Penjaga Sekolah juga Penjaga Impian Siswa

Saturday, October 25, 2008

Sebagai seorang penjaga sekolah, pribadi Supar telah terlatih untuk bertanggung-jawab atas tugas dan perannya, baik di dalam sekolah maupun keluarga. Pria yang satu ini juga merupakan sosok penjaga sekolah yang begitu memperhatikan siswa-siswa di sekolah.
”SEBAGAI seorang penjaga sekolah dan punya keluarga, tanggung jawabnya tidak hanya sampai di sana saja. Tapi 800-an siswa yang ada di sini juga bagian dari tanggung jawab kami,” begitulah pria ini mengibaratkan betapa pentingnya tugas yang diembannya.
Cuaca belakangan ini memang tidak mendukung bagi mereka yang bekerja di lapangan. Begitu juga Rabu (15/10) siang, ketika Batam Pos berkunjung ke SMP Negeri 21 Batam. Gerimis turun. Tapi Supar tidak begitu menggubris gerimis tersebut.
Pria kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah 40 tahun silam ini asyik saja memotong ilalang yang tumbuh di lahan sekolah itu. Dia menginginkan pekerjaannya hari itu cepat selesai.
Sebab masih banyak tugas di sekolah itu yang masih menantinya. Mulai menyapu bekas bungkus makanan yang dibuang sembarang oleh para siswa, kemudian merapikan taman, memperbaiki kursi rusak dan lainnya. Sayang, niat Supar tiba-tiba dihentikan oleh hujan. Ia pun memilih istirahat sejenak di kantin sekolah. Tapi karena hujan turun hingga sore, ia pun menunda pekerjaanya itu untuk esok hari.
Darwoto Jarwin, rekannya, yang baru membersihkan rumput di taman pun ikut bergabung. Saat mengobrol dengan Batam Pos, siswa SMP 21 Batam itu terlihat lalu lalang. Spontan dari mulut Supar melontarkan kata-kata yang bisa dibanggakan anak-anaknya. Ia mengatakan pendidikan adalah harga mati dan tak bisa ditawar-tawar, jika tidak ingin terpuruk di level paling rendah.
Ia menilai pendidikan adalah salah satu poin penting penentu masa depan ana-anaknya serta status sosialnya kelak di tengah-tengah masyarakat. ”Mungkin kalau punya pendidikan cukup, kehidupan saya tak menjadi penjaga sekolah. Ternyata betapa pentingnya pendidikan,” tutur Supar yang tak mau merinci latar belakang pendidikannya.
Tiga tahun mengabdi sebagai penjaga sekolah, mulai membuka ruangan saat subuh lalu, menyapu kantor guru lalu mengepel beberapa ruangan dan dilanjutkan dengan membersihkan lingkungan sekolah serta menutup kembali setelah pulang sekolah memang masih waktu yang begitu singkat.
Namun pekerjaan ini sudah melekat pada dirinya, sehingga tidak ada lagi istilah malas. Ia tinggal mengingat wajah anak-anaknya saja jika malas datang mendera. Seketika semangatnya akan langsung kembali pulih. Begitulah Supar mengatasi penyakit tersebut.
Dua dari tiga anaknya memang sedang membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit, apalagi salah satunya di sekolah swasta. Demi anak-anaknya Supar pun seperti penjaga yang tak kenal lelah.
Melihat pentingnya pendidikan, pria yang akrab disapa Pak De di sekolah oleh guru dan siswa di sekolah berkali-kali mengucapkannya. ”Terasa sekali, jika kita berpendidikan rendah, semua pekerjaan akan identik dengan kerja kasar. Ini berat jika dialami mereka, sebagai penjaga sekolah kami juga bagian dari penjaga impian (cita-cita) mereka (siswa),” ujarnya.
Ia mengatakan demikian karena berdasarkan pengalaman yang dia lalui selama mengadu nasib di Batam.
Sejak tahun 1985 Supar sudah menginjakkan kakinya di Batam. Namun hingga sekarang pekerjaannya selalu tidak jauh dari kerja kasar. Mulai dari buruh bangunan, buruh di pelabuhan, mengojek, dan lainnya. ”Pengalaman kerja kasar sudah ibata obat anti nyamuk, mutar-mutar. Tapi ketekunan membuat saya masih bertahan sampai sekarang,” kata pria yang juga dekat dengan siswa-siswa di sekolah itu.
Sulitnya ekonomi di level rendah itu membuat Supar warga Kavling Baru Blok A4 No 54 harus bekerja lebih giat lagi demi anak-anaknya. Ia sangat tidak ingin anak-anaknya putus sekolah. Setidaknya, tiga anaknya tersebut diharapkannya lulus selevel SMA. Karena dengan ijazah SMA sudah bisa bekerja di sebuah perusahaan.
Seperti anak pertamanya Rusmiati (18) yang berhasil lulus SMA. Sekarang gadis pertamanya itu juga sudah mendapat penghasilan setelah diterima bekerja di salah satu perusahaan di Mukakuning. ”Alhamdulillah, Rusmini sudah bisa membantu ekonomi keluarga kami,” katanya bangga. Supar juga tak habis-habisnya memberikan nasehat pada putrinya agar tidak lupa dengan kondisi ekonomi keluarganya yang miskin.
”Saya selalu menasehatinya (Rusmiati, red), agar tidak boros menggunakan uang. Maklumlah Batam kan penuh dengan godaan-godaan. Saya selalu bilang jangan pernah lupa asal keluargamu. Jangan lupa kacang akan kulitnya. Senangnya sampai saat ini (dia) masih bisa dibilangin,” katanya.
