Porter pun Mencari Langganan

Friday, October 10, 2008

Suasana siang di pelabuhan Beton Sekupang sungguh sangat menyengat, Rabu (1/10) lalu. Panas dan gersang sudah merupakan cuaca yang akrab ditemui di sana. Kapal Motor (KM) Kelud milik Pelni baru tiba dan langsung bersandar di dermaga. Puluhan pria berseragam kuning langsung berlari merangsek masuk ke dalam kapal saat ABK mulai membuka pintu kapal, yang ada di dek (kelas) ekonomi.

Tak lama kemudian mereka pun keluar berhamburan dari dalam kapal dengan membawa berbagai jenis barang milik penumpang. Sebagian lagi membawa barang penumpang masuk ke dalam kapal. Mereka membawanya dengan berbagai cara. Mulai di pundak, di tenteng dan di jinjing hingga diseret. Mereka seperti berlomba siapa yang paling banyak membawa barang.

Sekilas orang mungkin memandang pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang berat, namun di tengah kondisi ekonomi yang cukup sulit membuat orang tidak memikirkan pekerjaan lain untuk mencari ganti pekerjaan yang dinilai sebagian orang berat ini. Mereka hanya berharap penumpang membeli jasa mereka.

Begitulah kehidupan yang dijalani Robinson Tambunan tukang angkat barang (porter) di pelabuhan Beton Sekupang. Sudah delapan tahun ia menekuni pekerjaan sebagai tukang angkut barang. Tak hilang dari ingatan, tanggal 13 Maret 2000 adalah awal pertama kali ia mengawali pekerjaan itu. ”Saya tak bisa melupakannya, itulah sejarah hidup saya, dan pekerjaan pertama kali tiba di Batam,” kata Robinson.

Saat mengikuti Robinson bekerja mengangkut barang di pelabuhan, tubuhnya berpeluh keringat. Baju seragam berwarna kuning bertambah cerah karena keringatnya. Sesekali ia menyeka keringat dengan tangan. Rabu (1/10) jumlah penumpang tidak begitu banyak sekitar 400 penumpang.

Sedikitnya penumpang mengharuskan porter bekerja sebentar saja. Karena sebagian penumpang juga mengangkat barangnya sendiri keluar dari kapal. Meski sebentar bekerja, namun Robinson masih bisa ceria. Ia masih mendapat penghasilan lumayan meski penumpang sedikit.

”Puji Tuhan, hari ini masih bisa dapat Rp150 ribu. Padahal hari ini sudah Lebaran, lumayan lah,” ujar Robinson saat ditemui usai bekerja di sebuah warung dekat pelabuhan di Sekupang. Saat itu, dia bersama seorang anak kecil. ”Ini adalah anak saya yang pertama,” katanya sembari merangkul anak yang terlihat cekatan itu.

Tak lama kemudian ia berusaha mengeluarkan dan menghitung uang hasil dari peluh keringatnya hari itu. Ia pun menyisihkan uang tiga lembar pecahan Rp 50 ribu dijadikan satu lipatan. ”Uang ini nanti saya berikan buat istri saya,” urai ayah tiga anak ini yakni Ruben Christian (8), Ryan (6), dan Reinhard (3) ini.

Dari warung tersebut Robinson berencana kembali ke rumahnya sebuah ruli di Kampung Baru. Di ruli itulah dia tinggal bersama tiga anaknya dan istrinya, Ruminda Naibaho (37), yang bekerja menjaga warung yang sekaligus rumahnya.

Bekerja sebagai porter kata lelaki 38 tahun asal Tapanuli Utara ini penghasilannya tidak menentu. Bahkan pernah tidak membawa penghasilan ke rumah sama sekali. Ia mengenang begitu sedihnya kalau saat bekerja tidak mendapat hasil apa-apa. ”Saya pernah mengalaminya. Entah kenapa penumpang banyak saat, tapi penumpang tidak ada yang mau barang bawaaanya saya angkat,” katanya.

Persoalan seperti ini kata dia juga kerap dialami oleh porter lain. ”Teman-teman juga pernah mengalami hal yang sama. Mungkin di sanalah Tuhan bekerja, kalau rezeki sudah ditentukan oleh Dia,” tambahnya. Tapi seminggu menjelang Lebaran ini jumlah penumpang kapal Pelni meningkat, sehingga penghasilan mereka mengalami peningkatan juga. Bahkan di hari H sekalipun, mereka masih bisa mendapatkan penghasilan.

”Ya. Lumayan lah,” singkatnya.

