluruh penduduk Jawa, kini telah dipadati 66,2 juta jiwa (53 persen) penduduk. Bertambah 12 juta orang dalam kurun dua abad, setara dengan gabungan jumlah penduduk Jakarta dan Bekasi.

Pisau bermata dua telah diciptakan Daendels. Jika suatu kota mampu memaksimalkan fungsi jalan yang telah dirintisnya sebagai alat pembuka pasar bagi kota lain, peluang untuk tumbuh dan membesar akan terbuka lebar. Sebaliknya, jika tidak, meskipun sebuah kota dilewati jalan penting ini, ia tidak akan berarti apa-apa. Jalur ini pun telah menjadikan ekonomi Jawa timpang. Bisa seperti Bandung, dapat pula seperti Panarukan.

Sumber: Kompas, Jumat, 29 Agustus 2008.