Dia sangat bersyukur anak-anaknya tidak ada yang membuat dirinya kerepotan meski tak berprestasi di sekolah. Aji Prianto (16) dan Toni Riskito (13) masih duduk dibangku sekolah. Satu di SMK Teladan Batuaji dan satunya di SMP 21, tempat Supar bekerja. Harapannya, profesi ketiga anaknya tidak mengikut jejaknya.
”Mereka harus bisa, jangan seperti bapaknya pekerja kasar. Saya juga tidak ingin melihat hidup mereka seperti saya. Makanya di sekolahkan,” harapnya. Bahkan, rumah Supar yang membutuhkan perbaikan tidak diprioritaskan karena lebih mementingkan biaya untuk sekolah anak-anaknya. Rumah yang di atas lahan seluas 10 x 6 meter hasil ganti rugi saat tinggal di ruli Pelita dibangun seadanya.
Memang sudah beton permanen, tapi terlihat masih butuh polesan agar sedikit lebih bagus. Rumah belum bisa selesai dibangun, plafonnya belum ada, belum juga di keramik karena biayanya untuk sekolahin anak. ”Memang saya bukan bermaksud berlebihan, tapi katanya kalau punya impian selalu bikin kita semangat bekerja,” ujarnya sembari tersenyum.
Nah, untuk meraih impian itu Supar mengaku selalu menjaganya dengan cara serius bekerja di SMP Negeri 21 Batam. Yakni mengawasi sekolah dengan areal lahan sekitar dua hektar itu setiap harinya. Bahkan saat malam yang bukan tugasnya jaga, Supar tetap saja datang untuk membantu menemani temannya yang jaga malam ronda.
”Hanya saja memang tidak sampai subuh. Sekitar tengah malam saya pamit pulang, karena besoknya bekerja lagi. Untung saja rumah dekat sehingga bisa datang sebentar-sebentar melihat sekolah,” katanya.
Ternyata Supar tidak hanya bertugas membersihkan ini dan itu. Banyaknya kejadian kebakaran belakangan ini menjadi perhatian pihak sekolah. Mereka pun, diharapkan bisa lebih mawas diri dan semakin meningkatkan kesadaran terhadap beratnya tugas dan tanggung jawab yang mesti diemban dalam mengawal keamanan sekolah khususnya diwaktu malam hari. Karena memang hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi kapan saja dan tanpa diduga.
Guru juga meminta padanya maupun Darwoto untuk selalu mengawasi siswa agar tidak melarikan diri alias bolos dengan cara melompat pagar saat jam belajar. Tugas ini memang sedikit lebih susah. Karena bagian belakang saja yang baru di pagar.
Itupun siswa masih saja mudah melompatnya kalau mau. Karena pagarnya tidak tinggi. Sedangkan bagian depan sekolah memang masih belum berpagar. Sehingga jika guru atau penjaga sekolah lalai, siswa boleh saja dengan mudah bolos dari sekolah. Ia mengaku beberapa waktu lalu siswa pernah bolos dengan melompat pagar. Tapi sekarang sudah tidak pernah lagi, setelah diingatkan mereka dan diberitahu pada gurunya.
Gaji yang diterima Supar sebesar upah minimum kota (UMK) Rp 960 ribu setiap bulan. Berdasarkan kebutuhan layak hidup di Batam kata dia gaji tersebut memang tidak mencukupi menghidupi seorang istri dan tiga anaknya. Padahal istri Supra, Sawitri juga sudah bekerja sebagai karyawan operator di salah satu perusahaan di Mukakuning pun tidak mengubah kehidupan mereka.
Semuanya serba terbatas dan pas-pasan. Karena itu, ia pun memilih berprofesi ganda yaitu sebagai penjaga sekolah sekaligus tukang ojek. Ia mengojek setelah pulang sekolah. ”Penghasilan dari ojek kan tidak seberapa. Karena paling nganterin bu guru dan siswa. Itupun kalau diminta. Ya hasilnya cuman bisa beli bensin dan rokok-lah,” akunya tanpa mematok bayaran setiap membawa tumpangan.
Saking hidpnya pas-pasan, Supar mengaku sering menemui pihak keuangan sekolah untuk memohon pinjaman. Bahkan saking seringnya ia tidak bisa menghitung sudah berapa kali meminjam uang ke sekolah itu. Ia pun mengembalikan dengan sistem cicilan potong gaji. ”Pihak sekolah memang sudah cukup baik pada saya,” ujarnya.
Bahkan satu peristiwa yang tak bisa dilupakannya. Yaitu saat putrinya Rusmiati mau lulus sekolah. Pihak sekolah mengharuskan untuk menebus ijazah dan dokumen lainnya bisa diambil setelah menyetor uang sebesar Rp300 ribu. Saat itu mereka tak punya uang, sementara waktu pengambilan dokumen juga dibatasi.
”Sempat kelimpungan, tapi untung pihak sekolah tempat saya kerja mau memberi pinjaman tanpa kerumitan, ijazah dan berkas-berkas Rumiati bisa kami ambil,” katanya.
Ironisnya, meski Supar dan istrinya Sawitri bekerja, namun ia mengaku mereka tidak punya tabungan. ”Kalau butuh uang pasti pinjam ke sekolah,” tambahnya.
Putrinya yang kini bekerja sebagai karyawan ini sudah membantu keuangan keluarganya.
”Lebaran kemarin putri saya yang membelikan baju,” ujarnya haru bercampur bangga.
Ia mengaku masih betah bekerja sebagai penjaga sekolah. ”Saya juga masih ingin mengawasi anak saya serta yang lainnya,” paparnya. ***