Robinson mengaku berat badannya yang hanya sekitar 60 kilogram, tapi kadang dia harus memanfaatkannya untuk memanggul barang hingga 90-100 kilogram. Memang sangat berat, tapi tak ada pilihan pekerjaan lain lagi. Biasanya, usai melakoni pekerjaannya, para porter duduk menikmati minuman dingin sekedar melepas dahaga dan lelahnya mengangkat barang penumpang.

Begitu juga dengan Robinson saat diikuti Batam Pos setelah dirinya selesai bekerja. Di kursi kayu sebuah warung di luar pelabuhan, Robinson bersandar. Tubuhnya meleleh perlahan seperti lilin yang membakar diri demi cahaya bagi anak-anaknya. ”Semua ini demi anak-anakku. Saya tidak ingin mereka bernasib sama seperti diriku,” tuturnya.

Robinson pun harus pintar-pintar mencari pelanggan menjaga penghasilannya tetap ada, meski bersaing dengan puluhan porter lainnya. Sekarang dia sudah memiliki beberapa pelanggan. ”Kalau tidak ada pelanggan bakal tidak dapat apa-apa, kadang juga sudah ada yang main telepon,” katanya.

Mereka adalah pedagang yang rutin mengirimkan barang dagangannya ke Jakarta maupun Medan. Sehingga setiap kapal datang, ia tidak perlu kuatir lagi tidak membawa uang ke rumah.

Dari langganan itu pula, dibantu penghasilan dari warung istrinya, Robinson bisa menutupi biaya sekolah Ruben Christian dari taman kanak-kanak (TK) hingga sekarang sekolah di SD Advent Blok IV Nagoya. Bisa dibilang biaya sekolah anak-anaknya dari uang didapatkannya mengangkat barang di pelabuhan ini.

Meski bekerja berat sebagai tukang angkut barang, namun masih ada tersimpan rasa bangga dalam dirinya. Anaknya Ruben yang kini duduk di kelas 2 mampu meraih juara II di kelas. Berat beban di pundak saat angkat barang sepertinya hilang kalau sudah ingat anak-anak.

”Walau saya porter tapi saya bangga anak-anak saya pintar di sekolah,” katanya pria yang sempat bekerja sebagai sopir metromini di Jakarta tahun 1994 ini dengan bangga. Kehidupan di pelabuhan diakuinya memang sangat keras. Bahkan sering berbenturan dengan perkelahian.

Apalagi persaingan antar porter muncul akibat mulai adanya kebebasan bagi porter-porter mengambil ‘daerah jajahan’ tanpa diatur pembagiaannya setiap blok, padahal jika ada pengaturan setiap blok dengan jumlah tertentu tentu persaingan kecil itu bisa dihindari.

Sebagai porter yang bertanggung jawab dengan keluarga, ia selalu berusaha menghindar dari masalah itu. Di pelabuhan kata dia, kekerasan harus dilawan dengan kelembutan. ”Ini trik saya menghindari terjadi perkelahian,” katanya.

Di lokasi kerja diakuinya beberapa kejadian yang selalu mengundang terjadi kekerasan padanya. Namun semua ia hadapi dengan kelembutan. “Pengalaman saya yang mendidik saya begitu. Karena saya sudah lama hidup di lingkungan keras seperti ini. Kalau dihadapi dengan kekerasan juga akan berakhir tidak baik. Kita sendiri yang rugi,” tambahnya.

Dan inilah yang disampaikan Robinson kepada Roni dan Roganda, adik-adiknya, yang juga bekerja sebagai porter di pelabuhan Beton Sekupang. Diusianya yang semakin menanjak tua, Robinson berharap tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya. Maka dari itu di saat kapal tidak masuk Batam, ia mencoba mencari penghasilan lain dengan membantu orang lain melakukan sesuatu.

Harapan cita-cita untuk anak-anaknya juga tidak muluk-muluk. Robinson ingin anaknya bisa belajar les bahasa Inggris dan komputer serta bisa meneruskan belajar ilmu pengelasan (welder) setelah SMA.

”Di usia sekarang apalah yang bisa diangkat dengan tenagaku, uang yang kuhasilkan pun hanya mampu sekolahkan anak sampai disana. Semua itu berjalan baik sampai sekarang karena berkat Tuhan,” ujarnya.

Jumlah porter di pelabuhan Beton Sekupang memang lumayan banyak, semua mengenakan pakaian seragam kaos kuning. Banyak di antara mereka hanya duduk menunggu pembeli yang hendak memakai jasanya. ***